Sukses

Letusan-Letusan Dahsyat Gunung Merapi dari Era Mataram Hingga Zaman Instagram

Gunung Merapi masih sangat aktif. Letusan-letusan dahsyatnya turut mengubah sejarah di Jawa.

Liputan6.com, Yogyakarta - Gunung Merapi sedang jadi perhatian intensif belakangan ini, terutama oleh masyarakat di sekitarnya yang sudah bersiap mengungsi. Gunung berapi yang berlokasi di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah ini sedang bergolak menuju erupsi.

Merapi merupakan gunung paling aktif di Indonesia. Gunung dengan ketinggian 2.968 meter ini termasuk 16 gunung api dunia dalam proyek Decade Volcanoes, demikian menurut United States Geological Suvey (USGS).

Aktivitas vulkanik Merapi mulai tercatat sejak abad 10. Skala letusannya bervariasi, dari yang seakan hanya ‘batuk-batuk’ sampai letusan besar yang memakan banyak korban.

Dari beragam analisa sejarah, letusan Merapi pada 1006-an terjadi saat Kerajaan Mataram Kuno masih berdiri. Menurut para peneliti seperti IJzerman dan kawan-kawan, letusan tersebut menyebabkan perpindahan Kerajaan Hindu Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Seturut analisa Labberton dan Bemmelen, kaitan letusan itu dengan perpindahan kerajaan adalah temuan runtuhan bagian puncak Merapi ke arah barat akibat dari pergerakan tektonik sepanjang sesar transversal yang menjadi dasar deretan Gunung Api Ungaran hingga Merapi. Letusan pada sekitar 1006 itu juga disertai gempa yang mengakibatkan rusaknya Candi Borobudur dan Candi Mendut yang dibangun pada abad ke – 9.

Letusan dahsyat tercatat sekitar abad ke – 17 pada awal masa kolonial Belanda. Namun tidak ada penjelasan rinci terkait keadaan saat itu. Letusan besar Merapi selanjutnya terjadi pada tahun 1768, 1882, 1849, dan 1872. Tercatat bahwa erupsi pada abad ke – 19 merupakan aktivitas Gunung Merapi yang terdahsyat. Pasalnya, awan panas meluncur hingga 20 km dari puncak gunung.

Letusan dahsyat juga tercatat pada 1930-1931, Merapi memuntahkan lava dan lahar yang menyebabkan 1.369 meninggal dunia. Sejak saat itu, sudah ¾ abad letusan besar tidak terjadi.

Pada tahun 1971-1973, Gunung Merapi kembali menyemburkan asap hitam setinggi 3 km, disertai dengan hujan pasir dan kerikil. Kemudian pada tahun 1994 erupsi besar yang mengarah ke kali Boyong menyebabkan 67 korban meninggal dunia.

 

Saksikan Video Pilihan Ini

2 dari 2 halaman

Letusan yang Mengejutkan

Letusan Merapi pada 1994 tersebut menjadi awal kesadaran pemerintah dan masyarakat di daerah selatan Merapi. Pasalnya, sebelum letusan tersebut, masyarakat sekitar kali Boyong merasa aman seiring kepercayaan bahwa letusan Merapi tak akan pernah mengarah ke selatan seiring keberadan Keraton Yogyakarta di sisi selatan Merapi. Sebelum 1994, letusan Merapi selalu mengarah ke Barat Daya.

Pada tahun 1997/1998, Merapi kembali erupsi dengan arah letusan ke selatan dan barat daya, namun tidak menelan korban jiwa. Masuk Abad 21, Merapi masih saja aktif. Erupsi 2001 tidak menelan korban jiwa, namun pada 2006 mengakibatkan dua relawan meninggal dunia.

Aktivitas Merapi terbesar dewasa ini terjadi pada 2010, di mana letusan berlangsung selama satu bulan, dengan puncak letusan terjadi pada 15 November. Letusan dahsyat tersebut mencapai ketinggian 10 km yang mengarah ke barat dan selatan, serta menutupi lahan sekitar 435.000 hektare.

Usai erupsi 2010, terjadi letusan pada 2018 yang menghasilkan material sekitar 100 ribu m³ dan jarak luncur awan panas sekitar 7 km. Aktivitas Merapi tersebut merupakan letusan freatik dan menjadi indikasi untuk aktivitas selanjutnya.

Pada 2019 Gunung Merapi mengalami peningkatan dan intensitas pelepasan gas vulkanik. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang meluncurkan Awan Panas Guguran (APG). Pada 2019, Merapi dinyatakan memproduksi Awan Panas Letusan (APL) karena dengan letusan gas.

Kemudian pada 2020, status Merapi ditingkatkan dari level Waspada menjadi Siaga pada 5 November. Sudah 16 hari sejak peningkatan status, namun Merapi masih terus dipantau dan belum menunjukkan tanda-tanda baik.

Aktivitas Merapi selama ini sudah banyak membuka cakrawala dunia pendidikan, kesehatan, ataupun khasanah sosial masyarakat. Hubungan unik Merapi dan masyarakat sekitar lereng Merapi yang selalu tanggap dan waspada diharapkan dapat meminimalisir kemungkinan dampak negatif dari aktivitas Merapi kali ini.

Penulis: Nurul Kusuma, mahasiswi UII Yogyakarta, jurnalis warga