Sukses

Kisah Usman Janatin, Prajurit KKO Legendaris yang Gugur dalam Operasi Dwikora di Singapura

Soekarno melalui angkatan bersenjata mengutus prajurit KKO untuk menyusup ke Malaysia dan Singapura

Liputan6.com, Purbalingga - Gerimis tipis turun di Dukuh Tawangsari Desa Jatisaba Kabupaten Purbalingga, Senin pagi (5/10/2020). Di dukuh pinggiran kota itu, berdiri sebuah rumah tempat lahir Sersan Dua KKO (Anumerta) Usman Janatin, pahlawan nasional yang fenomenal dengan aksi pemboman objek vital di Singapura 52 tahun silam.

Jejak heroisme Usman Janatin terekam jelas dalam sebuah museum di belakang rumah bersejarah di Tawangsari. Museum yang dinamai Museum Usman Janatin.

Museum itu memajang berbagai peninggalan sang pahlawan nasional, Usman semasa hidupnya. Satu di antara barang peninggalan Usman adalah radio.Radio itu ia beli selepas masa pendidikan di Malang, Jawa Timur. Usman membeli sebuah radio untuk kedua orangtuanya.

“Usman bilang bahwa bapak dan ibu akan mendengar kabar saya dari radio ini,” kata Artoyo (80), suami adik kandung Usman Janatin yang bernama Siti Turiah (70).

Entah firasat atau bukan, perkataan Usman menjadi kenyataan. Usai menjalankan tugas dalam Operasi Trikora di Papua (dulu Irian Barat-red), Usman kembali bertugas pada Operasi Dwikora. Ketika itu, Bung Karno tengah menggelorakan perlawanan terhadap kolonialisme Inggris di Malaysia.

Namun karena belum ada deklarasi perang, Soekarno melalui angkatan bersenjata mengutus prajurit KKO untuk menyusup ke Malaysia dan Singapura. Usman menjalankan misi menciptakan huru-hara dengan meledakkan sejumlah gedung Singapura. Gedung yang berhasil digoncang antara lain Kantor Pos dan sebuah hotel.

Setelah bom meledak, Usman bersama Harun mencoba kabur melalui jalur laut. Mereka merampas sebuah perahu motor milik warga setempat lalu tancap gas meninggalkan pelabuhan Singapura.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Gugurnya Usman dan Harun

Namun sayang, ditengah pelarian ini, perahu motor yang ditumpangi Usman kehabisan bahan bakar. Mereka berdua akhirnya tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada 17 Oktober 1968.

“Dari radio itu, kedua orangtua Usman mengikuti perkembangan nasib putranya,” ujar dia.

Sore hari tanggal 16 Oktober 1968 RRI mengabarkan Usman akan dieksekusi keesokan harinya. Semalaman keluarga di rumah tak tidur demi mengikuti perkembangan terbaru Usman.

Pagi harinya kabar dari siaran radio mengumumkan Usman dan Harun telah dieksekusi. Usman dan Harum dihukum gantung hingga gugur.

“Setelah pengumuman itu baru geger orangtuanya,” tuturnya.

Sebelum dieksekusi mati, Usman diberi kesempatan menulis surat untuk orangtuanya, Mohammad Ali dan Siti Rukiah. Salinan surat itu juga tersimpan rapi bersama surat-surat lain di Museum Usman Janatin. Dari goresan pena pada surat terakhir itu, Usman tampak tegar meskipun tengah menghadapi hukuman mati.

“Tulisan pada surat yang terakhir sama dengan tulisan yang lain, seperti tidak merasakan takut atau panik meskipun akan dihukum mati,” ucapnya.

Kedua orangtua Usman sangat berduka meskipun tetap berusaha tegar. Sebelum Usman, mereka pernah kehilangan anak laki-lakinya yang memilih jalan sebagai pejuang kemerdekaan. Duka itu bukan yang pertama bagi pasangan suami istri ini.

 

3 dari 3 halaman

Pernah Dilarang Mendaftar Tentara

Adalah Ahmad Khusni, kakak pertama Usman Janatin yang menginspirasi Usman masuk ke kesatuan KKO (sekarang Marinir TNI AL). Khusni kehilangan kakinya dalam sebuah peperangan.

Tentara Belanda menembak granat yang disematkan di paha kaki kanannya. Granat itu meledak dan menghancurkan kakinya. Meskipun sempat mendapat perawatan, namuk akhirnya dia gugur.

“Waktu itu minta obatnya ke dokter pertama di Purbalingga, mintanya pun pura-pura merampas dengan mengikat dokternya. Karena kalau ketahuan membantu gerilyawan bisa dihukum,”kata dia.

Usman merasa terpanggil mengikuti jejak kakaknya. Ia pun meminta izin orangtua untuk mendaftar KKO. Namun orangtuanya menolaknya mentah-mentah.

Mereka tak mau kehilangan anaknya untuk kesekian kali. Sebab, ketiga anaknya yang bernama Ahmad Khusni, Ahmad Khuneni, dan Ahmad Matori semua menjadi pejuang kemerdekaan. Mereka bergerilya keluar masuk hutan.

Ketika kangen orangtua, mereka pulang ke rumah. Namun seringkali ketika baru bertemu beberapa menit, patroli tentara Belanda datang sehingga mereka buru-buru kabur masuk ke pedalaman hutan.

“Orangtuanya tidak mau hal itu terulang pada Usman,” ujarnya.

Namun Usman tetap mendaftar tanpa sepengetahuan orangtuanya. Orangtua baru tahu sebelum Usman berangkat bertugas ke Papua. Rasa cintanya pada tanah air tak bisa dibendung. Ia buktikan cintanya untuk negara dengan mengorbankan nyawanya di usianya yang baru 25 tahun.