Sukses

Pernah Tidak Digaji 9 Bulan, Ini Kisah Perjuangan Guru di Pedalaman Kalimantan

Hery Cahyadi adalah potret seorang guru yang mengabdi di pedalaman Kalimantan.

Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Hery Cahyadi menghela napas. Isapan rokoknya kali ini lebih panjang. Matanya memandang kosong ke arah pemukiman atas air di desa itu. Kenangan pertama bertugas di desa terisolir seolah menari-nari dalam ingatannya.

“Saya pernah tidak digaji Sembilan bulan,” sebutnya seraya mengeluarkan asap rokok dari mulutnya.

Kepulan asap rokok memenuhi Balai Desa Muara Enggelam. Asap rokok dari seorang pejuang yang mengabdikan dirinya untuk pendidikan bagi warga pedalaman.

Menjadi guru, bagi Herry, bukanlah impian. Namun di tengah keterbatasan daerahnya, profesi guru membuat kawasan pedalaman Kalimantan Timur bisa maju dan berkembang.

Tempatnya bertugas saat ini, masih terisolir. Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan daerah tanpa akses darat sama sekali. Semua harus dilalui menggunakan perahu kecil bermesin tunggal.

“Dulu, tak pernah berpikir bertugas di sini. Muara Enggelam itu apa?” kata Hery saat ditemui pertengahan September 2020 lalu.

Setelah lulus dari Pesantren Al-Mukmin di Kecamatan Muara Muntai pada tahun 1997, Hery ditugaskan untuk mengajar ngaji di Muara Enggelam. Kurangnya guru baca tulis Alquran membuatnya tak bisa menolak tugas suci itu.

“Kata Ustaz saya waktu itu bagaimana kalau kamu ke Muara Enggelam, kebetulan bapakmu juga tugas di sana dan di sana butuh pelajar TPA,” kata pria kelahiran Kayu Batu, 28 Agustus 1976 silam.

Orangtua Hery kala itu merupakan PNS yang bertugas di SD Negeri di Desa Muara Enggelam. Pilihan pengabdian itu kemudian diambilnya meski dia pun tak yakin ada jaminan masa depan.

“Sempat setahun saya mengajar Iqro serta baca tulis Alquran hingga kemudian pada tahun 1998 saya menikah dengan orang sini,” sebutnya.

Simak juga video pilihan berikut:

2 dari 5 halaman

Menjadi Guru Pertama Kali

Pada tahun 1999, pemerintah membuka penerimaan guru honorer dengan status Pegawai Tidak Tetap (PTT) di sejumlah sekolah dasar di kawasan pedalaman. Hery tak buang kesempatan dan mendaftar.

Dia pun diterima. Namun, tugasnya kali ini lebih jauh.

“Tugas pertama itu di Dusun Kuyung, Desa Sebemban, Kecamatan Muara Wis dan sempat setahun di sana,” kata Hery.

Menjadi guru di kawasan pedalaman dan terisolir bukanlah pekerjaan mudah. Keteguhan hati dan keyakinan kuat dalam mendidik adalah kunci bertahan mengajar. Itulah yang dirasakan Hery kala itu.

“Gaji pertama hanya Rp200 ribu,” sebutnya seraya tersenyum.

Bagi warga pedalaman, kehadiran seorang guru adalah berkah. Sebisa mungkin mereka bikin guru yang bertugas nyaman dan betah. Istrinya kadang menjadi buruh harian di pengepul ikan.

“Kami disediakan rumah dan kadang diberi hasil tangkapan ikan mereka,” tambah Hery.

Di tempatnya pertama bertugas, jumlah guru hanya empat orang termasuk kepala sekolah. Tak heran jika satu guru bisa mengajar beberapa kelas.

“Guru agama, pendidikan jasmani, hingga wali kelas tiga saya lakukan bersamaan di sekolah itu,” ujarnya.

Celakanya, kebiasaan guru PNS adalah jarang masuk. Beban mengajar menjadi tugas Hery sebagai guru honorer.

“Guru PNS ada, tapi lebih sering menyuruh guru honorer. Mau tidak mau harus saya kerjakan semuanya, padahal masing-masing punya tugas dan tanggung jawab,” tambah Hery.

Isapan rokoknya kali ini lebih kencang. Ada kesal bercampur amarah kala menceritakan kisah itu.

3 dari 5 halaman

Pindah Tugas ke Muara Enggelam

Pada tahun 2000, karena kebutuhan guru yang mendesak, Hery dimutasi ke Desa Muara Enggelam. Sebuah desa yang dibangun di atas aliran Sungai Enggelam yang langsung berhadapan dengan Danau Melintang.

Seluruh rumah dibangun di atas rakit. Tak ada daratan. Tidak ada akses darat.

“Meski lebih jauh dari tugas sebelumnya, namun di desa ini merupakan kampung istri. Jadi bisa lebih nyaman,” kata Hery.

Kisah guru PNS libur kepanjangan masih dirasakan Hery di desa ini. Apalagi kebanyakan guru tersebut bukan asli dari Muara Enggelam.

“Kisah yang berulang, saya harus menanggung beban mengajar lebih banyak,” kisahnya.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Hery bekerja serabutan. Menjadi nelayan tangkap air tawar adalah solusi terbaik kala itu.

“Sempat berburu kura-kura, bahkan sempat bekerja untuk NGO asing,” sebut Hery seraya tertawa.

Gaji kecil dan bertugas di pedalaman bukanlah perkara mudah. Harga kebutuhan sehari-hari tentu jauh lebih mahal. Apalagi Hery memiliki anak yang masih kecil.

“Suatu waktu saya minta izin untuk mengajar tiga hari saja, sisanya saya gunakan untuk usaha apa saja. Alhamdulillah waktu itu kepala sekolah mengizinkan. Karena dia juga paham kondisi saya,” tambah Hery.

4 dari 5 halaman

Tidak Digaji 9 Bulan

Derita lain sebagai guru honorer adalah gaji yang tidak tepat waktu. Bahkan kadang harus menunggu berbulan-bulan baru honor itu datang.

“Pergantian nama dari PTT ke T3D (Tenaga Tidak Tetap Daerah) bikin kami makin sakit. Gajian selalu tertunda,” kata Hery.

Sebenarnya, perubahan nama pada tahun 2001 itu berkah buat guru honorer karena gaji naik menjadi Rp325 ribu. Tak lama berselang naik lagi menjadi Rp480.480. Jumlah gaji yang gampang diingat dan bakal selalu dikenangnya.

“Meski gaji naik, namun pembayarannya tidak tentu. Lebih sering tujuh bulan sekali. Pernah Sembilan bulan baru gajian,” katanya.

Pada tahun 2007, di zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diberlakukan pemutihan bagi tenaga honorer. Bagi Hery, ini adalah kesempatan untuk menjadi PNS.

Menjadi PNS juga bukan perkara mudah. Dia harus ikut tes hingga lima kali. Tes kelima barulah dinyatakan lulus.

“Pada tahun 2009 baru saya dinyatakan 100 persen PNS. 10 tahun penantian yang tidak sebentar,” kata Hery sambil meraih sebatang rokok dan kemudian membakarnya.

Asap yang mengepul ke udara seolah melambangkan panjangnya perjuangan. Tidak ada yang instan, tak ada keistimewaan khusus. Semuanya berproses melalui serangkaian peristiwa panjang.

5 dari 5 halaman

Kesulitan Mengajar di Pedalaman

Kesulitan lain mengajar SD di pedalaman salah satunya adalah harus memulai dari nol. Siswa kelas 1 harus benar-benar diajar dari awal.

“Di desa kebanyakan tidak memiliki Taman Kanak-kanak. Jadinya di kelas satu kita seperti jadi guru TK,” kata Hery.

Soal belajar, sebutnya, orangtua benar-benar menyerahkan sepenuhnya kepada guru. Anak yang masuk sekolah, ibarat gelas yang kosong sama sekali.

“Tugas kami berat sekali. Tapi jika melihat keberhasilan anak didik, sesuatu yang tak ternilai harganya. Kebahagiaannya melebih apapun,” kata Hery.

Kini Hery diamanahi sebagai Kepala Sekolah SDN 011 Muara Wis dengan jumlah 80 siswa. Lokasinya masih di Desa Muara Enggelam.

Kini Hery tak perlu lagi membuang jala atau menghabiskan waktu semalaman di tengah Danau Melintang untuk mencari ikan. Hanya istrinya yang masih membuka warung makan kecil-kecilan.

Perjuangan kehidupan di pedalaman Kalimantan tergambar jelas dalam guratan wajahnya. Senyumnya, khas laki-laki suku Kutai, tidak mampu menyembunyikan gambaran perjuangan itu.

Kisah guru yang mengabdi di pedalaman, seperti Hery Cahyadi, adalah gambaran sesungguhnya sebuah pengabdian. Pengabdian dari seorang yang sering kita sebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.