Liputan6.com, Jakarta - Spesies burung liar di Asia Tenggara turun drastis di alam imbas maraknya perdagangan burung berkicau. Demikian hasil penelitian oleh Harry Marshal dan kawan-kawan pada Juni 2020.
Data menunjukkan bahwa lebih dari 12 juta keluarga di Pulau Jawa memelihara burung dengan total 70 juta burung. Perburuan jenis burung berkicau di Indonesia meningkat seiring dengan permintaan para pehobi.
Pemburu menggunakan jaring, jebakan, bahkan senapan angin mengambil burung dari alam. Tren ini mengancam keberadaan jumlah dan jenis burung di alam.
Advertisement
Baca Juga
Salah satu daerah yang pernah menjadi target pengambilan burung di alam yaitu Jatimulyo, Yogyakarta. Menurut Kelik Suparno, salah satu mantan pemburu, ia dan rekan-rekannya pada masanya selalu mengambil burung di alam untuk dijual.
“Dulu kami bisa menjual sekitar 200-300 ribu rupiah per burung. Setiap hari kami ke hutan untuk bekerja di lahan dan mencari tambahan uang dengan berburu,” jelas Kelik yang kini menjadi koordinator Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi, Desa Jatimulyo,.
Kelik menambahkan bahwa ia dan rekan-rekannya harus melakukan pekerjaan seperti itu selama 14 tahun. Mereka melihat semakin lama burung semakin hilang dan semakin sulit mencari tambahan uang karena perburuan yang juga semakin masif oleh pemburu di luar desa.
“Burung semakin sulit dilihat dan dicari. Saya dan teman-teman berfikir, sampai kapan kami seperti ini. Harapan kami terjawab, bersamaan dengan dibukanya wisata alam yaitu air terjun dan jalan-jalan di hutan, akhirnya kami beralih ke wisata alam,” terang Kelik.
“Itu pertemuan kami juga dengan para pemerhati burung liar yang membuka “mata” kami hingga saat ini.”
Tidak butuh lama, Kelik dan beberapa rekan pemburu dan pemuda desa digandeng para pemerhati burung liar untuk lebih peduli dengan hutan di Desa Jatimulyo. Mereka mengembangkan Desa Ramah Burung dengan membangun Kelompok Tani Hutan Wanapaksin.
Kegiatan yang telah dibangun sejak 2014 hingga saat ini salah satunya berisi kegiatan pendataan burung di Desa Jatimulyo. Bersama dengan Yayasan Kanopi Indonesia, Perkumpulan BISA Indonesia, pengamat burung dari Bionic Universitas Negeri Yogyakarta, dan dana hibah, salah satunya Oriental Bird Club, masyarakat menghitung keragaman burung dan mengukur kelimpahan setiap jenis burungnya.
Irfan Rosyadi pegiat Yayasan Kanopi Indonesia mengungkapkan bahwa pemerhati burung dan masyarakat pemerhati burung Jatimulyo telah mendata 106 jenis burung di Desa Jatimulyo dari tahun 2013 hingga 2020.
Burung-burung itu di antaranya jenis sikatan cacing (Cyornis banyumas,), kacamata biasa (Zosterops melanurus, Rentan), cucak kuning (Pycnonotus dispar, Rentan), empuloh janggut (Alophoixus bres, Hampir Terancam), perenjak jawa (Prinia familiaris, Hampir Terancam), gelatik-batu kelabu (Parus major), sepah hutan (Pericrocotus flammeus,), dll.
“Masyarakat di sini sudah semakin peduli dengan hutannya. Mereka tidak lagi berburu dan sudah mengembangkan usaha kopi yang mereka namakan “Kopi Sulingan” didampingi Yayasan Kutilang Indonesia sejak 2015. Dan saat ini sedang melanjutkan kegiatan “Program Adopsi Sarang Burung” yang telah diinisiasi sejak 2016,” jelas Irfan.
Irfan menambahkan bahwa program ini menjadi sarana untuk untuk memulihkan populasi jenis burung tertentu yang sudah menurun di alam, terutama burung-burung yang paling sering diburu.
Saksikan Video Pilihan Ini
Program Adopsi Sarang Burung
Program Adopsi Sarang Burung digagas untuk memberikan manfaat konservasi bagi masyarakat khususnya mantan pemburu. Program ini sebagai alternatif pendapatan selain produk kopi lokal dan mengajak masyarakat luas untuk mendukung menjaga sarang burung di habitat liar.
“Jika sarang ditemukan, orang yang menemukan sarang tersebut akan melapor ke KTH Wanapaksi. KTH Wanapaksi akan melakukan pemeriksaan sarang, setelah laporan terverifikasi, KTH akan berkoordinasi dengan pemilik lahan untuk program adopsi,” terang Kelik.
KTH Wanapaksi kemudian mencari adopter melalui media sosial dan sosialisasi secara langsung kepada setiap orang yang bersedia mengeluarkan sejumlah uang sebagai dana hibah untuk mendukung kegiatan pemantauan sarang.
Dana hibah ini selanjutnya dikelola oleh KTH Wanapaksi untuk biaya operasional untuk pencari sarang, pemilik lahan yang terdapat habitat sarang burung, pengelolaan KTH Wanapaksi, dan sumbangan untuk RT terkait. Laporan yang berupa gambar dan video dikirimkan dua hari sekali sebagai bentuk pertanggungjawaban bagi para adopter.
Pemantauan pada lahan yang terdapat habitat sarang burung dilakukan oleh KTH Wanapaksi bersama masyarakat saat telur menetas hingga burung terbang dari sarang.
“Program adopsi ini mampu melibatkan masyarakat lokal dalam konservasi burung dan secara aktif sekaligus memberikan kontribusi manfaat ekonomi. Hutan dan satwa terjaga, masyarakat juga sejahtera,” jelas Kelik.
Fransisca Noni, pengamat burung, peneliti Fauna&Flora International (FFI) Indonesia
Advertisement