Sukses

Petani di Blora Ramai-Ramai Tolak 'Intil-intil' Paketan Pupuk Bersubsidi

Pupuk subsidi di Kabupaten Blora dijual di atas harga eceran tertinggi lantaran ada 'intil-intil' pupuk nonsubsidi di dalamnya. Kok bisa?

Liputan6.com, Blora - Puluhan warga dari ketua kelompok tani di Desa Plosorejo, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, menolak keras adanya 'intil-intil' paketan pupuk bersubsidi. Yang mana, pengecer mewajibkan petani membeli pupuk subsidi yang disertai pupuk nonsubsidi.

Warga bermufakat, mewakili seluruh warga di desa tersebut, untuk tidak lagi patuh terhadap pola dan cara pengecer pupuk yang cenderung memaksa untuk membeli pupuk nonsubsidi.

Eko Sukardi, salah satu perwakilan ketua kelompok tani mengatakan, adanya aturan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, terus-terusan melenceng dengan fakta di lapangan yang dirasakan oleh para petani.

Ia bercerita, pada 2007 sebelum dirinya belum membuat kelompok tani, tiap ada truk pupuk bersubsidi yang lewat selalu dikejar-kejar oleh warga.

"Dulu kalau ingin dapat pupuk murah itu dengan cara ndatani KTP. Dulu harganya 60 ribu. Tapi kalau tanpa KTP harganya sampai sekitar 100 ribu lebih," kenang Sukardi, disaksikan para ketua kelompok tani lain, dari penyuluh pertanian dan pengecer pupuk desa tersebut, serta dari Serikat Perjuangan Petani Blora, Selasa (19/1/2020).

Sukardi menyampaikan, kondisi sekarang tentang adanya kebijakan menjual pupuk subsidi yang harusnya sesuai HET, tetapi modus ngejualnya masih saja tidak disesuaikan. Dia bilang, tentunya petani keberatan, sehingga mau tidak mau karena terpaksa, pupuk subsidi harga diatas HET tetap dibeli.

"Ini pupuk subsidi kok ada intil-intile barang, padahal di data itu tidak ada yang nonsubsidi, saya ingin meminta penjelasannya (pengecer). Kacek e kok akehmen (selisihnya kok banyak banget)," ungkapnya.

Para petani desa tersebut siap jika nantinya pola dan cara yang dianggap keliru itu tidak dirubah oleh pihak pengecer, mereka akan menggeruduk datang ke Pemkab Blora. 

Sementara itu, Winar selaku kios pupuk lengkap (KPL) di daerah tersebut menjelaskan, untuk pupuk yang nonsubsidi, sebenarnya pengecer sendiri itu keberatan. Sebagai pihak pengecer, dirinya beralasan sudah berulangkali protes dengan sejumlah pihak tetapi tidak bisa.

"Saya protes dengan DPR, pak Bupati juga tidak bisa. Soalnya itu kebijakan dari atas. Jadinya jika pupuk non subsidi tidak dibayar, yang subsidi itu tidak akan keluar," ungkap Winar.

 

 

**Ingat #PesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Akal-akalan

Winar mengaku, ketentuan menjual pupuk subsidi ada 'intil-intil' pupuk non subsidi, dijalankan hampir seluruh pengecer yang ada di Kabupaten Blora. Apabila yang disampaikan ini benar, artinya para pengecer selama ini kebanyakan pupuk subsidi dijual di atas HET karena dijual sepaket dengan nonsubsidi.

"Yang intil-intil (titipan, red) itu kan dari Petro dan Pusri, jadi itu perusahaan berkaitan dengan BUMN," katanya.

Lebih lanjut, Winar memaparkan, petani yang namanya terdata akan mendapatkan Urea 99 persen dari eRDKK, NPK 35 persen dari eRDKK, ZA 75 persen dari eRDKK, dan Organik 30 persen dari eRDKK.

"Untuk Urea karena ditambah non subsidi harganya jadi Rp140 ribu, NPK ditambah nonsubsidi jadi Rp145 ribu, NPK ditambah Organik jadi 155 ribu, ZA ditambah nonsubsidi jadi Rp110 ribu," paparnya.

Di waktu yang sama, Exy Agus Wijaya selaku Koordinator Serikat Perjuangan Petani Blora menyampaikan, keharusan yang ditentukan pengecer maupun pihak distributor dianggap menjerumuskan. Pasalnya, saat pemerintah pusat bicara tentang ketahanan pangan di tengah pandemi Covid-19, ini di bawah malah berulah jahat.

"Selama ini kaum tani diam, kadang-kadang rasan-rasan membeli pupuk di pengecer dihargai mahal. Sebenarnya, untuk HET itu sudah ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan oleh Dinas di Blora," kata Exy.

Dalam pertemuan yang berlangsung, suasananya tampak tegang. Exy lalu meminta kepada pihak pengecer jika menjual pupuk subsidi diwajibkan ada 'intil-intil' pupuk nonsubsidi, untuk disampaikan dasar regulasinya sebagai pijakan kedudukan hukum. Namun, regulasi itu tidak mampu dihadirkan oleh pihak pengecer di saksikan puluhan warga.

"Selalu bahasa yang digunakan oleh pengecer itu adalah kebijakan dari atas. Sekarang saya bertanya, mana regulasinya, dan mana dasar hukumnya yang bisa membuat kita percaya kalau paketan pupuk yang harus dibeli itu ada kebijakan dari atas," katanya.

Exy menuturkan, kebijakan itu tidak berdiri sendiri, dan siapa yang membuat kebijakan harus jelas. Dia bilang, jika memang diwajibkan, maka dirinya akan siap jadi garda terdepan mendampingi petani untuk bersama-sama menolak adanya 'intil-intil' paketan pupuk bersubsidi.

3 dari 4 halaman

Kejanggalan

Sejauh ini, lanjutnya, semua pengecer pupuk di Kabupaten Blora tidak berani ada yang memberi kuitansi pupuk bersubsidi.

"Kawan-kawan pernah nggak beli pupuk subsidi lalu diberi kuitansi," ucap Exy bertanya.

"Nggak pernah," jawab ramai-ramai para ketua kelompok tani itu.

Exy mengatakan, harusnya para pengecer pupuk subsidi tidak usah takut memberikan kuitansi jika memang sesuai dengan aturan. Jika tidak ada kuitansi, kata dia, ada indikasi permainan di sini. 

"Kalau ngasih kuitansi ke kawan-kawan, ini jelas diatas HET. Dan ini bisa dilaporkan, dan akan jadi masalah. Karena kalau sampai pengecer ketahuan menjual diatas HET, ini bisa dicabut izin menjadi pengecer," katanya.

Menurutnya, fungsi KP3 Kabupaten Blora kurang maksimal alias mandul di lapangan. Oleh karena itu, ia berharap adanya temuan di Desa Plosorejo, menjadi embrio ke depan agar kaum tani jangan diam jika ada yang janggal.

"Kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat lewat lisan, maupun tulisan, dijamin undang-undang. Maka gunakan diskusi seperti ini agar menyebar ke kelompok yang lain," kata Exy.

"Pengecer tidak usah takut jika merasa tidak punya salah," katanya. 

4 dari 4 halaman

Tanggapan Pemerintah

Munculnya beragam permasalahan di lapangan, termasuk pembelian pupuk subsidi jadi melambung di atas HET karena diwajibkannya membeli nonsubsidi oleh pihak pengecer, sebenarnya sudah pernah disampaikan Liputan6.com ke sejumlah pihak.

Antara lain, yakni kepada pimpinan DPRD Blora dari fraksi PKB dan Golkar, para anggota DPRD Blora, Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, Sekda Blora, serta pihak produsen pupuk subsidi dari PT Petrokimia Gresik dan pihak PT Pusri Palembang perwakilan Kabupaten Blora.

Jawaban mereka pun rata-rata hampir senada bahwasannya telah mengetahui masalah-masalah yang terjadi. Namun, solusi tak kunjung ada ekskusi titik temu yang bisa merubah alur mekanisme yang saat ini membuat petani menjerit.

Komang Gede Irawadi selaku ketua Komisi Pengawasan Pupuk Pestisida (KP3) Kabupaten Blora, misalnya. Dirinya mengaku berulang kali telah memanggil dinas perdagangan dan dinas pertanian, serta pihak distributor maupun pengecer pupuk subsidi.

"Saya memang ketuanya. tetapinya timnya itu banyak. saya sudah perintahkan dinas perdagangan, dinas pertanian untuk melakukan tindakan," kata Komang, yang juga menjabat Sekda Blora itu.

Komang menuturkan, pihaknya berencana akan membentuk KP3 di tingkat kecamatan yang akan diketuai Camat. Menurutnya, tidak mungkin KP3 Kabupaten bisa memonitor ke desa-desa sendiri.

"Jadi dimana permasalahan itu terjadi, kita dari kabupaten akan perintahkan camat untuk memonitor itu," terangnya.

Informasi mengenai tidak di wajibkannya para petani membeli pupuk non subsidi, sebetulnya juga pernah dijelaskan oleh Agus Nugroho Eko Priyono, selaku Petugas Pemasaran Daerah Petrokimia Gresik di Kabupaten Blora.

"Petani itu tidak diwajibkan. Boleh beli dan boleh tidak," katanya.

Diketahui, harga pupuk yang termaktub dalam Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 49 tahun 2020, untuk HET pupuk jenis Urea Rp2.250 per kilogram dan Rp112.500 per karungnya. Untuk ZA Rp1.700 per kilogram dan Fp85.000 per karungnya. Lalu untuk SP-36 Rp2.400 per kilogram dan Rp120.000 per karungnya.

Kemudian untuk Phonska Rp2.300 per kilogram dan Rp115.000 per karungnya. Serta untuk Petroganik Rp800 per kilogram dan Rp32.000 per karungnya.