Sukses

Seperempat Abad Perjalanan Penuh Liku Yogyakarta Gamelan Festival

Yogyakarta Gamelan Festival sudah berjalan seperempat abad.

Liputan6.com, Yogyakarta- Yogyakarta Gamelan Festival sudah berjalan seperempat abad. Sebagai festival berkelas internasional yang digelar rutin, 25 tahun bukanlah waktu yang sebentar.

Berbicara Yogyakarta Gamelan Festival tidak bisa lepas dari sosok (alm.) Sapto Raharjo. Dia menjadi orang yang menginisiasi keberadaan Yogyakarta Gamelan Festival sampai menjadi ajang yang selalu ditunggu pecinta dan pemain gamelan dari dalam dan luar negeri.

“Awalnya, Yogyakarta Gamelan Festival itu masih jadi satu dengan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY),” ujar General Manager Yogyakarta Gamelan Festival Setyaji Dewanto, kepada Liputan6.com, di sela-sela perhelatan Yogyakarta Gamelan Festival ke-25, Jumat (20/11/2020).

Sapto Raharjo terlibat dalam penyelenggaraan FKY sejak awal. FKY merupakan festival tahunan tertua di Yogyakarta yang berada di bawah naungan Dinas Kebudayaan DIY. FKY pertama kali muncul pada 1989.

Ketika itu, Sapto Raharjo didapuk menjadi divisi musik dalam perhelatan itu. Pada awalnya, ia masih menghadirkan musik-musik mainstream yang menjadi kesukaan mayoritas masyarakat Yogyakarta, seperti rock dan dangdut.

Pada 1993 dan 1994, Sapto Raharjo membuat studi tentang gamelan. Hasil studi itu diimplementasikan dalam konser musik di FKY pada 1995.

Saat itulah pertama kali Yoyakarta Gamelan Festival hadir. Namun, masih menjadi satu dengan FKY. Perhelatan itu berlanjut ke tahun berikutnya.

Baru pada 1997, Yogyakarta Gamelan Festival berdiri sendiri. Purna Budaya yang saat itu masih berada di lokasi PKKH UGM menjadi saksi sejarah digelarnya festival tahunan gamelan berskala internasional ini untuk pertama kalinya.

Jody Diamond dari Amerika Serikat menjadi penampil pertama dari luar negeri di Yogyakarta Gamelan Festival.

Dalam perjalanannya, Yogyakarta Gamelan Festival juga berpindah-pindah lokasi penyelenggaraan. Pernah pula di halaman Komunitas Gayam 16 yang ketika itu masih berada di Jalan Gayam, Societet, TBY, SMKI, dan Plasa Ngasem.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 5 halaman

Alex Grillo Si Penyelamat

Krisis moneter serta reformasi yang  melanda Indonesia pada 1998 turut mengancam keberlangsungan Yogyakarta Gamelan Festival. Travel warning yang dikeluarkan banyak negara membuat Yogyakarta Gamelan Festival bakal kesulitan mendatangkan pemain gamelan dari luar negeri.

“Kami sempat pesimistis waktu itu, mengadakan atau tidak ya,” kata Setyaji Dewanto.

Tidak disangka-sangka, Alex Grillo, pemimpin Leda Atomica Musique Marseille, bersama rombongannya dari Prancis datang ke Indonesia. Sapto Raharjo pun memutuskan untuk tetap menggelar Yogyakarta Gamelan Festival saat itu.

Alex dan Sapto saling mengenal karena terlibat dalam kerja sama yang difasilitasi oleh Lembaga Indonesia Prancis.

Menurut Setyaji Dewanto, cara Sapto Raharjo merangkul rekan-rekan seniman gamelan dari luar negeri cukup unik.

“Simbah (Sapto Raharjo) tidak menghubungi lewat kedutaan besar, tetapi kenal secara personal, diajak untuk bermain di Yogyakarta Gamelan Festival,” ucapnya.

 

3 dari 5 halaman

Dukungan dari Seniman Dalam dan Luar Negeri

Keberlangsungan Yogyakarta Gamelan Festival tidak bisa dilepaskan dari dukungan seniman dalam dan luar negeri yang menjadi teman-teman Sapto Raharjo.  Sebut saja, Ben Pasaribu, Rahayu Supanggah, Wayan Sadre, Slamet Abdul Syukur, Harry Roesli, Jody Diamond, dan Jack Body.

“Kebanyakan sudah almarhum,” tutur Setyaji Dewanto.

Meskipun sudah alamrhum, namun warisan dan nilai Yogyakarta Gamelan Festival berhasil diwariskan ke generasi selanjutnya. Padhang Moncar dari New Zealand, misalnya, tampil di Yogyakarta Gamelan Festival meneruskan kebiasaan yang dilakukan Jack Body.

Jody Diamond juga menjadi tukang kompor dalam Yogyakarta Gamelan Festival. Pada awal perhelatan itu diadakan, Jody menjadi saalah satu orang yang mengompori Sapto Raharjo untuk menggelar secara konsisten.

 

4 dari 5 halaman

Pendanaan yang Bikin Haru Biru

Pelaksanaan Yogyakarta Gamelan Festival juga butuh pendanaan. Kerja sama juga dilakukan dengan pemerintah dan swasta.

Namun, pendanaan tidak menjadi hal utama terselenggaranya Festival Gamelan Yogyakarta.

“Pendanaan berapa pun kami tetap maju,” ucap Setyaji Dewanto.

Ada keunikan soal pendanaan Yogyakarta Gamelan Festival. Sejak awal sudah ada kesepakatan dengan para penampil, baik dari dalam maupun luar negeri.

Kesepakatannya, biaya transportasi penampil ditanggung sendiri, termasuk biaya untuk membayar honor penampil masing-masing. Yogyakarta Gamelan Festival hanya menyediakan akomodasi dan transportasi selama festival berlangsung.

“Ini unik dan susah, kalau kami suruh bayar biaya kedatangan penampil ya sudah pasti tidak bisa,” ujarnya.

Menurut Setyaji Dewanto, kepergian Sapto Raharjo memang dianggap banyak orang sebagai titik terendah Yogyakarta Gamelan Festival. Namun, setelah 11 tahun tanpa Sapto Raharjo, Yogyakarta Gamelan Festival masih bisa membuktikan eksistensinya tanpa jeda setiap tahun.

“Seperti rekan-rekan Sapto Raharjo yang sudah almarhum, penerus Yogyakarta Gamelan Festival ini pun dilanjutkan oleh generasi berikutnya,” tuturnya.

 

5 dari 5 halaman

Monumen Seperempat Abad

Memasuki usia seperempat abad, Yogyakarta Gamelan Festival justru punya monumen. Situasi pandemi Covid-19 memaksa gamelan membuat komitmen baru dengan zaman tepat di pesta peraknya.

Ya, penyelenggaraan Yogyakarta Gamelan Festival ke-25 tidak bisa disaksikan secara luring. Sebagai gantinya, penikmat dan pecinta gamelan bisa menyaksikan live streaming konser gamelan di www.ygflive.com selama lima hari, mulai 18 sampai 20 November 2020.

Project Director Yogyakarta Gamelan Festival, Ishari Sahida yang akrab disapa Ari Wulu, mengatakan selama lima hari penyelenggaraan YGF ke-25 menunjukkan kebersamaan masih ada meskipun jaraknya nyata.  Ia menilai, dukungan dan keputusan untuk terlibat di penyelenggaraan Yogyakarta Gamelan Festival ke-25 ini membuktikan Yogyakarta Gamelan Festival selalu berfungsi sebagai tempat berkumpulnya pecinta dan pemain gamelan.

“Saat ini hanya perlu evaluasi dan membutuhkan perencanaan untuk lebih baik,” kata Ari.

Menurut Ari, usia 25 tahun bukan sekadar romantisme, melainkan introspeksi terhadap hal-hal yang sudah dilakukan selama ini untuk mengevaluasi apa yang sudah dilakukan Yogyakarta Gamelan Festival dan manfaatnya. Momentum ini juga menjadi pemikiran perihal apa yang akan dilakukan Yogyakarta Gamelan Festival setelah 25 tahun.

Video Terkini