Liputan6.com, Aceh - Perempuan bernama Anna Brones dalam artikelnya di sebuah situs yang khusus mengulas tentang budaya minum kopi di dunia, pernah menulis tentang kaitan antara kopi dan buku. Dia membuka tulisannya dengan mengutip puisi dari RM Engelhardt.
"A smoke, a book, a cup of coffee. These are the little things that get us through this sometimes weary world and all the rainy days," demikian potongan yang dapat ditemukan dalam buku sang penyair dari benua Amerika berjudul The Resurrection Waltz itu.
Ada hubungan antara kopi dan buku yang melampaui batas-batas perasaan yang disebut oleh Anna sebagai sesuatu yang "nyaman", ketika seseorang mengangkat secangkir kopi, sementara, tangan yang lainnya membalik halaman buku yang sedang ia baca. Ya, mungkin tidak semua orang sependapat, tetapi, itu adalah momen —eksklusif, bahkan, untuk dijadikan sampul sebuah buku, mungkin gambar dengan aktivitas seperti itu akan sangat estetik.
Advertisement
Namun, apakah secangkir kopi bisa melangkaui bintalak-bintalak yang jauh lebih dalam dari sebatas hari berhujan yang sedang membalut dunia yang terkadang melelahkan seperti kata Engelhardt? Sepertinya ini akan jauh lebih serius, dan akan lebih lekat dengan dunia seorang lelaki beserta setumpuk misteri dari kesunyian yang disimpan oleh mereka.
"Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata."
Tidak terbayangkan rasanya andai di dalam kutipan di atas, rupanya Bung Karno telah lupa menaruh kalimat kunci di dalam perasingan tadi. Akan menjadi "Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin serta 'secangkir kopi', menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata."
Namun, itu hanya lanturan, maka, lupakan saja. Tapi, terlepas di mana saja seseorang ingin menyesap secangkir kopi sembari menjatuhkan diri ke dalam ruang-ruang kecil yang disebut kontemplasi, tidak ada salahnya datang ke Tanah Gayo, tempat seseorang akan diberi sepaket lengkap dari momen estetis ketika menikmati secangkir kopi sambil menceritakan semuanya kepada mayapada atau membisikkan sesuatu kepada udara, di antara ngarai dan Lut Tawar, sesaat sebelum senja kembali ke tetirah.
Tempat yang dimaksud adalah Pantai Menye. Lupakan dulu bahwa salah satu destinasi wisata di ujung timur kawasan Danau Laut Tawar, Kampung Lenong Bulan Dua (LB 2), Kecamatan Bintang, Aceh Tengah, itu cocok untuk menjadi tempat di mana para keluarga berkumpul sambil menikmati panorama yang ada, karena, seorang teman pernah berkata:
"Jika ada yang bertanya di manakah tempat terakhir di bumi ini yang ingin aku kunjungi sambil menyesap secangkir kopi, sementara, itu adalah kesempatan terakhir sebelum aku mati, jawabanku adalah Menye."
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Menikmati Kesendirian
Jujur, yang barusan sebenarnya merupakan pengakuan yang cukup mengejutkan dari seorang lelaki yang tidak terlalu menyukai kesunyian apabila dilihat dari kebiasaannya yang suka meriung di kafe-kafe tengah kota bersama teman-teman berkumpulnya. Tentang obsesinya terhadap persinggahan terakhir di bumi dengan pilihan Pantai Menye tadi dapat dilihat dari kalimat yang ia lontarkan selanjutnya:
"Di sana, aku hanya ingin sendiri saja, menatap permukaan air yang jernih dan tenang, menikmati pucuk-pucuk pegunungan serta perpohonan dari atas bukit, atau membiarkan udara di antara tubuhku, kemudian, waktu, serta seluruh kepenatan ini akan lesap bersama sesapan terakhir dari kopiku."
Kata-kata tersebut mengingatkan penulis tentang seorang lelaki bernama Gembel, yang dapat ditemukan dalam tulisan berjudul Ode untuk Secangkir Kopi. Lelaki bernama asli Sadikin itu juga mendambakan sebuah pengalaman minum kopi yang tak lazim, di mana meminum kopi baginya adalah pengayaan spiritual, sebuah ritual tritunggal, antara manusia, kopi, dan jiwa.
"Yang belum itu, justru aku berpikir, enggak ada kedai kopi, yang dia (pengunjung) bisa bilang, aku kepingin ngopi hari ini, dan aku enggak ingin ngomong sama siapa pun," demikian, Gembel.
Daripada menerka-nerka motivasi apa yang terkandung di balik keinginan yang terlampau lekat dengan hal-hal berbau sentimentil seperti itu, ada baiknya langsung saja ke Pantai Menye. Dengan catatan, Anda harus datang sendiri, dan dengan catatan tambahan, Anda adalah seorang penyendiri yang akut, atau seseorang yang melihat dunia dengan standar seseorang yang seperti itu.
Namun, terjebak pada keyakinan yang sentimentil seperti itu tidak terlalu baik juga. Di satu sisi, efek yang muncul akibat aktivitas meminum kopi agaknya tidak berimbas pada keterkaitan antara interaksi memori dengan emosi sehingga suasana hati peminumnya akan terbawa lantas dengan tanpa sadar meneteskan air mata, wallahualam.
Toh, seperti yang telah disinggung, sebagai salah satu destinasi wisata yang ada di Dataran Tinggi Gayo, Pantai Menye cocok untuk menjadi tempat di mana para keluarga berkumpul sambil menikmati panorama, selain juga romantis bagi para pasangan kekasih terutama mereka yang telah menikah, jadi, datanglah ke sana, baik sendirian, berpasangan, maupun bersama keluarga, dan jangan lupa genggam cangkir kopimu, karena di sana adalah Gayo.
Advertisement