Sukses

Menjaga Tradisi Rasulan Gunungkidul di Tengah Pandemi Covid-19

Tradisi rasulan dan buang sokerto merupakan ungkapan rasa syukur warga menjelang musim tanam tiba dan membuang hal hal negatif di dusun tersebut agar terhindar dari berbagai penyakit dan malapetaka

Liputan6.com, Gunungkidul - Masyarakat Kalurahan Nglindur, Kapanewon Girisubo, Gunungkidul, Yogyakarta tetap menjaga tradisi budaya rasulan meski dilakukan dengan prosesi yang lebih sederhana akibat pandemi Covid-19 belum berakhir.

Perayaan rasulan di dusun ini biasanya digelar dengan berbagai kemeriahan dan hiburan rakyat. Namun kali ini berbeda dengan tahun tahun sebelumnya hanya doa bersama sejumlah tokoh masyarakat dengan membawa berbagai makanan di tempat terbuka agar mengurangi resiko penularan Covid19.

Tak banyak pula sanak saudara yang berkunjung ke rumah untuk merayakan rasulan. Padahal sebelumnya tradisi ini menjadi sarana silaturohmi. Masyarakat biasa menyediakan berbagai jenis makanan untuk teman atau saudara yang datang.

 

Lurah Nglindur, Supriyana mengatakan, tradisi rasulan dan buang sokerto merupakan ungkapan rasa syukur warga menjelang musim tanam tiba dan membuang hal hal negatif di dusun tersebut agar terhindar dari berbagai penyakit dan malapetaka.

“Buang sokerto ini sebagai upaya warga masyarakat disini agar tak tertular Covid, bukan hanya covid saja melainkan hal hal lainya juga," kata Supri.

Menurutnnya, tradisi budaya rasulan tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Hiburan ditiadakan, tidak ada gelak tawa keluarga atau teman yang datang ke rumah yang merayakan rasulan. Kalapun ada jumlahnya hanya sedikit karena mesti memeratikan protokol kesehatan.

"Biasanya Rasulan ini sudah seperti hajatan, seluruh warga masak banyak. Namun tahun ini masaknya lebih sedikit, karena untuk hantaran ke saudara, dan kenduri saja," ungkapnya.

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Digelar di Tempat Terbuka

Upacara kenduri pun dilakukan ditempat terbuka, lanjut Supri, mengingat upacara tradisi ini tidak bisa menghitung siapa saja yang dating sehingga lebih efektif agar dapat menjaga jarak aman dilakukan dipinggir jalan.

Upacara ritual pun dimulai sekitar Pukul 13:00 wib, warga masyarakat yang dating menunggu kehadiran Cucu HB ke VIII Gusti Kukuh hertriyasning pun berdiri ketika beliau berjalan menuju tempat rutual adat.

Dengan berpakaian adat jawa dan diikuti oleh sesepuh adat Dusun Nglindur, upacarapun dimulai dengan doa agama islam. Seluruh makanan yang dibawa warga ditempatkan di meja yang telah disiyap untuk disedekahkan dan nantinya akan mekan bersama sama.

Tradisi rasulan biasanya melewati prosesi panjang, beberapa hari sebelum pelaksanaan sudah dilakukan ritual namun hanya doa bersama dan langsung ke Puncak acara. Puncak utamanya adalah ziarah Ke Petilasan Bondan Surati, petilasan tersebut dipercaya warga dapat mendatangkan keberkahan dan menolah mara bahaya.

Cucu HB VIII, Gusti Kukuh Hertriyasning mengatakan, tradisi rasulan biasanya dilakukan sejak bulan April hingga bulan Juli. Namun, karena saat ini masa pandemic maka tidak melibatkan massa dalam jumlah banyak.

“Ini dilakukan secara mandiri dengan hanya melakukan kenduri sederhana dan ritual," Jelas Gusti Aning

Dirinya mengimbau kepada masyarakat, dalam melaksanakan rasulan ini juga harus mengikuti anjuran pemerintah agar menjaga jarak, mencuci tangan, dan selalu menggunakan masker.

“Warga sudah sadar, tetapi memang harus di sadarkan lagi agar lebih berhati hati,” ungkpanya.

Saat disinggung terkait budaya, Ia menuturkan, bahwa Tradisi Rasulan ini merupakan satu dari sekian banyak upacara tradisi di wilayah Gunungkidul bahkan di Yogyakarta dan menjadi warisan leluhur agar terjaga.

“Iya, salah satu yang membuat Yogyakarta ini Istimewa adalah Rasulan. Walaupun masa pendemi, tradisi ini tetap dilaksanakan," ucap Aning.

Ia berharap, bahwa tradisi tradisi semacam ini tetap dilaksanakan meski harus mengikuti protocol kesehatan. Terlebih, jangan sampai penerus sejarah Yogyakarta hanya mendapat cerita bukan sebagai pelaku sejarah.