Sukses

Putar Otak Petani Aren Saat Pandemi, Ubah Tuak Jadi Gula 'Berbuah Manis'

Agustinus, seorang pedagang tuak manis di Kabupaten Kolaka, memutuskan mengubah miras menjadi gula merah di tengah pandemi Covid-19.

Liputan6.com, Kendari - Setiap hari sejak pandemi Covid-19, ada saja cerita pengusaha kecil dan menengah di pelosok negeri, terpaksa gulung tikar. Namun, tak sedikit kisah pengusaha yang bangkit kembali, bahkan mampu melaju dengan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Cerita penjual tuak di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, ini mungkin bisa menumbuhkan kembali asa pengusaha yang tengah terpuruk. Berani melompat dari zona nyaman di tengah badai, dia justru menemukan berkah. Pandemi Covid-19, memaksa keluarga penjual tuak ini beralih menjadi produsen sekaligus penjual gula merah online.

Agustinus Daen (40), selama 12 tahun, dia sudah berdagang ballo, sejenis tuak manis khas Kabupaten Kolaka. Minuman ini, hasil dari fermentasi nira dan ragi, yang mengubah air aren menjadi minuman beralkohol.

Dia mengikuti jejak ayahnya yang sudah mengolah tanaman bernama latin Arenga pinnata itu, sejak dia masih bocah. Ayahnya merupakan petani sekaligus penyadap aren terkenal, punya banyak langganan di kampungnya.

Agustinus memulai ceritanya dari sebidang tanah dengan 22 pohon aren produktif. Tiap hari, satu pohonnya menghasilkan nira sebanyak 12 liter saat dipanen pagi dan sore hari.

"Nah, kalau nira dijual itu bisa menghasilkan Rp50 ribu setiap pohon. Jika pohonnya banyak, kami tiap bulan bisa makan cukup, biaya anak sekolah setiap bulan dan beli kebutuhan rumah tangga," ujar Agustinus kepada Liputan6.com, Rabu, 4 November 2020.

Kondisi yang terbilang mudah meraup rupiah itu berubah sejak pandemi Covid-19. Dia terpaksa menghentikan produksi tuak ketika pandemi menunjukkan dampaknya pada akhir Februari 2020 di wilayah Sulawesi Tenggara.

"Pembeli berkurang, karena katanya corona virus ganas. Apalagi, ada warga mulai terpapar. Katanya karena minum tuak dan kumpul-kumpul, bisa cepat tertular corona," katanya.

Karena banyaknya informasi yang simpang siur pada awal pandemi, warga mulai ragu menenggak alkohol. Padahal, menurut Agustinus, dia menjual tuak untuk menambah energi setelah petani lelah bekerja di sawah.

Kondisi ekonomi keluarga mulai berubah ketika dia harus membiayai kuliah dan sekolah anak-anaknya. Sedangkan, stok tuaknya juga kebanyakan rusak akibat tidak laku selama berminggu-minggu.

Anaknya yang pertama, Harni Asira (19), kuliah di perguruan tinggi. Sedangkan, akan kedua dan ketiga, Alvin Gusnadi (14) dan Audriel (7) berstatus pelajar SMP dan SD.

"Kalau hanya makan, kami mungkin masih bisa bergantung dengan hasil kebun. Jadi, saya mesti cari cara lainnya," ujar petani yang memiiki sebidang sawah itu.

Usai berembuk dengan sang istri, Kristin, mereka menyepakati usaha gula aren jadi pilihan. Selain memiliki banyak stok air aren, mereka juga tak perlu ragu hasil produksinya rusak atau basi, karena gula merah dapat bertahan berbulan-bulan.

"Dari situ, saya coba cari karyawan dan bantuan untuk membuat gula aren. Karena ini berbeda dengan menjual tuak yang bisa saya jalani sendiri," katanya.

Usaha ini mulai menarik perhatian warga sekitar. Sumarsini, tetangga Agustinus menceritakan, puas dengan hasil gula merah keluarga Agustinus. Sebab, dia melihat sendiri cara membuat gula merah sebelum dia konsumsi.

"Bisa lihat langsung, sebab itu tidak ragu membeli karena prosesnya bersih dan dibuat dengan hati-hati," katanya. 

Agustinus menyadari, tak mudah menarik hati pembeli di tengah pandemi Covid-19. Sehingga, saat membuat gula merah dia berusaha tetap menerapkan protokol kesehatan, yakni menggunakan masker, menjaga kebersihan diri dan peralatan usahanya.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Mampu Merekrut Karyawan

Proses membuat gula aren memerlukan banyak kayu bakar. Tak kesulitan mencari, lahan di belakang kebun keluarga Agustinus, masih berupa hutan. Dia dengan mudah mengumpulkan sisa-sisa batang kayu kering.

Ia kemudian membeli peralatan pengaduk, saringan, dan wajan dari pasar tradisional. Menggunakan tabungannya, dia juga bisa membangun dapur kecil tempat memasak aren.

Rata-rata, setiap wajan besar untuk merebus air aren mampu menampung 30 sampai 40 liter. Agar menjadi gula merah, memerlukan empat sampai lima jam sejak mulai dari merebus air nira, mengaduk-aduk, hingga cairan berubah bentuk menjadi karamel bertekstur lebih kental.

Setelah cairan menjadi karamel kental, karyawan langsung menuang gula merah ke cetakan. Alat pembentuk gula merah batangan milik Agunstinus, masih tradisional karena menggunakan batok kelapa.

"Jika waktu memasaknya kurang dari 4 jam, kualitas gula merah akan agak sedikit lembek saat dicetak. Kalau lebih lama, gulanya ada sedikit rasa pahit saat sudah jadi gula," jelasnya.

Tak ingin meninggalkan aktivitas mengolah sebidang sawah, dia mulai memanggil keluarganya untuk membantu menggarap lahan itu. Ada empat orang kerabat yang tak memiliki pekerjaan ikut terlibat.

"Mereka bekerja, bantu-bantu walau gaji tak banyak," katanya.

Menurutnya, pohon aren, tidak hanya menghasilkan nira. Buahnya yang muda, dapat dikupas menjadi buah kolang-kaling. Pohon aren juga memproduksi batang dan serat yang dipakai sebagai bahan pembuat sapu ijuk dan perkakas rumah tangga.

3 dari 3 halaman

Jualan Online hingga ke Bali

Setelah membuat gula aren, dia mengaku agak kesulitan memasarkan di pasar tradisional. Sudah banyak penjual produk serupa dengan harga bersaing.

Agustinus memakai cara lain. Dengan berbekal bantuan anaknya yang paham teknologi, dia memasarkan produknya melalui media dan jejaring sosial. Sejak saat itu, dia perlahan melayani ratusan pembeli dengan cara mengantarkan dengan sepeda motor atau pembeli datang langsung ke rumah.

"Beberapa bulan kemudian, syukur sudah banyak yang tahu. Bahkan ada pemesan dari Bali, sebanyak 40 kilogram karena rajin-rajin posting jualan di media sosial," katanya.

Dia menceritakan, sudah mengirim pesanan sebanyak 40 kilogram dari Kabupaten Kolaka menuju Bali. Kebetulan, stok gula aren sedang banyak usai produksi beberapa hari.

"Sekarang, saya bisa kembali lagi mendapatkan penghasilan, meski tak lagi menjual tuak tapi bahan asalnya tetap sama. Syukur juga, penghasilan bisa menghidupi keluarga, membiayai sekolah tiga anak," katanya.

Kadis Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kolaka, Achiruddin mengatakan, tahun 2020 ada sekitar 700 sampai 800 usaha mikro kecil dan menegah di Kolaka. Ada sebanyak 2.886 orang karyawan Industri Kecil Menengah, sedangkan sekitar 3.000 orang lebih sisanya berasal dari Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

"Selama pandemi, hampir tidak ada yang tutup. Namun, kalau pengurangan karyawan, memang ada dan mencapai sekitar 10 persen dari jumlah total. Kebanyakan dari usaha jasa perhotelan," dia memungkasi.