Liputan6.com, Wajo - Ratusan warga yang berada di Kecamatan Keera dan Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan meradang. Bagaiman tidak, lahan yang berpuluh tahun mereka garap dan tinggali tiba-tiba disebut masuk dalam kawasan Hutan Lindung Walanae.
Polemik itu bermula ketika Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pelaksanaan Hutan (KPH) Walanae mematok lahan warga yang diklaim masuk dalam kawasan hutan lindung. Pematokan itu dalam rangka rehabilitasi yang menjadi kewajiban PT Vale Indonesia Tbk.Â
"Pematokan itu dilakukan untuk rehabilitasi hutan lindung, padahal lahan itu sudah digarap tiga generasi, turun temurun," kata salah seorang warga yang lahannya juga dipatok oleh UPT KPH Walanae, Rusli, kepada Liputan6.com, Selasa (29/9/2020).Â
Advertisement
Baca Juga
Rusli yang juga menjadi perwakilan keluarga dan masyarakat yang lahannya diklaim adalah kawasan hutan lindung menyebutkan bahwa ratusan warga protes dan tidak terima atas klaim tersebut. Warga merasa bahwa lahan itu adalah milik mereka karena memiliki sertifikat dan tiap tahun juga membayar pajak kepada pemerintah.
"Lahan tersebut ada alas haknya. Warga ada sertifikat dan setiap tahun membayar SPPT," ucap Rusli.Â
Masyarakat pun semakin bingung lantaran selama ini pihak pemerintah tidak pernah menunjukkan ke masyarakat bukti bahwa lahan itu memang adalah kawasan hutan lindung.Â
"Itu yang jadi masalah juga, seharusnya pihak kehutanan membuka informasi atau peta bahwa ini memang hutan lindung, nah selama ini itu kan tidak ada," jelas Rusli.Â
Rusli menyebutkan bahwa sedikitnya ada 772 warga yang menjadi korban sengketa lahan tersebut. Adapun luas lahan yang diberi tanda oleh UPT KPH Walanae adalah seluas 750 hektare.Â
"Ada 772 orang yang lahannya masuk dalam rencana rehabilitasi program CSR PT Vale. Sementara luas lahan yang menjadi kewajiban PT Vale sendiri itu ada 750 Hektare," sebutnya.Â
Sejauh ini, solusi yang ditawarkan dalam polemik itu adalah pemindahan lokasi rehabilitasi yang menjadi kewajiban PT Vale Indonesia, sehingga warga bisa tetap menggarap lahan milik mereka.Â
"Itu solusi setelah DPRD Kabupaten dan DPRD Provinsi turun tangan, tapi tidak terealisasi juga," ucap Rusli.Â
Â
Simak juga video pilihan berikut:
Penjelasan UPT Kesatuan Pelaksanaan Hutan Walanae
Terpisah, Kepala UPT KPH Walanae, Muhammad Junan, mengatakan bahwa lokasi yang ia beri tanda adalah kawasan hutan lindung yang diterbitkan langsung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).Â
"Jadi yang di Desa Awo itu patoknya berdasarkan SK 362 2019 yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup," kata Junan kepada Liputan6.com.
Junan menyebutkan bahwa patok berwarna merah yang berada di lahan warga itu bukan menjadi batas kawasan hutan lindung. Patok itu hanya menjadi penanda luas wilayah yang harus direhabilitasi oleh PT Vale Indonesia.Â
"Patok merah itu bukan batas hutan lindung. Itu adalah batas kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan rehab DAS PT Vale yang merupakan kewajibannya," jelas Junan.
Sehingga, lanjutnya, kawasan hutan lindung Walanae bisa dipastikan lebih luas dari patok tersebut. Junan menjelaskan, peta yang diberikan oleh KLHK kepada dirinya menunjukkan wilayah yang lebih luas dari pada patok penanda tersebut.Â
"Tentu saja lebih luas," jelasnya.Â
Saat ditanya ihwal sertifikat tanah yang dimiliki warga atas lahan hutan lindung tersebut, Junan mengatakan bahwa dirinya tidak mengetahui akan hal tersebut. Padahal penerbitan sertifikat kawasan hutan lindung untuk dikelola secara pribadi harus menunggu rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.Â
"Saya tidak tahu berlakunya kapan, yang jelas beberapa tahun terakhir harus ada rekomendasi dari kehutanan untuk penerbitan sertifikat. Tapi kalau sertifikat sebelumnya itu belum ada, kalau sertifikat lama mungkin bisa tanya BPN," ucap dia.Â
Junan pun menawarkan solusi kepada warga berupa kegiatan perhutanan sosial. Kegiatan itu adalah memberikan kewenangan kepada warga untuk mengelola kawasan hutan tanpa harus memilikinya.Â
"Yang penting kan hutan lestari, masyarakat sejahtera," imbuhnya.Â
Â
Advertisement
Klarifikasi Badan Pertanahan Nasional
Kepala Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Wajo, Sa'pang Allo, menanggapi ihwal sertifikat milik warga atas tanah yang berada dalam kawasan hutan lindung Walanae tersebut. Menurut dia sertifikat tersebut adalah produk lama.Â
"Berkenaan adanya sertifikat itu, kami klarifikasi bahwa sertifikat tersebut adalah produk lama dan saat ini kami masih melakukan pengecekan dan ploting peta apakah sertifikat-sertifikar tersebut berada di dalam kawasan hutan atau tidak dengan meng-overlay peta kawasan hutan," jelas Sa'pang Allo kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2029).Â
Sa'pang melanjutkan, jika sertifikat warga tersebut masuk atau terindikasi dalam kawasan hutan maka pihaknya akan meneliti secara administratif apakah penerbitan sertifikat tersebut memenuhi syarat atau tidak.
"Sertifikat adalah bukti hak yang kuat, pengertian kuat disini artinya bukan mutlak, oleh karena sistem hukum agraria di Indonesia menganut Sistem Negatif Bertendens Positif artinya sertifikat berlaku sebagai bukti hak yg kuat sepanjang tidak dapat dibuktikan," jelasnya
Sebaliknya, terang Sa'pang, bilamana terdapat bukti bahwa prosedurnya tidak memenuhi syarat dan terdapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan menyatakan sertifikat itu tdk mempunyai kekuatan mengikat maka sertipikat tersebut harus dibatalkan.
"Pembatalan sertifikat dapat dilakukan antara lain karena putusan pengadilan yg telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incrach), cacat administrasi, dilepaskan dengan sukarela oleh pemegang haknya dan eksaminasi yg dilakukan oleh menteri ATR/Ka BPN," dia memungkasi.Â