Sukses

Kisah 3 Nenek di Kendari Jadi Buruh hingga Masa Tua, Kena PHK Tanpa Pesangon

Tiga nenek buruh pabrik pengolahan ikan di Kota Kendari, kena PHK tanpa pesangon dari pihak perusahaan.

Liputan6.com, Kendari - Kisah tiga orang nenek berstatus buruh Kota Kendari tidak berakhir indah. Menghabiskan masa tua di pabrik pengolahan ikan, mereka kena PHK tanpa pesangon saat kondisinya sudah renta.

Ketiganya yakni, Sumiati (65), Norma (66) dan Yodiati (48). Mereka merupakan mantan buruh pabrik PT KML, sebuah perusahaan pengolahan ikan di pesisir Teluk Kendari.

Rata-rata sudah bekerja sejak 10 tahun lalu, ternyata tiga lansia itu hanya berstatus pekerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Mereka tercatat sebagai pekerja harian, tanpa kontrak yang jelas.

Bahkan, seorang nenek bernama Norma, sudah bekerja sejak 2007 hingga 2019.  Selama itu, perusahaan mengupahnya Rp13 ribu per jam. Hal ini terungkap saat keduanya mengadu di LBH Kendari.

Salah seorang buruh, Yodiati mengungkapkan, dia bekerja sejak tahun 2007 hingga 2017. Dia bercerita, pernah jatuh pingsan kelelahan dalam areal perusahaan.

"Itu sekitar 2016, badan saya sampai mati sebelah, lalu saya dirawat di RS. Kemudian istirahat 5 bulan. Pas saya mau masuk kembali mau bekerja, tidak diberi kesempatan," cerita janda dua anak itu, Rabu (21/10/2020).

Dia menyebut, pihak perusahaan sempat menyampaikan kepadanya jika dia sudah nenek-nenek dan gampang jatuh sakit jika kembali bekerja. Setelah itu, tanpa komunikasi yang jelas, perusahaan benar-benar memutus komunikasi dengan wanita yang sudah ditinggal mati suaminya sejak 2015.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Nasib Dua Nenek Lainnya

Sumiati (65) dan Norma (66) tidak jauh berbeda keadaannya. Kedua nenek ini, juga bekerja sejak 2007 di perusahaan yang sama. Sumiati kena PHK pada 2016, sedangkan Norma pada 2019.

Keduanya masing-masing bekerja sebagai tukang sapu dan penyortir ikan dan gurita yang diekspor ke luar negeri.

Keduanya juga pernah pingsan dalam lokasi perusahaan saat jam kerja. Berulang kali masuk rumah sakit, bahkan harga obat, tak masuk dalam tanggungan pihak perusahaan.

Beruntung, Yodiati masih memiliki kartu sehat dari kelurahan. Dia menghitung, sekitar lima hingga enam kali bolak balik rumah sakit.

"Gaji saya cuma Rp 13 ribu per jam, saya pakai naik ojek Rp10 ribu pulang-pergi kerja. Sisanya itu yang dipakai beli makanan di rumah. Kalau pakaian, kadang saya utang dulu nanti gajian baru saya bayar sama tetangga," ujar Sumiati.

Dia bercerita, sejak suaminya meninggal 17 tahun lalu, sembarang pekerjaan dilakoni supaya bertahan hidup. Gajinya, untuk menghidupi enam anaknya yang kini diantaranya sudah berkeluarga.

Norma (66), ibu tiga anak ini, juga di PHK dengan alasan tak jelas. "Kami kan kerja kalau ada barang (ikan-hasil laut) masuk. Kalau ndak ada barang, ndak masuk kerja," ujarnya.

Dia melanjutkan, awal mula tak bekerja di sana, pihak perusahaan memintanya agar mengambil libur dengan alasan ikan belum masuk. Namun, saat stok ikan mulai masuk di pabrik dan buruh lainnya mulai bekerja, dia tak pernah dipanggil lagi.

Norma menceritakan, dia masih memiliki suami. Namun, pria yang usianya lebih tua beberapa tahun itu, sudah tak mampu banyak bekerja karena sakit-sakitan.

3 dari 4 halaman

Jam Kerja Tak Menentu

Dari informasi pihak LBH dan ketiga nenek yang kena PHK, ternyata PT KML membayar mereka dengan sistem gaji per jam. Masuk tanpa ada kontrak jelas, ketiganya juga tidak bekerja sebulan penuh.

Menurut Yodiati, jika stok ikan sedang banyak, mereka bekerja sejak pukul 8.00 pagi hingga pukul 20.00 malam. Namun, situasi ini tidak berlangsung setiap hari.

"Kadang, sebulan kami hanya masuk kerja 17 hari. Tidak setiap hari, tergantung ada ikan atau tidak," ujarnya.

Dalam seminggu, mereka biasa masuk empat sampai lima hari saja. Itupun, menurut mereka, jika stok ikan sedang banyak.

Saat sedang lembur hingga pukul 22.00 Wita, mereka tak mengetahui biaya lembur masuk dalam slip nota gaji atau tidak. Mereka hanya tahu menerima gaji setiap dua minggu sekali.

"Kadang terima Rp300 ribu, kadang sampai Rp500 per dua minggu," ungkap Yodiati.

Dia dan kedua rekannya mengaku, masuk tanpa mendaftar dan tanda tangan kontrak secara resmi. Mereka bercerita, awalnya pihak perusahaan mendatangi warga, mencari yang mau bekerja.

"Dari situ informasi menyebar, kemudian kami saling panggil untuk kerja di sana," ujar Yodiati.

4 dari 4 halaman

Pengadilan Tolak Gugatan

Usai kena PHK, ketiga nenek itu sempat melapor ke Disnaker Sultra sejak Desember 2019. Namun, upaya mediasi gagal meskipun kerabatnya ikut membantu. Pada Juli 2020, laporan mereka diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Pengadilan Negeri Kendari.

"Permintaan kami, dibayar pesangon atau apalah, biaya selama masuk RS bisa diganti. Itu saja," ujar Norma.

Dari data yang dibacakan Hakim PHI Pengadilan Negeri Kendari, Tahir SH bersama dua hakim anggota, ketiga nenek ini rata-rata meminta biaya pesangon sebesar Rp 10 juta selama bekerja 10 tahun.

Rinciannya, untuk biaya kesehatan dan gaji yang tak sesuai UMR. Masing-masing sebesar Rp1 juta ditambah Rp8 juta lebih.

Jumlah rata-rata, total yang mereka minta untuk dibayarkan perusahaan sebesar Rp9,9 juta.

Namun, perusahaan tidak mengamini permintaan mereka. Hakim PHI mengatakan, mereka tak disertai kontrak jelas saat bekerja dan tak ada perjanjian kerja.

"Setelah mencermati gugatan pihak penggugat, sebagaimana dengan sistem pekerjaan PKWT, bahwa hal tersebut adalah gugatan yang kabur. Tidak ada korelasi, antara poin-poin gugatan yang diajukan penggugat (nenek) dan data-data yang diajukan pihak tergugat (perusahaan)," ujar hakim, Kamis (22/10/2020).

Kuasa hukum Nenek Yodiati dan dua lainnya, Anselmus Masiku, mengatakan dari tiga putusan ini, hanya nenek Norma yang gugatannya diterima. Dia dinyatakan, ada hubungan hukum berupa hubungan kerja.

"Tapi karena statusnya pekerja harian, maka Ibu Norma tidak mendapatkan hak pesangon," ujar Anselmus.

Ketua LBH Kota Kendari ini menambahkan, padahal jika melihat lamanya waktu kerja, seharusnya ketika hakim menolak pemberian upah kerja, seharusnya ketiganya bisa diberi uang pisah kerja.

Uang pisah kerja yakni, uang yang diberikan bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung. Selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

"Karena, pekerja ini berhenti bukan karena kemauannya namun karena sakit-sakitan," katanya.

Dia menilai, ada ketidakadilan dalam putusan hukum terhadap ketiga orang nenek ini. Namun, tidak sampai di situ, pihaknya masih akan melakukan kasasi.

"Untuk Nenek Norma, kami akan kasasi terhadap putusan hakim. Sedangkan, dua penggugat lainnya, Yodiati dan Sumiati, ada salah ketik dalam gugatan, kami akan ajukan gugatan kembali," pungkasnya.

Pihak perusahaan PT KML yang ikut sidang, Kamis (22/10/2020) langsung meninggalkan ruangan sebelum sidang usai. Saat wartawan mengonfirmasi, salah seorang staf PT KML tidak mengangkat telepon seluler. 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.