Sukses

HEADLINE: Banjir dan Longsor Terjang Beberapa Daerah, Penanganan dan Tanggap Darurat?

Secara bertubi-tubi di awal tahun 2021, sejumlah daerah di Indonesia mengalami bencana banjir dan longsor. Ada apa?

Liputan6.com, Jakarta - Malam Tahun Baru 2021, warna-warni letupan kembang api silih berganti menghiasi langit. Meski pemerintah melarang perayaan, kembang api tetap menyala di banyak kota, menjadi simbol selalu optimistis menapaki hari-hari esok. Ada emosi yang ikut meletup dan harapan yang membuncah untuk segera menyudahi 2020, tahun yang sulit dan penuh cobaan.

Namun belum genap sebulan di tahun yang baru, ujian sudah menghadang. Bencana melanda banyak daerah di Tanah Air, menambah beban seiring pandemi Covid-19 yang belum kunjung mereda.

Sabtu, 9 Januari 2021, sekitar pukul 16.00 WIB, tebing setinggi 20 meter dan panjang 40 meter di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, longsor menimpa belasan rumah di bawahnya. Pusdalops BPBD Kabupaten Sumedang kala itu menyebut, ada 14 rumah warga yang tertimbun material longsor, 12 orang dinyatakan hilang. 

Hari itu juga, BPBD bersama Basarnas setempat langsung menggelar operasi pencarian korban. Nahas tak dapat ditolak, hujan deras di lokasi pencarian menyebabkan longsor susulan di hari yang sama, sekitar pukul 19.30 WIB.  Danramil Kecamatan Cimanggung Kapt Inf Setio Pribadi dan Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Sumedang turut meninggal dunia tertimbun material longsor.

Belum selesai pencarian korban longsor Sumedang, gempa bumi beruntun meluluhlantakan Majene dan Mamuju di Sulawesi Barat.

Bersamaan dengan itu banjir parah melanda banyak wilayah di Kalimantan Selatan, antara lain Kabupaten Tanah Laut, Tapin, Hulu Sungai Tengah (HST), Banjar, dan Banjarbaru.

Laporan yang diterima Liputan6.com, Jumat (15/1/2021) pukul 11.40 WIB, sebanyak 21.990 orang di Kabupaten Tanah Laut terdampak banjir dan harus mengungsi. Saat itu banjir merendam 6.346 unit rumah di kabupaten ini dengan tinggi muka air 150-200 centimeter.

Banjir yang begitu luas di Kalsel juga mengakibatkan jalur Trans Kalimantan di Kabupaten Banjar terputus, setelah sisi jembatan Astambul-Mataraman roboh tergerus banjir. Ruas jalan nasional yang menghubungkan antarkabupaten dan kota putus setelah oprit jembatan di Kecamatan Mataraman Kabupaten Banjar tergerus banjir.

Di Banjarbaru, tepatnya di Kelurahan Landasan Ulin Selatan, Kecamatan Liang Anggang, Kota Banjarbaru, ratusan rumah warga terdampak banjir. Bahkan ketinggin air mencapai dua meter, memaksa warga untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Situasi menjadi lebih sulit saat beberapa warga menolak mengungsi, dan keesokan harinya permukaan air malah makin meninggi akibat hujan deras. Petugas Babinsa setempat mengaku kesulitan mendistribusikan bantuan ke lokasi rumah terdampak lantaran keterbatasan perahu karet.

Sehari setelah banjir melanda Kalimantan Selatan, Sabtu (16/1/2021), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Halmahera Utara, Maluku Utara melaporkan, sebanyak 2.863 orang dari empat kecamatan mengungsi akibat rumahnya terendam banjir. Empat kecamatan itu antara lain Kecamatan Kao Barat, Galela Selatan, Galela Barat, dan Loloda Utara.

Banjir tersebut dipicu hujan dengan intensitas ringan-lebat yang disertai angin kencang dalam durasi waktu yang lama, mulai pukul 16.00 WIT sejak 15-16 Januari 2021. Belum ada laporan korban jiwa akibat banjir Halmahera Utara, namun yang pasti kehidupan ribuan warga yang terdampak menjadi terganggu, apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang belum juga usai. 

Di hari yang sama, hujan dengan intensitas tinggi serta struktur tanah yang labil mengakibatkan banjir dan tanah longsor juga melanda Manado, Sulawesi Utara. Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang diterima Liputan6.com menyebut, ada 9 kecamatan dan 33 kelurahan di Kota Manado terdampak banjir dan tanah longsor.

Kecamatan tersebut antara lain, Kecamatan Singkil (lima kelurahan), Kecamatan Tuminting (lima kelurahan), Kecamatan Bunaken (satu kelurahan), dan Kecamatan Paal Dua (enam kelurahan). Kemudian Kecamatan Tikala (empat kelurahan), Kecamatan Wenang (dua kelurahan), Kecamatan Sario (tiga kelurahan), Kecamatan Malalayang (empat kelurahan), serta Kecamatan Wanea (tiga kelurahan).

Sementara itu, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Raditya Jati, menurut informasi yang diterima Liputan6.com, Senin (18/1/2021) mengatakan, ada 6 orang meninggal dunia akibat banjir dan longsor Manado.

Tidak hanya itu, banjir di awal tahun juga melanda beberapa daerah lainnya. Di Aceh ratusan unit rumah warga di sejumlah gampong di pedalaman Kabupaten Aceh Timur terendam banjir. Di wilayah Cirebon, banjir juga menggenangi ratusan rumah warga yang ada di beberapa kecamatan di Kabupaten Cirebon. 

Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Supari, jauh-jauh hari memang telah mewanti-wanti masyarakat, fenomena La Nina bukan hisapan jempol belaka. Fenomena alam yang menyebabkan cuaca ekstrem itu bakal terjadi, dan dampak turunannya seperti banjir dan longsor akan dialami sejumlah wilayah di tanah air, paling tidak hingga Februari 2021.

Namun, dari rentetan peristiwa banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia itu, benarkah penyebabnya hanya satu: hujan?

 

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 5 halaman

Mencari Biang Kerok Banjir dan Longsor

Ada orang bijak mengatakan, hujan hanya menurunkan air. Air yang turun itu bisa menjadi berkah, bisa juga menjadi bencana, tergantung manusia yang menentukannya. 

Beberapa hari usai longsor Sumedang yang memakan banyak korban jiwa, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, langsung meninjau lokasi longsor di Desa Cihanjuang, Sumedang. Dalam kesempatan itu, dia mengingatkan warga untuk tidak menanam sayuran di lahan miring. 

Menanam sayuran di lahan miring, katanya, bisa memicu kondisi tanah menjadi tidak kuat menahan erosi. Curah hujan tinggi bisa menyebabkan tanah mudah longsor.

"Menanam pohon di kemiringan adalah kewajiban," katanya.

Dia juga berpesan agar masyarakat menebang pohon sembarangan. Selain mengurangi tutupan yang bisa menyebabkan banjir bandang, penebangan pohon secara masif bisa membuat permukaan tanah menjadi lunak dan labil. 

"Apabila pohon ditebang, 2-3 tahun kemudian akar akan busuk. Akibat akar busuk dan curah hujan tinggi, air akan masuk disela-sela akar yang mengakibatkan tanah menjadi labil," katanya.

Doni melihat, pohon sukun dan pohon aren menjadi kearifan lokal yang mulai pudar. Dua pohon itu punya akar yang sangat kuat dan mampu memperkuat struktur tanah. Meski jumlahnya berkurang, kedua pohon itu masih terlihat di beberapa kawasan di Sumedang. Doni mengajak warga untuk menanam kembali pohon di lahan dengan kemiringan. Pihaknya juga berjanji akan membantu penyediaan tanaman-tanaman yang punya akar kuat untuk tanah di kawasan rawan longsor.

Sementara itu, Pusat Vulkanolgi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) punya pandangan yang berbeda. Menurut PVMBG, longsor Sumedang juga dipengaruhi oleh pelapukan sejumlah jenis bebatuan di kawasan tersebut. Kasbani, Kepala PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM  mensinyalir, pelapukan menyebabkan lolosnya air, sehingga pelapukan bebatuan breksi dan tufa menjadi bidang yag longsor.

"Hujan yang turun dengan intensitas tinggi inilah yang jadi pemicu longsor," katanya.

Hujan masih menjadi kambing hitam penyebab banjir dan longsor. Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat meninjau lokasi banjir Kalimantan Selatan juga mengatakan hal itu. Banjir di Kalimantan Selatan disebabkan luapan Sungai Barito akibat curah hujan yang tinggi, sehingga debit air tak mampu ditampung.

"Mungkin sudah lebih dari 50 tahun tidak terjadi (banjir) di Provinsi Kalimantan Selatan, curah hujan yang sangat tinggi hampir 10 hari berturut sehingga daya tampung Sungai Barito meluap ke 10 kabupaten," kata Jokowi, Senin (18/1/2021).

 

 

 

 

3 dari 5 halaman

Hutan-Hutan Gundul

Tak terima dengan pandangan itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah justru menyebut, banjir yang merendam Kalimantan Selatan disebabkan alih fungsi lahan. Sebanyak 50 persen lahan di Kalimantan Selatan, katanya, sudah dikuasai pertambangan dan kelapa sawit.

"Jadi dari banyak data-data menyebutkan 1,2 juta hektare dari luas Kalsel sudah konsesi pertambangan, sudah berubah alih fungsi lahan, hutannya sudah gundul mengalami deforestasi," ujarnya, Selasa (19/1/2021).

Pengalihan fungsi lahan 1,2 juta hektare membuat kawasan hutan di Kalimantan Selatan menjadi kritis. Sehingga saat hujan turun dengan intensitas sedang, hutan tak bisa menyerap air dengan baik. Akibatnya, air hujan mengalir ke sungai dan meluap.

"Jadi jelas perubahan alih fungsi lahan menjadi tambang, sawit, hak pengusahaan hutan (HPH) menjadi penyebab utama kerusakan kawasan di Kalimantan Selatan yang saat ini mengakibatkan banjir," katanya.

Menurut Merah Johansyah, pemerintah sebetulnya sudah tahu pengalihan fungsi lahan merupakan penyebab utama banjir di Kalimantan Selatan. Bahkan, pemerintah tahu kawasan transmigrasi hingga kawasan pertanian di Kalimantan Selatan digusur untuk pertambangan.

"Jadi tidak usah pura-pura (tidak tahu). Pemerintah mengatakan (penyebab banjir) karena curah hujan itu mengejek akal sehat," ucapnya.

Jatam membeberkan data, terdapat 814 lubang tambang di Kalimantan Selatan. Ratusan lubang tambang ini tersebar di seluruh wilayah Kalimantan Selatan.

"Lubang tambang saja di sana ada 814 di seluruh Kalsel," kata Johansyah.

Selain lubang tambang, Merah Johansyah mencatat terdapat 700 hektar lahan tambang di Kalimantan Selatan tumpang tindih dengan permukiman masyarakat. Bahkan, kawasan transmigrasi di Kalimantan Selatan digusur untuk pertambangan.

"Transmigrasi di kawasan pemukiman sudah digusur orang-orang itu, dirampas tanahnya. Sudah lama itu," jelas dia.

Johansyah menyampaikan, 251 ribu hektar pertambangan kini berada di kawasan pertanian dan ladang Kalimantan Selatan. Sementara itu, 464 ribu hektar pertambangan berada di 34 kawasan hutan.

Gunung Meratus yang memiliki ketinggian 1.901 mdpl (meter di atas permukaan laut) sudah dikaveling untuk pertambangan. Padahal, Gunung Meratus merupakan jantung Kalimantan Selatan.

Menurut Johansyah, penguasaan kawasan pertambangan di Kalimantan Selatan bukan sembarang orang. Dia menyebut mereka yang memiliki penguasaan lahan mulai dari lingkar birokrat, politikus, sampai dengan pengusaha-pengusaha yang berelasi dengan pemerintah.

Johansyah mengatakan, kunci penanganan bencana banjir di Kalimantan Selatan ada di tangan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Presiden, kata dia, bisa memerintahkan jajarannya untuk mencabut izin pertambangan di Kalimantan Selatan.

"Pak Jokowi bisa melakukan sesuatu tinggal hubungi Kementerian ESDM dan Kementerian LHK. Koordinasikan untuk pencabutan izin, untuk moratorium perizinan tambang, kemudan evaluasi perizinan tambang," kata Johansyah.

Namun, jika Jokowi tidak menginstruksikan pencabutan izin pertambangan maka melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam Pasal 71 dan 79 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 menyebutkan, pemerintah pusat dan daerah wajib mengawasi dan mengevaluasi kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana.

Pemerintah juga, kata Johansyah, berhak tidak menerbitkan izin atau membatalkan izin kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana.

"Ya, kalau enggak dia (Jokowi) melanggar Undang-Undang Penanggulangan Bencana," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono mengutarakan kekecewaannya atas kunjungan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang tidak memanggil para pemilik perusahaan-perusahaan yang menyebabkan banjir di Kalimatan Selatan.

4 dari 5 halaman

Penanganan dan Tanggap Darurat Bencana

Terkait bencana yang terjadi di sejumlah daerah di tanah air, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menyatakan akan fokus pada tanggap darurat bencana.

Menko PMK Muhadjir Effendy dalam keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com beberapa hari lalu mengatakan, baik terlibat langsung maupun tidak langsung, pemerintah akan fokus pada tanggap darurat. Penanganan juga akan terus dilakukan sambil memetakan kekuatan dukungan dari masing-masing kementerian lembaga.

Muhadjir Effendy meminta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) agar terus memperbarui pemetaan terhadap kondisi di lapangan. Sehingga hal-hal apa saja yang dibutuhkan dapat segera dikoordinasikan ke kementerian lembaga terkait.

Berkaca dari penanganan bencana-bencana sebelumnya, Menko PMK berharap kebutuhan khusus bagi perempuan, anak, dan lanjut usia (lansia) dapat lebih diperhatikan.

"Mohon keterlibatan KPPPA diperkuat, lalu BNPB setelah mengumpulkan informasi dari kementerian lembaga agar dijelaskan pola komando di lapangan seperti apa termasuk apa saja yang dibutuhkan selama masa tanggap bencana," kata Muhadjir.

Lebih lanjut, kata Menko, tahap rehabilitasi dan rekonstruksi juga supaya disiapkan segera dan tetap melibatkan kementerian lembaga. Bukan hanya di bawah koordinasi Kemenko PMK, akan tetapi BUMN dan kementerian lembaga lain di luar Kemenko PMK seperti Kementerian PUPR.

Pada lain sisi, Kemenkes, Kemensos, KPPPA, Kemendikbud, Kemenag, dan BNPB juga sudah melakukan upaya tanggap darurat di lapangan. Misalnya, Kemenkes yang telah menyiapkan 25 ambulans, empat tenda, peralatan dan obat-obatan orthopedi dan logistik kesehatan di posko bencana Sulawesi Barat.

Selain itu, KPPPA juga sudah menurunkan bantuan khususnya berbagai kebutuhan bagi perempuan, anak, dan lansia di lima titik lokasi bencana termasuk yang terbaru yaitu bencana di Manado, Sulawesi Utara.

Namun apa yang terjadi di lapangan sangat berbeda dengan apa yang dijanjikan pemerintah. Kurangnya pemerataan bantuan menjadi salah satu yang paling dikritisi banyak pihak, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin bahkan menyebut, pemerintah harus lebih fokus dalam penanganan dan tanggap darurat bencana. 

Pemerintah, katanya, harus dapat memastikan kebutuhan dasar pengungsi dan warga yang terdampak untuk dapat terpenuhi di wilayah pengungsian dengan tetap menerapkan protokol Covid-19.

"Masih minimnya penanganan serta bantuan terbukti bahwa belum meratanya bantuan yang tersalurkan. Pemerintah harus mengawal dan mendata secara akurat agar tidak ada lagi insiden perebutan bantuan dan hal lainnya," katanya.

Dia juga meminta pemerintah dapat melakukan pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Kementerian Sosial (Kemensos) dan Dinas Sosial di daerah untuk mengerahkan Taruna Siaga Bencana (Tagana) dalam membantu proses evakuasi dan mendistribusikan bantuan kepada korban bencana alam.

"Kemensos dan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mendata keperluan para pengungsi dan menyalurkan bantuan yang diperlukan, seperti membangun dapur umum untuk menyediakan makanan, dan memberikan pakaian dan selimut layak pakai, serta kebutuhan lainnya," katanya.

Dia menilai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), PLN, Telekomunikasi harus segera membuka akses ke wilayah terdampak bencana dan memperbaiki jalan yang rusak dan jalur pemancar komunikasi serta dapat menghidupkan aliran listrik.

Langkah itu menurut Azis sangat penting untuk mempermudah proses distribusi bantuan serta membangun tempat pengungsian yang layak dengan memperhatikan protokol kesehatan Covid-19, seperti mengatur jarak antar pengungsi dan membangun tempat mencuci tangan, guna menghindari terbentuknya klaster baru Covid-19 di lokasi pengungsian.

 

5 dari 5 halaman

Infografis