Liputan6.com, Magelang - Masa pandemi barangkali adalah pupuk organik bagi kehidupan bersastra di Magelang. Mengapa? Justru di masa pendemi covid 19 ini, para penulis dan sastrawan di Magelang dan sekitarnya mencapai produktivitas yang mencengangkan.
Dibanding masa normal, nyaris buku-buku sastra terbitan penulis Magelang yang terbit hanya berisi karya tunggal. Itupun tak banyak.
Dalam kondisi seperti itu, ada 38 penulis yang tiba-tiba menyatukan karya dan membukukan karya mereka. 'Taman di Seberang Ingatan' adalah sebuah antologi puisi yang dihasilkan para penulis Magelang.
Advertisement
Andreas Darmanto, biasa disapa Damtoz menyebutkan bahwa sebenarnya di Magelang dan sekitarnya bertebaran penulis-penulis caliber nasional hingga dunia. Itu pula salah satu factor yang menyebabkan sastrawan Ajip Rosidi pindah ke Magelang dan bahkan menghabiskan sisa usianya di surge kebudayaan ini.
Baca Juga
“Rencananya buku TdSI akan diluncurkan pada tanggal 13 Januari 2021. Kami mengambil tempat di Pendopo TIC (Tourism Information Center), Jl. Balaputeradewa no 1. Borobudur,” kata Damtoz, salah satu tokoh sastra dan pelukis Magelang.
Nindito Nugroho dari Mendut Institute menyebutkan bahwa acara peluncuran buku ini dibayangi kegamangan. Tentu masa pandemi dan pemberlakuan PSBB Jawa Bali yang menjadi penyebab. Hanya saja, Nindito menyebut bahwa launching buku tersebut akan dilaksanakan dengan menerapkan protocol kesehatan ekstra ketat.
“Bukan hanya jumlah peserta yang dibatasi, bukan hanya jarak yang diatur dan harus bermasker. Lebih dari itu, kami juga akan menyeleksi siapapun yang berminat hadir. Apapun itu, launching inni kan hanya seremonial saja, memanfaatkan teknologi IT toh bisa juga dinikmati siapapun dari rumah,” kata Nindito.
Nindito sebagai ketua panitia menyebutkan bahwa yang lebih utama dari launching itu adalah menjaga denyut nadi sastra Magelang dan sekitarnya. Acara tak hanya diikuti para penyairnya saja, namun juga melibatkan beberapa pejabat dari Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan Kebudayaan, dan juga budayawan-budayawan senior.
simak video pilihan berikut
Bukan Penyair Boleh Kok
Buku TdSI diterbitkan salah satunya untuk disebabkan tingginya frekwensi dan produktivitas penulis saat Pandemi. Otomatis butuh pendokumentasian karya dari para penyair itu. Apalagi sekarang tiap detik dan menit lahir puisi-puisi baru dengan berbagai macam genre. Mulai genre puisi quote, puisi jurnalistik, hingga puisi bergaya klasik.
“Kalau mau jujur, buku ini kan semacam gerakan sensus penyair dan penulis Magelang dan sekitarnya. Tentu diharapkan akan bisa secara rutin,” kata Agus Manaji, panitia lainnya.
Sesungguhnya TdSI merupakan kelanjutan gerakan sebelumnya yang sukses menelurkan buku Nol Kilometer (2012) dan Cermin Waktu (2019).
“Pertanyaan berikutnya, siapakah penyair Magelang? Apakah penting kepenyairan dikaitkan dengan label Magelang, kata yang lebih dekat dengan makna geografis dan administratif?” demikian catatan pengantar yang ditulis Edhie Prayitno Ige.
Antologi puisi ini lahir setelah ada lacak jejak penyair melalui jaringan pertemanan penyair/sastrawan. Hanya butuh waktu kurang dari satu bulan, akhirnya ditemukan 46 penyair/sastrawan. Beberapa nama lama dalam jagad kepenyairan Magelang, Daladi Ahmad, Dedet Setiadi, atau Damtoz Andreas.
Mereka kemudian menjadi motivator anak-anak muda seperti Furi Aulia, yang lahir tahun 2004 dan masih siswi SMA. Ia menjadi penyair termuda dalam buku antologi ini. Hal ini tentu menjadi harapan akan keberlangsungan perpuisian di Magelang.
Yang juga menarik untuk disampaikan adalah bahwa latar belakang keseharian para penyair yang beragam seperti ibu rumah tangga, guru/dosen, pedagang, jurnalis, actor, seniman, hingga pelajar. Hal ini membantah apa yang pernah diserukan oleh Chairil Anwar bahwa yang bukan penyair tidak ambil bagian.
Baik Nindito, Agus Manaji maupun Andreas Damtoz berharap Magelang akan melahirkan nama-nama yang mendunia seperti zaman penyair Dorothea Rosa Herliany yang kiprahnya bukan saja sebatas nasional, tetapi sudah internasional.
(Septi Nur Eka Mafiroh)
Advertisement