Liputan6.com, Manggarai - Yohanes Manasye tak pernah menyangka memperoleh penghargaan Jurnalistik Video AJV 2020. Sewaktu reportase tentang tambang batu gamping dan pabrik semen yang mengancam lingkungan masyarakat kampung Luwuk dan Lingko Lolok, di Desa Satar Punda, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, kontributor Metro TV itu serta dua temannya, jurnalis online lokal, hanya punya satu tujuan.
"Kami ingin menampilkan pernyataan para petani yang selama ini tak didengar. Mereka berjuang mempertahankan lahannya," cerita Yohanes, Kamis (31/12/2020).
Baca Juga
Ia ingin menunjukkan pada dunia melalui videonya bahwa Luwuk dan Lengko Lolok bukanlah wilayah gersang dan lahan kritis yang hanya cocok dijadikan areal tambang dan pabrik semen. Ada tanah subur, petani, dan mata pencahariannya, serta masyarakat yang berusaha melestarikan lingkungan hidupnya.
Advertisement
Yohanes menampilkan itu semua dalam videonya yang membuat Dewan Juri sepakat karyanya pantas diganjar Penghargaan Jurnalistik 2020 yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Video (AJV) bersama Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Untuk mendapatkan cerita itu, jurnalis dan videografer kelahiran Golo, Manggarai, 21 November 1981, itu harus menempuh perjalanan yang tidak mudah untuk sampai ke lokasi.
"Jauh, jalan buruk, dan sangat melelahkan. Ada rasa takut menempuh perjalanan itu. Makanya, kami selalu bertiga," ceritanya.
Setelah berjumpa warga dan melihat perjuangan mati-matian mereka mempertahankan lahannya, mendengar curahan hati mereka, Yohanes dan kawan-kawannya malah sering datang kembali untuk terus memberitakan kondisi mereka.
"Saya ingin kamera kecil yang saya miliki bisa merekam kisah-kisah orang kecil. Tentang perjuangan mereka untuk bertahan hidup dan berbagi kehidupan," kata suami Maria Olivia Inas, ayah satu anak ini.
Juri dipimpin ahli komunikasi DR. Rully Nasrullah dengan nggota Rika Anggraini (KEHATI), Ode Rakhman (WALHI), Syaefurrahman Al Banjary dan Flory Santy Dewi (AJV) memutuskan memilih enam penerima penghargaan dari 109 karya yang terdaftar dari seluruh wilayah Indonesia. Sebagian besar dibuat oleh jurnalis tv, aktivis kemanusiaan dan lingkungan hidup, dan masyarakat umum yang menjadi jurnalis mandiri dengan media sosial. Seluruh karya itu sudah ditayangkan di tv, portal berita, dan media sosial pada periode 1 Desember 2019-30 November 2020.
"Karyanya Yohanes bukan hanya bagus, tapi memperlihatkan dengan jelas kepeduliannya," kata Flory, koordinator juri.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Cerita Lainnya, Menjaga Gajah dan Tanjoh
Cerita lain datang dari Aditya Erlangga. Dari Aceh mendapat Penghargaan untuk video jurnalistiknya tentang aktivitas gajah di sisi Gunung Lauser.
"Saya harus mengambil gambar sendiri, hanya dibantu dua anggota TNI, padahal membawa kamera dan drone, dan cuma dapat kesempatan satu hari yang sangat melelahkan," ceritanya.
Ia harus menghadapi kenyataan konsep yang dibayangkan dan eksekusi di lapangan ternyata berbeda sehingga beberapa kali harus mengubah 'story line'. Setelah melalui beberapa proses perubahan editing, akhirnya video dokumenter karyanya dapat ditayangkan di sosial media Taman Nasional Leuser.
Aditya berharap, video liputannya yang berjudul "Sisi Leuser, Menjaga Gajah Tangkahan" bisa dinikmati dan jadi bahan pembelajaran bagi generasi milenial.
Sedangkan Amirudin Muttaqin, punya cerita yang tak kalah seru. Magister ilmu biologi dan sarjana teknik lingkungan berusia 40 tahun yang aktif di Yayasan Ecoton ini, pada awalnya hanya ingin mendokumentasikan masalah pencemaran air sebagai dampak penggunaan pestisida di perkebunan sawit yang dikelola perusahaan besar di sekitar sungai Sambas, Kalimantan Barat, dalam bentuk visual dan data.
"Saya ingin menyampaikan informasi yang berbasis data dan fakta di lapangan," paparnya saat memberikan kesan pada acara virtual pengumuman pemberian penghargaan, hari Minggu lalu (27/12).
Tak disangka proses pengerjaannya memakan waktu lebih dari 18 bulan. Bahkan dia sempat tinggal di lokasi untuk mendapatkan lebih banyak info dari masyarakat dan keluh kesah nelayan terkait penurunan tangkapan ikan semenjak masuknya perkebunan sawit di sana.
“Saya sempat ditinggal editor di tengah jalan. Kemudian, ganti editor lagi karena tak se-ide. Akhirnya, terpaksa harus belajar editing sendiri untuk menyelesaikan film,” ceritanya tentang kendala di lapangan.
Melalui karya berjudul “Racun Ikan di Parit Sawit”, Amir menggambarkan banyak terjadi kecurangan dan kerusakan lingkungan di perkebunan sawit. Masyarakat berkeluh kesah, khususnya nelayan, yang mengalami penurunan tangkapan ikan semenjak masuknya perkebunan sawit.
Jerih payahnya mengundang decak kagum Dewan Juri yang secara aklamasi menobatkan karyanya sebagai penerima Penghargaan Jurnalistik Video AJV 2020.
"Kami berharap pemerintah dan perusahaan melakukan evaluasi terhadap kebijakan izin pembuangan limbah dan melakukan pengawasan yang maksimal terkait pencemaran air dari perkebunan sawit," kata Amiruddin tentang niatnya membuat karya yang diganjar penghargaan itu.
Yose hendra alias Chua adalah seorang konservasionis kelahiran Kerinci, 21 Mei 1997. Ia punya alasan kuat membuat memberitakan dengan video tentang pentingnya menjaga keutuhan dan keseimbangan sungi dari ancaman limbah yang akan merusak ekosistim sungai akibat dari Pembangunan Mega Projec PLTA di kampungnya, Desa Jembatan Merah, Pulau Tengah, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Jambi.
"Pembangunan tersebut akan berdampak langsung ke lingkungan dan masyarakat desa," kata Chua.
"Saya buat berita video ini untuk memperingati Hari Sungai Sedunia pada tanggal 27 September untuk mengadvokasi masyarakat desa yang berada di sepanjang aliran sungai. Agar merayakan sungai setiap hari, bukan hanya pada Hari Sungai menanam dan sebagainya. Tiap hari agar keseimbangan dan kelestarian sungai tetap utuh terjaga," tutur Chua.
Nahrul Hayat dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, adalah cerita lain tentang kegigihan menyampaikan kebenaran dan kebaikan melalui video. Ia memberi judul “Tanjoh” pada karyanya yang dibuat dengan susah payah.
"Proses shooting dari riset sampai final memakan waktu satu bulan dengab peralatan seadanya. Itu pun pinjam dari sana sini karena kami tidak punya alat satu pun," ceritanya.
"Saya bersama teman-teman bermodal nekat. Kami hanya sebuah perkumpulan pemuda yang hobi membuat film tanpa bermodal uang sepeser pun, sehingga bukan hanya alat yang kami pinjam sana sini, tetapi juga uang untuk modal kami jalan," tambahnya.
Karena itu, ketika pasca-produksi mereka kelabakan. "Harus bergelut dengan waktu karena laptop yg kami pinjam harus segera dikembalikan. Editing kami selesaikan dalam tiga hari, tiap hari hanya tidur 2-3 jam," katanya mengenang.
“Tanjoh” bercerita tentang lingkungan di pesisir Pantai Tanjung Luar, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, yang di dominasi oleh keturunan suku Bugis. Dahulu, wilayah itu tempat pembuangan sampah, warga sekitar membuang kotoran karena ketiadaan toilet, rawan begal, dan tempat orang mabuk-mabukan. Lalu, seorang pria bernama Ahmad Daeng Rifai, warga biasa yang tidak tamat SMP mengubahnya menjadi tempat wisata yang menguntungkan masyarakat sekitar dengan pengelolaan ramah lingkungan.
Program-program Ahmad layaknya aktivis lingkungan profesional seperti melakukan patroli terhadap kapal yang masih menggunakan bom dan alat lainnya yang berpotensi merusak lingkungan, serta pembersihan pantai dari sampah, terutama plastik, setiap hari demi kebersihan lingkungan.
“Mengingat keberadaan pantai ini di daerah teluk jadi semua sampah terkumpul di sana. Ini patut di jadikan teladan bagi kita semua untuk menjaga lingkungan bersama,” kata Nahrul.
Penerima Penghargaan yang keenam adalah Fandi Yogari Saputra dari Sumatera Barat, kontributor Antara TV (Lembaga Kantor Berita Negara – LKBN Antara) ini membuat liputan berjudul “Mereklamasi Lahan Bekas Tambang Emas Menjadi Lahan Pertanian Produktif”.
Pria kelahiran Kota Padang 27 tahun lalu itu, mengisahkan lahan bekas tambang emas di Kabupaten Sijunjung yang berhasil diubah menjadi lahan pertanian produktif. “Saya tempuh perjalanan melelahkan sekitar tiga jam dengan seopeda motor dari Padang ke Sijunjung untuk membuktikan kebenaran bekas tambang emas yang biasanya jadi tandus dan gersang bisa diubah jadi pertanian,” katanya.
Di Sijunjung, Fendi bertemu Yal Yudian yang menunjukkan “keajaiban” itu kepadanya dan karyanya pun mengalir. "Semua rasa lelah terbayar setelah melihat lahan bekas tambang yang berubah menjadi lahan pertanian," katanya.
Lelahnya kini mungkin telah terlupakan. Karyanya itu mendapat Penghargaan Jurnalistik Video AJV 2020 yang paling bergengsi di Indonesia saat ini.
Advertisement