Sukses

Longsor Telan 2 Sapi, Tanah Membelah 100 Meter Kembali Hantui Warga di Cilacap

Tanah di perbukitan itu membelah sepanjang 100 meter. Retakan itu mengancam sawah dan permukiman penduduk

Liputan6.com, Cilacap - Kabupaten Cilacap adalah wilayah dengan risiko bencana alam tertinggi di Provinsi Jawa Tengah, dan salah satu yang tertinggi di Indonesia. Banjir, longsor, puting beliung, hingga gempa dan tsunami berisiko terjadi di kabupaten pesisir selatan paling barat Jateng ini.

Berbeda dengan awal musim hujan tahun-tahun sebelumnya yang irit air, El Nina memicu hujan deras berhari-hari pada awal musim penghujan. Air bak tumpah dari langit.

Kondisi tanah kering yang langsung dibasahi terus-menerus memicu bencana hidrometeorologi. Di Desa Kutaagung, Kecamatan Dayeuhluhur, misalnya, muncul retakan tanah sebagai tanda awal longsor.

Tanah di perbukitan itu membelah sepanjang 100 meter. Retakan itu mengancam sawah dan permukiman penduduk.

Staf Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Majenang, Muhadi mengatakan di bagian bawah area retakan terdapat lahan pertanian, yakni sawah produktif. Adapun di bagian atas samping, ada permukiman penduduk dengan jumlah delapan keluarga yang terdiri dari 20 jiwa.

“Jarak dari mahkota longsoran sekitar 50 meter,” katanya, Kamis (8/11/2020).

Dia menjelaskan, bagian mahkota retakan tanah turun antara 20-100 sentimeter. Itu menunjukkan ada pergeseran tanah dalam skala luas dan bisa memicu longsor.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Mengancam Aliran Sungai dan Jalan

Retakan dan gerakan tanah berpotensi terus terjadi menyusul curah hujan tinggi di kawasan Cilacap barat. Terlebih, kemiringan tanah cukup curam mencapai 45 derajat.

"Panjang retakan 100 meter, ke bawahnya sekitar 300 meter lebih,” ujarnya.

Dalam peristiwa itu, retakan tanah juga merusak saluran irigasi dari Daerah Irigasi (DI) Citengah. Risiko lainnya, jika sampai terjadi longsor, material akan menutup aliran sungai Cilumus dan menutup jalan raya Kutaagung-Bolang.

Muhadi mengungkapkan, gerakan tanah bukan kali pertama ini terjadi. Sebelumnya, pada tahun 1984, di tempat yang sama, longsor pernah terjadi. Dalam peristiwa itu, longsor membawa dua ekor sapi dan tak pernah ditemukan.

“Kemungkinan tertimbun longsoran,” ujarnya.

Dia juga mengemukakan, BPBD telah merekomendasikan agar kawasan di bawah mahkota longsoran diubah dari sawah menjadi perkebunan tanaman keras. Hal itu dilakukan untuk menjaga agar gerakan tanah bisa dihentikan.

“Warga sudah setuju. Jadi nanti area longsoran itu diubah jadi tanaman keras produktif,” jelasnya.