Liputan6.com, Pekanbaru - Ratusan warga di Desa Petani dan Balai Makam, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis, mulai gusar. Saban hari ada kerisauan kalau lahan yang diolah sejak turun temurun, bakal diambil alih PT DJL dengan alasan masuk hak guna usaha (HGU).
Puncaknya ketika ada plang Polda Riau yang menyatakan lahan salah satu kelompok tani masuk dalam penyidikan. Jika lahan 150 hektare kelompok tani ini berhasil diambil perusahaan, ada kekhawatiran tanah-tanah kecil milik warga jadi sasaran berikutnya.
Rata-rata pemilik lahan di desa itu merupakan Suku Sakai. Sisanya ada pendatang yang sudah bermukim di sana dan memperoleh lahan dengan membeli sejak puluhan tahun lalu.
Advertisement
"Kalau lahan kelompok tani ini selesai, maka selesai juga punya kami," ucap seorang warga di Desa Balai Makam, Basri, kepada wartawan.
Meski sudah tua, pria kelahiran tahun 1950 ini punya semangat muda mempertahankan lahannya. Dia menyebut takkan menyerahkan sejengkal tanahnya ke perusahaan, walaupun nyawa menjadi taruhan.
"Dalam ajaran agama kami, mempertahankan hak itu kalau mati itu syahid," ucap Basri.
Basri memang punya pengalaman buruk dengan PT DJL. Tahun 1991 hingga 1994 ketika perusahaan datang dengan izin pelepasan kawasan, pernah terjadi kerusuhan sehingga pembakaran gudang dan rumah semi permanen korporasi.
Pemicunya, perusahaan dikawal aparat menebang karet di lahan milik warga tanpa ada pemberitahuan. Warga yang melarang berhadapan dengan senjata api dan sekuriti perusahaan.
"Akhirnya bisa dimediasi oleh sejumlah tokoh masyarakat, kamipun berkebun lagi sampai sekarang," kata Basri.
Tahun 2002, PT DJL mendapatkan HGU dari Kementerian Kehutanan. Sejak itu pula, Basri mengaku tak ada pihak perusahaan datang mengklaim lahan warga masuk HGU ataupun ganti rugi.
Menurut Basri, tidak ada pula penetapan tapal batas ataupun proses mengeluarkan lahan yang sudah didiami warga sejak puluhan tahun itu dari HGU.
"Sekarang perusahaan datang, mau ngambil lahan kami. Ini lahan sumber hidup kami, mau kemana lagi," ucap Basri.
Warga Sakai lainnya, Bustami, menyebut objek konflik lahan yang diklaim masuk HGU merupakan ulayat. Sudah ada surat keterangan dari Lembaga Adat Suku Sakai Bengkalis dan pengakuan perusahaan pada tahun 2008.
Meski pernah menjual tanah ulayat bagiannya, kini Bustami takkan mau lagi. Apalagi saat ini sudah sulit mencari tanah di daerahnya karena sudah dikuasai sejumlah perusahaan.
"Ganti rugi pun tak mau saya, mau cari tanah di mana lagi, inilah tinggal yang dipertahankan," kata Bustami.
Simak video pilihan berikut ini:
Warga Diminta Tak Terprovokasi
Kegusaran warga ini bak bom waktu jika ada pemantik sekecil apapun. Apa yang terjadi tahun 1994 bisa berulang, sehingga menjadi perhatian dari Rumah Petani Sawit Bengkalis.
Perwakilan Rumah Petani Sawit Bengkalis, Budi Fajar meminta masyarakat tetap tenang. Masih ada jalur lain yang harus ditempuh secara hukum memanfaatkan peraturan perundangan tentang lahan ataupun perkebunan.
"Bapak-bapak tenang dulu, jangan terbawa emosi, kita juga yang rugi nanti, jangan terpancing berbuat anarkis," imbuh Budi.
Budi meminta warga membuat data berapa luasan lahan per orang dan legalitas tanah. Selanjutnya akan didiskusikan dengan sejumlah tokoh termasuk pemerintah kecamatan.
"Nanti dibawa juga ke kepala desa, kalau bekumpul kita kuat, nanti ada jalan," terang Budi.
Terkait konflik ini, Budi mempertanyakan kenapa perusahaan pemegang HGU tahun 2002 tak pernah datang ke warga. Kenapa setelah kebun sawit warga produktif, baru ada klaim dan laporan penyerobotan ke penegak hukum.
"18 tahun setelah ada HGU, kenapa sekarang baru datang, selama ini ke mana saja," ucap Budi.
Seharusnya, tambah Budi, konflik seperti ini tidak perlu terjadi kalau pembuatan HGU berjalan sebagaimana mestinya. Salah satunya adalah tim 9 yang diatur Undang-Undang tentang Perkebunan.
Tim ini bekerja untuk mengukur tanah sebelum HGU keluar. Ada proses mengeluarkan lahan yang sudah didiami warga ataupun ulayat dari HGU supaya tak terjadi konflik di kemudian hari.
"Pertanyaannya, ini dilakukan atau tidak, ada pernah mendatangi warga atau tidak?" sebut Budi.
Advertisement
Tanggapan Perusahaan dan Polda
Sementara itu, kuasa hukum PT DJL, Mora SH, belum mau memberi keterangan terkait laporan pihaknya ke Polda Riau.
"Kapan-kapan kalau ketemu, sebaiknya ketemu, saat ini saya baru turun di Kualanamu," katanya.
Wartawan juga sudah menanyakan terkait pengakuan sejumlah warga terkait konflik lahan ini. Hanya saja, Mora bertanya dari mana wartawan mendapatkan nomor teleponnya.
"Dapat nomor saya dari mana, saat ini saya belum bisa ngomong apa-apa," kata Mora.
Sementara itu, Humas PT DJL, Sulistiono dikonfirmasi terkait laporan perusahaannya ke Polda Riau menjawab tidak tahu.
"Maaf saya tidak tahu, mungkin top manajemen langsung yang tunjuk lawyer," ucap Sulistiono.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau Komisaris Besar Andri Sudarmadi membenarkan adanya laporan PT DJL. Sudah ada lima karyawan perusahaan dimaksud dimintai keterangan.
"Kemudian ada ahli dari dinas perkebunan dan ahli dari BPN," kata Andri.