Liputan6.com, Malang - Pemerintah Kota Malang sedang membangun proyek koridor Kayutangan heritage. Satu tahap pengerjaan mengelupas aspal jalan, backhoe ternyata menyentuh jalur rel yang terpendam di bawah. Itu merupakan rel trem peninggalan masa kolonial Belanda.
Rel trem sepanjang sekitar 200 meter itu terpendam di bawah persimpangan Rajabali, Kayutangan. Kondisi rel berkarat dan bantalan kayu sebagian sudah lapuk. Usia rel 11 tahun lebih tua dibanding Kota Malang yang genap berumur 106 tahun pada 2020 ini.
Advertisement
Baca Juga
Kayutangan, lokasi rel trem itu berada merupakan salah satu kawasan bisnis dan perdagangan yang tumbuh berkembang sejak masa kolonial. Rel dan Kayutangan, bagian tak terpisahkan dari sejarah cikal bakal lahirnya Kota Malang.
Rel itu bagian dari jalur trem rute Stasiun Jagalan-Stasiun Blimbing sepanjang enam kilometer yang dibangun pada 15 Februari 1903. Satu dari delapan jalur trem yang dibuka Malang Stoomtram Mattschappij (MSM), sebuah perusahaan kereta api swasta masa Belanda.
Pelaksanaan proyek atau kegiatan apapun itu tak boleh menyentuh maupun memindah rel trem dari lokasi semula. Langkah pengamanannya, ditimbun kembali serta diberi tanda agar tak rusah. Selain bagian dari sejarah, rel trem jadi aset PT Kereta Api Indonesia.
"Semua harus seizin pemilik aset. PT KAI sendiri belum punya rencana terkait rel trem tersebut, butuh kajian lagi,” kata Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang, Agung Buana, Sabtu, 14 November 2020.
Keberadaan rel trem ini memunculkan gagasan wisata edukasi tentang angkutan transportasi massal itu di Kayutangan. Di masa kolonial, Kayutangan merupakan salah satu pusat keramaian di Kota Malang. Masih tersisa beberapa bangunan berarsitektur kolonial.
Jalur trem jadi bukti modernisasi transportasi masa kolonial. Saksi bisu saat Belanda dan perusahaan swasta asing mendapat keuntungan besar. Dengan mengangkut hasil komoditas perkebunan seperti gula dan kopi dari selatan Malang untuk diekspor ke Eropa.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Titik Awal Transportasi Massal
Ada sejarah panjang perihal munculnya kereta api dan trem di Hindia Belanda. Paling utama, demi kepentingan ekonomi di era liberalisasi ekonomi pascabubarnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau kongsi dagang Belanda di Hindia Timur.
Banyak daerah di Hindia Belanda perlahan mulai berkembang pascaterbitnya Undang-Undang Gula (suikerwet) dan Undang-Undang Agraria (agrarischewet) pada 1870. UU yang membolehkan swasta berinvestasi di Hindia Belanda, termasuk di Malang.
“Sejak itu pula di Jawa termasuk di Malang dibangun sarana dan prasarana besar-besaran, termasuk jalur kereta api,” sebut Handinoto dalam Perkembangan Kota Malang Pada Jaman Kolonial (1914-1940) di Jurnal Dimensi.
Perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staat Spoorwegen (SS) mulai membangun jalur kereta api rute Surabaya-Malang pada 1876. Jalur rel SS sejajar dengan jalan masuk ke Kota Malang dan titik pemberhentiannya berada di Stasiun Kota Lama.
“Pembangunan itu berpengaruh besar terhadap perkembangan kota. Setelah itu banyak rumah orang Eropa turut dibangun di dekat rel kereta api,” kata Handino.
Geliat alat transportasi massal itu pun turut dilirik para penguasaha swasta. Apalagi keuntungan bisnis jasa kereta api dinilai menggiurkan. Pengusaha swasta pun mulai mengajukan izin konsesi pembangunan dan pengoperasian jaringan trem di Malang.
Trem dan kereta lori pada era kolonial di Malang sangat efektif dan efisien untuk digunakan mengangkut hasil perkebunan. Dari pedalaman, mampu mengangkut dalam jumlah besar ketimbang moda transportasi angkutan barang lain masa itu. Serta tentu saja untuk jasa angkutan penumpang.
Advertisement
Jalur Trem Membelah Malang
Jalur kereta api dan trem terkoneksi, keduanya juga sama-sama ditarik lokomotif uap. Lebar relnya pun sama, 1.067 milimeter. Pembedanya ada pada rute perjalanan. Kereta api melayani antar kota dan provinsi. Sedangkan trem beroperasi melayani rute antar distrik dalam kota.
Pemerintah Belanda memberikan izin konsesi kepada perusahaan kereta api swasta, Malang Stoomtram Mattschappij (MSM) mengelola jaringan trem uap di Malang. Berdiri pada 14 November 1897, kantor pusat perusahaan ada di Jalan Jagalan, Klojen, Kota Malang.
“MSM menerima surat keputusan pemerintah Belanda pada 13 Juli 1901 Nomor 28. Direktur pertama J. Bakker,” sebut Galih Wahyu Tri Wicaksono dalam Malang Stoomtram Maatschappij Pada Masa Kolonial Di Malang Tahun 1901-1930.
MSM membangun Stasiun Jagalan pada 1900 dan menggunakannya sebagai stasiun utama. Namun demikian, titik pusat aktivitas perusahaan trem itu ada di Stasiun Blimbing. Selain bongkar muat hasil perkebunan, juga melayani pemberangkatan penumpang.
Selain pengiriman hasil perkebunan, MSM juga melayani jasa pengangkutan penumpang. Jalur trem yang pertama kali dibangun oleh perusahaan ini adalah jalur Malang- Bululawang sepanjang 11 kilometer yang dibuka pada 14 November 1897.
Jalur kedua, penghubung Bululawang-Gondanglegi berjarak 12 kilometer dan dibuka pada 4 Februari 1898. Lalu, Gondanglegi-Talok sejauh tujuh kilometer yang dibuka pada 9 September 1898. Pada 14 Januari 1899 dibuka jalur Talok-Dampit sejauh delapan kilometer.
Lalu pada 10 Juni 1900 jalur Gondanglegi-Kepandjen sejauh 17 kilometer. Maka sampai dengan 1900-an seluruh wilayah selatan Malang telah terhubung jaringan transportasi kereta api. Demi memudahkan proses pengangkutan hasil perkebunan seperti kopi dan tebu.
MSM melanjutkan pembangunan dengan membuka jalur Tumpang-Singasari sejauh 23 kilometer pada 27 April 1901. Jalur Malang-Blimbing sepanjang enam kilometer menyusul pada 15 Februari 1903. Jalur Sedayu-Turen sepanjang satu kilometer beroperasi 25 September 1908.
Tiga Kelas Penumpang Trem
MSM menyediakan tiga kelas untuk masyarakat Malang. Kelas pertama ekslusif untuk orang-orang Eropa. Gerbong menyediakan tempat duduk yang nyaman. Tarif kelas ini sebesar f 1.16 sampai f 1.84 per orang.
Kedua, kelas untuk Vreemde Oosterlingen atau Timur Asing seperti warga Tionghoa, Arab, India dan warga asing non-Eropa lainnya. Tarif pada kelas ini berkisar f 0.50-f 0.73 per orang. Tidak ada kursi, berdiri dan berdesakan, namun tak senyaman kelas pertama.
Kelas ketiga untuk orang-orang pribumi. Penumpang harus berjejalan di kelas ini, karena itu tarif yang dikenakan jauh lebih murah yakni sekitar f 0.09-f 0.20 per orang. Seluruh tarif dan kelas itu kebijakan MSM untuk periode tahun 1911, 1926 dan 1938.
Tak menutup kemungkinan masih banyak jalur trem sisa masa kolonial yang terpendam. Namun hanya sedikit yang masih tersisa tetapi berupa rangka tak terpakai. Bahkan dahulu, jalur trem turut membelah Alun-alun Malang di Jalan Merdeka.
Advertisement