Sukses

Menelusuri Rumah Joglo Tertua di Tanah Jawa

Selain kaya akan makna filosofi, rumah Joglo juga sudah dilengkapi teknologi penahan goyangan akibat gempa bumi.

Liputan6.com, Gunungkidul - Rumah Joglo merupakan rumah tradisional Jawa dengan bentuknya yang khas. Bagian tengahnya ada soko, tiang penyangga. Bagian bawah soko ada ompak atau slop, bagian ini berfungsi menahan goyangan jika terjadi gempa bumi. Bagian unik lainnya pada rumah Joglo ada pada atapnya yang berbentuk limas. 

Liputan6.com coba menelusuri deretan rumah Joglo tertua di tanah Jawa. Salah satu yang ditemukan adalah sebuah rumah Joglo yang ada di Gunungkidul. Rumah milik warga bernama Mujono itu berlokasi di Padukuhan Gebang, RT 16 RW 04, Kalurahan Ngloro, Kapanewonan Saptosari. 

Rumah yang pada 2011 pernah mendapatkan penghargaan dari Kemendikbud dan Kementerian Pariwisata itu kini telah menjadi bangunan cagar budaya. 

Anak Mujono, Nur Isti Khomariyah (29) kepada Liputan6.com, akhir pekan kemarin menuturkan, rumah yanga berukuran 26x12 meter itu berdiri di atas tanah seluas 1.191 meter persegi dan menghadap ke arah selatan. Rumah tersebut terdiri dari 5 rumah dengan bentuk dan fungsi yang berbeda.

"Ini sudah turun temurun. Warisan kakek canggah saya," ujar Nur.

Nur menyebutkan, paling belakang berbentuk limasan, rumah yang di tengah juga limasan dan bagian depan berbentuk Joglo. Sementara di sisi kiri ada dua rumah berbentuk kampung yang masing-masing berfungsi untuk dapur dan tempat makan keluarga. Di depan 2 rumah kampung tersebut ada  joglo yang baru didirikan.

Nur menjelaskan rumah paling belakang berbentuk limasan merupakan warisan dari mbah canggah dirinya atau mbah buyut dari ayahnya Mujono, yaitu Karyo Setiko pada 1930. Kemudian dari Karyo Setiko kepada simbahnya atau ibunya Marto Wiyono pada 1952.

"Oleh mbah Marto Wiyono diwariskan ke Supardi Wiyono pada tahun 1980. Sehingga sudah turun menurun sebanyak 3 generasi," katanya.

Bangunan tersebut baru didirikan di tanah itu pada 1991. Saat itu, ibunya yang merupakan anak pertama dari keluarga neneknya tersebut 'disendirikan' dengan dibangunkan di Padukuhan Gebang. Saat diwariskan, rumah tersebut sudah pindah 3 kali dan semuanya di Kalurahan Ngloro.

Nur mengatakan, rumah paling belakang berbentuk limasan memiliki cagak atau tiang 14 cm. Rumah limasan tersebut berukuran 18×12 meter persegi dengan tiang setinggi 3,10 meter dan sekelilingnya berdinding kayu atau sering disebut gebyok.

"Di bagian belakang ini berfungsi tempat tidur ayah saya Mujono. Di dalamnya ada gladak atau kotak berukuran 1,5x2,5x1,25 meter yang berfungsi sebagai tempat menyimpan gabah hasil panenan," terangnya.

Rumah limasan bagian tengah, kata Nur, merupakan warisan dari buyutnya, yaitu So Setiko. Namun tahun berapa diturunkan ke kakeknya Kromo Sentono ia tidak memahami. Dan pada 1952 kemudian diwariskan ke Wiryo Sentoro atau bapak dari Mujono, 1980 kepada Wiryo Sentono. Dan karena Mujono 'disendirikan' maka limasan tersebut didirikan Padukuhan Gebang pada 1991.

Rumah paling depan berbentuk Joglo Tumpang 5 dan merupakan warisan yang sama dengan rumah paling belakang. Ukuran soko tiangnya adalah 15 cm dengan luas 12x9 meter persegi dan tinggi 3,5 meter.

Pemilik rumah Joglo, Mujono, mengaku tidak begitu sulit merawat rumah tua itu. Untuk membersihkan dinding kayu kuno memang membutuhkan ramuan khusus, yaitu cengkeh dicampur dengan tembakau, direndam dalam air bersama gedebong pisang.

"Merendamnya tiga hari tiga malam. Biar mengendap dulu," ungkapnya.

Ramuan tersebut lantas diusapkan ke dinding kayu yang sudah dipelitur tersebut. Hasilnya, selain awet dan bersih, dinding kayu yang sudah diusap rendaman tersebut menjadi semakin bersinar dan aslinya sangat tampak. Bagian lantai cukup disapu tiap 3 hari sekali.

  

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak juga video pilihan berikut ini: