Sukses

Menakar Urgensi Pengajaran Tatap Muka Saat Pandemi Covid-19

Praktisi tidak merekomendasikan sekolah dibuka saat pandemi Covid-19.

Liputan6.com, Surabaya - Pandemi Covid-19 memaksa para siswa beradaptasi dengan kebiasaan baru yang disebut sekolah dalam jaringan (daring) atau online. Adaptasi yang tak ditunjang sarana pendukung itu berdampak buruk pada siswa.

Juli 2020, Lembaga pemerhati anak, Save The Children merilis hasil survei dampak pandemi covid 19 khususnya pada anak. Dari 11 ribu lebih orangtua yang diwawancara, 44 persennya merasa minat belajar anak mereka terus menurun sejak pandemi Covid-19.

Sementara, 20 persen responden menyebut anak mereka susah berkonsentrasi bahkan stres karena begitu banyak tugas yang diberikan guru. Sekolah daring juga membuat para orangtua tertekan.

Tekanan muncul karena sekolah daring membuat guru secara tidak langsung mendelegasikan perannya kepada orangtua. Sebab itu, banyak orangtua menuntut sekolah dibuka seperti biasa karena kewalahan dengan perubahan pola pembelajaran baru ini.

Sebuah webinar bertajuk "Vaksin Covid-19 dan Kesiapan Anak Menjalani Pembelajaran Tatap Muka" pun diselenggarakan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Tulungagung dan Jurnalis Sahabat Anak (JSA) dengan dukungan Unicef Indonesia, Rabu (18/11/2020).

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, Andriyanto mengatakan uji coba Pembelajaran Tatap Muka (PTM) tidak bisa dielakkan.

"Pembelajaran tatap muka tentu membutuhkan kesadaran untuk menjalankan protokol kesehatan," kata dia.

Namun, sebelum aktivasi sekolah dimulai, dia ingin semua pihak mengkaji lebih dalam dampak pandemi covid-19 kepada anak.

"Sebab, saya pernah membaca penelitian yang menyebut ada kekhawatiran anak akan kehilangan kecerdasan atau terjadi cognitive loss akibat pandemi ini," ujar Andriyanto.

"Kalau penelitian ini bisa dilakukan, hasilnya akan baik untuk menentukan metode yang tepat untuk sekolah tatap muka," ia menambahkan.

Simak Video Pilihan Berikut:

2 dari 3 halaman

Tatap Muka di Zona Hijau

dr. Endah Setyarini, S.pa dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jatim, belum menyarankan aktivitas sekolah dibuka kembali seperti semula. Terkecuali daerah tersebut telah berstatus zona hijau atau minimal masuk zona kuning.

Bagi Endah ada banyak hal yang perlu menjadi pertimbangan. Pertama, perlu ada pemetaan yang detail kasus positif covid 19 hingga ke kelurahan.

Pemetaan itu juga mencakup lokasi sekolah, muasal para siswa hingga jenis transportasi yang dipakai.

"Karena bisa saja sekolahnya zona hijau tapi muridnya ada yang dari zona merah dan terjadi penularan sesama siswa, lalu ke orang dewasa di sekitarnya," ujar Endah.

Sementara itu, Wakil Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia Jatim, dr. Atik Choirul Hidajah, M.Kes memaparkan jumlah kasus Covid-19 pada anak di Indonesia mencapai 9,7 persen dari total penderita Covid-19 atau sejumlah 24.966 anak.

Secara rinci jumlah tersebut terbagi menjadi 2,4 persen anak usia 0-5 tahun dan 7,3 persen anak usia 6-18 tahun.

Menurutnya, untuk kembali membuka sekolah dan melakukan kembali pembelajaran tatap muka tentunya dibutuhkan kajian secara ilmiah.

"Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) merupakan pilihan paling baik untuk mencegah penularan antara siswa serta penularan siswa kepada guru," katanya.

Apa pun keputusan pemerintah nantinya, Atik mengingatkan para orangtua agar mewaspadai imbas akibat sekolah daring bagi kesehatan anak. Salah satunya Computer Vision Syndrome seperti gangguan mata, otot dan penglihatan akibat terlalu lama menatap layar gawai.

3 dari 3 halaman

Perlu Pengawasan

Bila keputusan pemerintah tetap akan menggelar uji coba Pengajaran Tatap Muka (PTM), Child Protection Spesialist UNICEF, Naning Pudjijulianingsih mengatakan perlindungan anak harus menjadi prioritas utama.

"Yang penting bagaimana kesiapan sekolah dan guru. Kemudian siapa yang mengawasi kalau PTM dijalankan. Apakah perlu ada Satgas?" ujarnya.

Menurut dia, jika PTM diberlakukan pada jenjang PAUD dan TK akan lebih berisiko karena dikhawatirkan siswa masih kesulitan menjalankan protokol kesehatan. Berbeda dengan pelajar dengan tingkatan pendidikan lebih tinggi seperti SMP atau SMA.

Saran itu, diamini Direktur LPA Tulungagung Winny Isnaini. Menurut dia, ada banyak hal yang perlu dipersiapkan baik oleh orangtua maupun anak-anak saat pandemi.

Salah satunya adalah bersiap menghadapi kebiasaan baru seperti mendampingi anak belajar secara kekinian.

"Seorang anak perlu pendampingan agar mampu memanfaatkan IT untuk mendukung masa depannya dan bukan malah dikendalikan oleh IT," ungkap dia.