Liputan6.com, Cilacap - Banjir lebih dari sepekan merendam dua kecamatan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Dua kecamatan tersebut yakni, Kroya dan Nusawungu.
Dalam banjir itu, ribuan rumah terendah dan lebih dari 1.000 jiwa mengungsi. Disinyalir banjir besar yang merendam ribuan rumah tersebut disebabkan saluran air yang perlu dinormalisasi.
Advertisement
Baca Juga
Pasalnya, telah terjadi pendangkalan dan penyempitan sungai di beberapa titik. Karenanya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah berkoordinasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWSO) untuk bekerja sama mengantisipasi banjir di masa mendatang dengan upaya normalisasi sungai.
Kepala Pelaksana Harian BPBD Cilacap, Tri Komara Sidhy mengatakan, dalam kondisi rusak, sungai tak bisa menampung debit air. Dampaknya, air meluap atau menyebabkan tanggul sungai jebol.
“Perlu normalisasi. Kami sudah berkoordinasi dengan BBWSO,” katanya, Kamis (12/11/2020).
Selain rusaknya sungai, Komara tak menampik bahwa banjir juga disebabkan oleh cuaca ekstrem berupa hujan lebat berhari-hari yang turun di wilayah ini. Terlebih, puluhan desa di wilayah tersebut merupakan dataran rendah yang berisiko terendam.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Normalisasi Sungai di Sidareja
Meski begitu, kata Komara, fakta eks-Distrik Sidareja, Cilacap bebas banjir pada musim ini merupakan contoh nyata keberhasilan normalisasi dalam upaya pencegahan banjir.
Tiga tahun terakhir, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citanduy mengintensifkan normalisasi sungai. Sungai dikeruk dan diperbaiki tanggulnya.
“Sidareja karena sungainya sudah dinormalisasi. Sehingga tahun ini (sementara) bebas banjir,” ujarnya.
Berdasar pemetaan, sebanyak 30 desa di 12 kecamatan di Cilacap rawan banjir. Sebagian besar berada di kawasan dataran rendah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Komara juga mengatakan, dari hasil evaluasi penanganan banjir lebih dari sepekan petugas dan relawan kesulitan menerapkan protokol kesehatan.
“Kemarin saja, ya, yang namanya masyarakat, dipisah di rumah terpisah saja sulit. Istilahnya, mereka inginnya berdempetan, satu keluarga berkumpul. Kemarin, banjir kita ada masalah protokol kesehatan,” ucapnya.
Meski BPBD sudah menyediakan pengungsian lebih luas dan lebih banyak dari biasanya, namun warga membandel dan enggan ditempatkan di tempat pengungsian terpisah. Kebanyakan warga lebih memilih mengungsi di tempat yang sama dengan tetangganya, meski dalam kondisi lebih sempit.
Advertisement
Antisipasi Covid-19 Klaster Pengungsian
Menurut dia, sulitnya penerapan protokol kesehatan disebabkan minimnya kesadaran warga. Sebab, kebanyakan beranggapan risiko penularan Covid-19 rendah karena mereka bersama dengan keluarga dan tetangganya. Beruntung, tak ada penularan Covid-19 di pengungsian.
“Tetapi, Alhamdulillah tidak muncul penularan atau klaster baru, klaster pengungsian. Memang ada yang beranggapan, ‘ini kan dengan keluarga, ini kan dengan tetangga’,” ujarnya.
Komara mengemukakan, meski tak muncul penularan Covid-19 di pengungsian, namun ke depan BPBD akan mengintensifkan koordinasi dengan TNI dan Polri agar warga mau ditempatkan di lokasi pengungsian terpisah.
BPBD juga akan menyiapkan lokasi pengungsian dua kali lipat dari biasanya, dengan kapasitas per unit lebih besar jika kembali terjadi bencana banjir. Pasalnya, dalam situasi pandemi Covid-19, kapasitas pengungsian hanya bisa diisi 50 persen dari kondisi normal.
“Tempatnya tentu saja lebih tinggi dan bebas banjir. Lebih luas agar kapasitasnya bisa bertambah dengan jumlah pengungsi maksimal 50 persen,” dia menjelaskan.