Sukses

Kisah Kiai Desa yang Sangat Dihormati Anggota PKI

KH Najmudin memang pernah mengaji langsung kepada Syaikhona Hasyim Asy’ari, di Pondok Pesantren Tebuireng

Liputan6.com, Cilacap - Pergolakan politik memanas usai 1955. Politik identitas begitu kental, terlebih di Cilacap, di mana PKI memenangkan Pemilu pertama 1955.

Usai itu, Cilacap dipimpin oleh bupati dari kubu pemenang pemilu. Merasa di atas angin, anggota PKI dan underbouwnya mulai semena-mena. Anggota PKI semakin jumawa.

Pertentangan antara kubu politik semakin kentara pada 1960-an. Tekanan kepada kiai-kiai kampung dan pondok pesantren juga terus terjadi. Itu makanya, banyak kiai yang akhirnya mengungsi ke daerah lebih aman.

Tekanan oleh PKI dan underbouwnya itu juga turut dirasakan oleh KH Najmudin, kiai kharismatik pengasuh Pondok Pesantren Bendasari, Pesantren yang berada di Desa Cilopadang, Kecamatan Majenang, Cilacap. Namun, ia tak mengungsi dan memilih bertahan.

Geger masa revolusi juga bertambah dengan keberadaan milisi Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII) yang mulai merangsek ke Jawa Tengah. Di tempat asalnya, di Jawa Barat, DI/TII semakin terdesak oleh pasukan Siliwangi dan Raiders.

Majenang adalah wilayah perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat sehingga kekerasan berlangsung massif. Keadaan semakin sulit. Di satu sisi, KH Najmudin jelas tidak mau bergabung dengan PKI. Tetapi, di sisi lain, ia pun tak setuju dengan pendirian negara Islam.

KH Najmudin tetap istikamah di partai NU atau dulu disebut sebagai NO (Nahdlatul Oelama-ejaan lama). Partai yang dibikin oleh anggota ormas yang didirikan gurunya, Hadratusyaikh KH Hasyim Asy’ari.

KH Najmudin memang pernah mengaji langsung kepada Syaikhona Hasyim Asy’ari, di Pondok Pesantren Tebuireng. Bahkan, ia sempat dipercaya sebagai lurah pondok, meski hanya delapan bulan di pesantren legendaris ini.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Penghormatan Masyarakat

NU adalah partai Islam yang tetap menginginkan Indonesia sebagai NKRI dan berideologi Pancasila, NU anti-komunis, sekaligus juga tak hendak mendirikan negara khilafah.

Kebetulan, kediaman KH Najmudin dan pesantrennya berada di pinggir jalan dari desa ke kawasan pertanian dan pasar. Makanya, jalan selalu ramai. Tiap hari ratusan orang dari berbagai wilayah menggunakan jalan ini.

Kala itu, atribut politik digunakan oleh petani, pedagang, buruh, hingga pekerja. Petani dan pedagang misalnya, mengatribusi tudungnya dengan lambang partai.

Dan anehnya, tiap orang, yang lewat di depan rumah KH Najmudin akan selalu turun dari sepeda. Kalau pelintas itu berjalan maka akan membungkuk. Itu berlaku untuk semua orang dari golongan manapun, termasuk PKI.

Mereka takut Mbah Najmudin sedang berada di depan rumah, sehingga mereka sudah bersiap berlaku sopan. Sudah menjadi kebiasaan, Mbah Najmudin menyapa orang-orang yang lewat, baik itu dari golongan NU, PNI, PKI, dan partai lainnya.

“Yang PKI ya ada tulisannya PKI, warnanya merah. Kalau PNI ya begitu, ada tulisannya. Kalau NU ya di tudungnya ada tulisan Pertanu,” ucap Masngudin, cucu keponakan KH Najmudin, beberapa waktu lalu.

Di balik konsistensinya di Partai NU, KH Najmudin dikenal sebagai sosok kharismatik, sekaligus terbuka. Itu sebab, ia diterima oleh golongan manapun, termasuk komunis. Bahkan, berbeda dari pesantren lain yang kerap ‘diganggu oleh PKI’, pesantrennya jauh dari marabahaya itu.

“Tidak ada yang jaga, karena banyak santri di situ. Orang PKI juga menghormati Mbah Najmudin,” dia mengungkapkan.

 

3 dari 4 halaman

Kesaktian Sang Kiai

Penghormatan masyarakat luas kepada KH Njamudin tentu saja tak muncul begitu saja. Keistimewaan KH Najmudin terlah terkabar hingga pelosok desa. Bahkan, itu terjadi sejak KH Najmudin berusia muda dan nyantri.

Ia dikenal karena kecerdasannya saat muda. Bahkan, ia tak pernah mondok di satu pesantren dalam waktu lama. Saat sudah mengasuh pesantren, KH Najmudin adalah ulama khos dengan bidang keilmuan yang lengkap. Mulai Ilmu tauhid, fiqih, ilmu alat, hingga ilmu hikmah (kesaktian).

Salah satunya, kisah ketika KH Najmudin muda menyelamatkan dua kerabatnya yang hendak dieksekusi Belanda pada masa agresi militer 1948. KH Najmudin menyelinap masuk ke tangsi Belanda di Wanareja, dan membuka gembok berukuran besar tanpa diketahui tentara Belanda yang berjaga ketat.

“Itu ghoib. Ada campur tangan Mbah Najmudin,” ujarnya.

Penghormatan masyarakat juga menilik nasab KH Najmudin yang jika dilacak sampai kepada salah satu tokoh besar Wali Songo, Sunan Giri.

Pengaruh politik KH Hasyim Asy’ari tampak dari keistikamahannya mempertahankan pandangan politiknya di tengah tekanan komunis dan DII TII yang hendak mendirikan negara Islam. Di sisi lain, KH Najmudin adalah sosok kiai yang terbuka kepada orang lain.

“Mbah Najmudin mampu menjadi orangtua untuk semua. Semuanya menuakan Mbah Najmudin,” ucapnya.

 

4 dari 4 halaman

Karib KH Maimoen Zubair

Barangkali, ini juga ada kaitan dengan didikan Syekh Ihsan Jampes, di mana ulama kharismatik lainnya, Syaikhona KH Maimoen Zubair, Sarang, Rembang juga mengaji.

Kenapa bisa demikian? Kedua ulama besar itu pernah mengaji di tempat yang sama. Syekh Ihsan Jampes adalah guru pertama KH Maimoen Zubair.

Di kemudian hari, Mbah Najmudin dan Mbah Maimoen juga sama-sama aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), setelah partai berhalauan Islam dilebur atau fusi dalam partai ini.

Bahkan, KH Maimoen sering bertandang ke Bendasari, ke kediaman KH Najmudin. Namun, Masngudin tak bisa memastikan agenda yang dibicarakan oleh kedua kiai tersebut.

Kedatangan KH Maimoen pun tak diacarakan khusus. Bahkan, kerap kali tak ada yang tahu bahwa Mbah Maimoen berada di kediaman Mbah Najmudin.

“Saya pernah kaget saat membuka pintu. Ternyata ada Mbah Mun di situ. Apa ada kaitannya kenapa sama-sama di PPP, saya tidak tahu,” Masngudin mengaku tidak bisa memastikan.

Pesantren Bendasari masih ada dan bahkan terus berkembang. Kini namanya adalah Pondok Pesantren Elbayan. Di bawah naungan Yayasan Elbayan, didirikan berbagai pendidikan formal, mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi.