Liputan6.com, Aceh - Nama gadis remaja asli Aceh ini Livita Hanum. Panggilannya Vita, punya ketertarikan khusus terhadap fesyen serta senang menghabiskan waktu seharian di dalam kamar sambil berkutat dengan reja-reja kain atau perca.
Sore itu, Vita mengenakan salah satu baju yang ia desain serta jahit sendiri, yaitu sejenis gamis berwarna rosy brown yang memiliki lengan model tali seperti pita. Baju tersebut berkombinasi dengan kerudung hitam, sebuah perpaduan yang memberi kesan visual tajam serta memikat.
Advertisement
Baca Juga
Lulusan sekolah tata busana tersebut sekarang tengah menginjak semester 3 di jurusan teknik sipil salah satu kampus. Ia memiliki seorang kakak bernama Mutiara Wirdyasih, yang hari itu mengenakan baju serta jilbab seperti milik Vita.
Hanya saja, model lengan baju Tiara lebih mekar sementara jilbabnya terlihat lebih lebar dengan ujung yang menjulur hingga setengah dari sikunya. Baju tersebut juga merupakan hasil jahitan Vita, sang adik.
Beberapa waktu yang lalu, kakak beradik itu mengikuti latihan paralegal di ibu kota. Pengada pelatihan tersebut adalah sebuah organisasi nonpemerintah yang masih ada sangkut pautnya dengan masalah di desa mereka saat ini.
Sebagai informasi, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit berdiri di tempat itu jauh sebelum Vita dan Tiara lahir. Perusahaan tersebut memiliki perkebunan berdasarkan SK dan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) dengan subbisnis Tandan Buah Segar (TBS), minyak mentah, dan inti sawit.
Manajemen perusahaan mulai merintis sejak 90-an namun sempat tidak beroperasi karena eskalasi konflik di Aceh meningkat. Di situs resmi perusahaan tertulis misi yang di antaranya menyinggung tentang kontribusi perusahaan terhadap pembangunan daerah termasuk kemitraan hingga mengklaim sebagai bapak angkat bagi petani dan pengusaha kecil melalui pengembangan usaha berkualitas tinggi yang katanya ramah lingkungan.
Namun, misi tersebut tampaknya absurd. Bagaimana tidak, ada tudingan bahwa perusahaan tersebut telah menggarap lahan yang masuk ke dalam wilayah kelola Desa Cot Mee, Aceh, tanah kelahiran Vita dan Tiara.
Jumlah lahan yang katanya telah diserobot mencapai 400 hektare lebih. Sengketa penguasaan lahan pun ini telah berlangsung selama satu dasawarsa lebih kurang.
In casu, demonstrasi hingga diplomasi yang warga lakukan tidak pernah sampai pada tahap ketuk palu. Eksekutif maupun legislatif hanya mengedepankan pual-pual belaka dalam menanggapi masalah ini.
Gema rampak genderang TAP MPR RI Nomor IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 pun tak pernah sampai ke desa yang terletak pinggiran kota tersebut. Tampaknya, kasus ini paling banter hanya akan mentok di daftar buram penyelesaian konflik agraria yang ada di Indonesia.
Simak video pilihan berikut ini:
Estafet
Lahir di desa yang bermasalah dengan korporasi telah menorehkan cerita tersendiri bagi Vita dan Tiara. Mereka sering mendengar nada rebab kegulanaan sang ayah tentang masalah yang desa mereka sedang hadapi.
Ayah Vita dan Tiara merupakan salah satu pelopor dalam gerakan mengklaim kembali wilayah kelola desa yang katanya telah perusahaan serobot. Namanya adalah Samsuir.
Prinsip vivere pericolosamente agaknya lekat dengan cerita kehidupan lelaki yang berprofesi sebagai pegawai di salah satu sekolah itu. Ia pernah ngotot mengajar sebagai guru honor bergaji kecil di daerah yang saat itu guru lain hindari karena frekuensi konflik sedang berada di tingkat riskan.
Tekad suami Reviani itu tak majal sedikit pun, sampai-sampai mesti berhadapan dengan salah satu pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) karena keinginannya agar anak-anak yang ada di desanya tetap bersekolah. Ia berusaha meyakinkan kelompok separatis yang beranggapan bahwa sekolah tak ubah kamp indoktrinasi yang akan meracuni pikiran sehingga anak-anak tersebut akan berpaling dari etnosentrisme keacehan.
Pada awalnya, pimpinan GAM wilayah berang alang kepalang serta menolak mentah-mentah keinginan Samsuir, tetapi, berkat kekukuhannya, hati orang itu pun luluh, lantas memberi izin kepadanya untuk mengajak anak-anak di desanya bersekolah, tapi dengan sejumlah syarat seperti meniadakan mata pelajaran tertentu. Prinsip keras hati Samsuir tersebut agaknya menurun kepada Vita dan Tiara.
"Jika memang ini tanahku, maka akan kuperjuangkan sampai tetes darah penghabisan," ujar Vita.
"Di tanah ini aku lahir di tanah ini aku hidup, di tanah ini aku mati, maka akan kuperjuangkan," Tiara menimpali ucapan adiknya.
Advertisement
Ingin Manfaatkan TikTok
Tidak cuma Vita dan Tiara. Di antara masyarakat korban konflik lahan tadi, turut hadir seorang mahasiswi bersuara lantang bernama Rahmiyati.
Rahmi, panggilannya, lahir dan tumbuh di tanah yang sama dengan Vita dan Tiara. Mahasiswa program studi bimbingan konseling tersebut mengaku suka membaca webnovel di waktu senggang.
Ada kesan mandiri dari blazer yang dia kenakan. Rahmi bahkan pernah menjadi tukang ojek daring pada awal masuk kuliah di perantauan dulu, setelah sempat tidak memberi tahu orangtua bahwa dirinya berinisiatif melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah setamat SMA.
Soal semangat, Rahmi agaknya yang paling ekspresif ketimbang dua temannya. Vita dan Tiara cenderung masih malu-malu meskipun berbahaya.
Selain itu, gadis kelahiran 2001, anak dari pasangan Zulkifli dengan Hamimah itu ingin mengubah persepsi bahwa Douyin alias TikTok hanya untuk bersenang-senang belaka. Jaringan sosial dan platform video musik seperti itu bisa jadi wadah aspirasi bahkan medium propaganda, menurutnya.
"Anak presiden ada TikTok, rata-rata punya. Bagi saya, tanah adalah tempat berdirinya yang tumbuh, yang berkembang, dan yang mati. Mereka mengambil satu langkah-satu langkah, enggak menutup kemungkinan bahwa mereka akan mengambil lagi. Kita siap memanfaatkan teknologi itu (TikTok) untuk advokasi kasus ini," ujar Rahmi.
Telah Sampai di Meja KSP
Warga yang hadir di dalam pertemuan hari itu hampir semuanya perempuan, terutama kaum ibu. Pembahasan yang berlangsung pun tak jauh-jauh dari keluhan yang mereka lontarkan hampir di setiap kesempatan.
Nurlaela, ibu yang mengaku sering mencari kijing atau remis besar di sungai yang kemungkinan terkontaminasi oleh limbah hasil olahan sawit, adalah salah satu di antara yang mengeluh. Pada malam hari, warga yang mencari kijing di sungai tersebut katanya akan terserang gatal-gatal.
Tudingan pencemaran lingkungan yang mereka alamatkan kepada perusahaan tersebut mencuat di media massa beberapa kali. Masa panen kebun sawit milik warga katanya juga terganggu karena telah tergenang oleh limbah perusahaan.
Menurut Nurlaela, imbas lain dari konflik lahan yang terjadi di desa mereka adalah terbatasnya lahan pemakaman. Warga harus mengebumikan keluarga mereka yang meninggal ke desa tetangga karenanya.
"Okelah sekarang ini orang Tadu masih baik. Tapi, nanti, kalau sudah tidak diberi lagi, ke mana kami kuburkan?" kesah Nurlaela.
Menurut Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul, sebenarnya laporan tentang kasus ini telah sampai ke meja Kantor Staf Kepresidenan (KSP) beberapa tahun yang lalu. Selain kasus Cot Mee versus perusahaan perkebunan kelapa sawit itu, lembaga yang telah berdiri sejak 1995 di Aceh itu turut melaporkan 4 kasus agraria yang tersebar di sejumlah kabupaten.
Namun, sampai hari ini belum ada tindakan apa pun setelah sempat terdengar selentingan bahwa KSP akan menurunkan tim ke daerah untuk memverifikasi kebenaran kasus-kasus tersebut. Nasib berkas laporan tersebut seperti apa, hanya KSP dan Tuhan yang tahu.
Hasil telusur Liputan6.com di situs resmi pemerintah provinsi terungkap bahwa tahun lalu dinas pertanahan ada melakukan rapat tentang penyelesaian sengketa HGU perusahaan tersebut. Tapi, pembahasan rapat tersebut masih berkutat di tataran bagaimana menyusun strategi penyelesaian sementara kasus yang terjadi merupakan kasus menahun di mana perusahaan terus memamah hasil panen tanpa negara beri jeda sampai status lahan yang bersengketa terverifikasi apakah masuk ke dalam areal HGU atau malah sebaliknya.
Lahan yang katanya kena serobot merupakan wilayah kelola Desa Cot Mee secara de facto kendati tidak memiliki bukti berupa surat. Namun, kata Syahrul, fakta ini tidak bisa jadi dalih negara untuk tak mengakui bahwa lahan tersebut adalah milik desa.
"Tidak semua lahan di Aceh punya sertifikat. Belum tentu ada sertifikat. Begitu juga dengan lahan tersebut. Kendati secara surat-menyurat tidak memiliki, tetapi secara pengakuan bukan berarti negara tidak harus mengakui bahwa itu bukan milik masyarakat," cetus Syahrul, Senin (01/02/2021).
Irawati Adi Safitri dan Saifuddin Bantasyam dalam jurnalnya, menulis bahwa luas HGU perusahaan yang tertera dalam sertifikat perizinan mereka, yaitu 9.311,0692 hektare. HGU tersebut terbagi ke dalam dua wilayah garapan, yaitu, Tadu A dan Tadu B.
Pertama berlokasi Kecamatan Kuala, Kuala Pesisir, dan Tadu Raya dengan luas 4.355 Ha, kedua di Kecamatan Tripa Makmur dengan luas 4.956 Ha. Izin usaha perkebunan perusahaan tersebut berupa surat keputusan No. 6 Tahun 1990.
Setelah Nagan Raya lepas dari wilayah administrasi Aceh Barat pada 2007, surat izin yang lama berganti dengan sertifikat pengganti ke-1 terbitan dinas pertanahan setempat. Hasil penelitian Irawati dan Saifuddin juga mengungkap hal yang sama, bahwa konflik lahan antara Cot Mee versus perusahaan perkebunan kelapa sawit itu terjadi karena perusahaan menggarap lahan yang sama sekali tidak termaktub di dalam ketentuan izin usaha.
"Setelah perpanjangan, kita tidak tahu apakah sekarang wilayah kelola masyarakat masuk ke dalam HGU atau tidak. Tapi, perusahaan sudah menggarap lahan. Di HGU pertama juga begitu. Artinya, yang digarap adalah lahan berstatus di luar HGU," ujar Syahrul.
Kelemahan status hukum garapan perusahaan juga terlihat dari fakta bahwa kepala desa tidak pernah memberi rekomendasi apa pun sekalipun benar bahwa wilayah kelola masyarakat masuk dalam wilayah garapan perusahaan secara de jure. Seandainya penerbitan HGU tidak melibatkan perangkat desa, maka boleh jadi telah terjadi proses birokrasi yang takpatut selama prosesnya.
"Artinya secara prosedur lahan itu tidak masuk karena tidak ada rekomendasi dari kepala desa. Di satu sisi, untuk meningkatkan pendapatan desa, bahkan dengan Badan BUMDes, seharusnya negara hadir untuk mengakui lahan tersebut milik desa sehingga menjadi komoditas yang bisa dikelola oleh BUMDes," pungkasnya.
Vita, Tiara, dan Rahmi merupakan Generasi Z bahkan dua di antaranya lahir ketika dunia menyambut milenium ke-2. Kini masalah yang desa mereka sedang hadapi berada di pundak gadis-gadis remaja tersebut.
Advertisement