Liputan6.com, Cirebon - Kiprah Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap kuat dan mengakar di masyarakat termasuk Cirebon. Bahkan, pengaruh PKI dianggap besar sebelum adanya gerakan 30 September atau G30SPKI.
Pemerhati sejarah Cirebon Nurdin M Noor menyebutkan, dua tahun sebelum ada pemberontakan PKI di Madiun, terjadi pemberontakan di Cirebon, tepatnya pada 12 Februari 1946.
Advertisement
Baca Juga
"Data yang saya dapat dari situs sejarah TNI mengungkapkan tanggal 9 Februari 1946 rombongan PKI dan Laskar Merah dari luar kota tiba di Stasiun Kereta Api Cirebon," ujar Nurdin M Noor dalam catatan yang diterima, Selasa (29/9/2020).
Singkat cerita, pada 12 Februari 1946 rombongan tersebut menginap di sebuah hotel bernama Ribberink atau Grand Hotel. Berdasarkan catatan, kata dia, PKI menyebarkan isu bahwa polisi tentara telah melucuti anggota Laskar Merah yang baru datang dari Jawa Tengah di Stasiun Cirebon.
Polisi Tentara Cirebon Letda D Sudarsono datang ke stasiun menemui seorang bintara jaga untuk memastikan kebenaran isu tersebut. Namun, sesampainya di stasiun, ia disambut dengan tembakan-tembakan.
Ia dikepung oleh pasukan Laskar Merah dan akhirnya ditawan dan dibawa ke Markas Polisi Tentara Kabupaten di Hotel Phoenic. Selanjutnya, dalam upaya PKI menguasai pemerintahan, kekuatan bersenjata di Cirebon dilucuti, tentara ditangkap dan dijadikan tawanan.
"Seluruh kota dikuasai oleh Laskar Merah, tindakan-tindakannya semakin brutal, merampok dan menguasai gedung-gedung vital," ujar dia.
Untuk mengatasi aksi PKI di Cirebon, Panglima II/Sunan Gunung Jati Kolonel Zainal Asikin Yudadibrata mengambil tindakan. Ia mengirim utusan untuk berunding dengan Mr Mohamad di Hotel Ribberink.
Dalam perundingan tersebut, pihak PKI berjanji akan menyerahkan senjata-senjata hasil rampasan esok harinya. Namun, janji tersebut tidak ditepati.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Penyerangan
Perundingan dianggap gagal dan Panglima Divisi II meminta bantuan pasukan dari Komandan Resimen Cikampek untuk dikirim ke Cirebon. Sebanyak 600 prajurit Banteng Taruna dipimpin Mayor Banuhadi dikirim ke Cirebon.
"Akhirnya tanggal 13 Februari 1946 dilakukan penyerbuan yang pertama oleh pasukan gabungan dari TRI, Polisi Tentara dan pasukan lain untuk merebut pos-pos pertahanan PKI dan Markas pemberontakan di Hotel Ribrink," ujar Nurdin.
Penyerbuan yang pertama gagal karena persenjataan di pihak TRI kurang, sedangkan senjata musuh lengkap. Namun, pada tanggal 14 Februari 1946, dilakukan penyerbuan yang kedua kali yang dipimpin langsung oleh Komandan Resimen Cikampek Kolonel Moefreini Moekmin dan berhasil melumpuhkan lawan.
"Sehingga pasukan PKI menyerah. Pimpinan pemberontak Mr Mohamad Joesoep dan Mr Suprapto berhasil ditangkap kemudian diajukan ke pangadilan tentara," ujar dia.
Dua tahun kemudian pada 19 September 1948, Muso menyatakan diri sebagai presiden sebuah negara komunis bernama Republik Soviet Indonesia di Madiun.
Hal senada disampaikan pemerhati Sejarah Cirebon yang lain Akbarudin Sucipto. Dia menyampaikan, PKI di Cirebon memiliki metode pergerakan yang sistematik. Mereka berani melakukan pendekatan secara kultural kepada masyarakat Cirebon.
"Di Cirebon sistem pergerakan PKI berbeda dengan pola pergerakan PKI di tempat lain. Saya melihat PKI di Cirebon juga melakukan pendekatan kultural. Artinya mereka berani membaur dengan masyarakat," kata Akbar.
Advertisement
PKI di Cirebon
Cara tersebut dilakukan karena pada waktu itu partai besar lain seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan Nahdatul Ulama juga melakukan pendekatan secara kultural, untuk menarik simpati masyarakat Cirebon.
Persaingan politik antarpartai di Kota Cirebon terlihat sengit. Khusunya antara PKI dan Masyumi, kendati demikian tidak sampai menimbulkan keributan.
"Saat Kota Cirebon menjadi kota yang menyelenggarakan pemilu, walaupun pada saat itu jumlah kontestan banyak, di situ ada PKI. Tapi yang memang terlihat berkonflik PKI dan Masyumi. Entah saling ejek atau semacamnya. Tapi tidak sampai ribut," jelas Akbar.
Dia menambahkan, pola pergerakan PKI dilakukan sampai tingkat pejabat pemerintahan. Banyak kader PKI yang masuk dalam struktur pemerintahan di Kota Cirebon.
Salah satu pejabat di pemerintahan Kota Cirebon yang merupakan anggota PKI adalah Raden Slamet Ahmad (RSA) Prabowo bin Ki Hatmo, Wali Kota Cirebon yang menjabat dari tahun 1960 sampai 1965.
Raden Prabowo kala itu memiliki keleluasan untuk berkomunikasi dengan Komite Central PKI. Hal ini, lanjutnya, menjadi bukti kalau PKI pernah jadi partai besar di Cirebon.
"Kemudian di Cirebon sampai dengan meletusnya Gerakan 30 September 65 saja, Wali Kota Cirebon Raden Prabowo itu fungsionaris PKI," ujarnya.
Akbar mengungkapkan, kader dan simpatisan PKI juga melakukan doktrin terhadap anak-anak di Cirebon. Mereka mencuci otak anak-anak dengan propaganda PKI.
Meski menjadi partai besar, pengaruh PKI di Cirebon perlahan hilang setelah peristiwa G30S PKI. Orang-orang yang dianggap sebagai kader ataupun simpatisan PKI, ditangkap dan diadili.