Sukses

Curhat Sutradara Angga Dwimas Sasongko Jadi Korban Pembajakan Film

CEO dan Founder Visinema Pictures, Angga Dwimas Sasongko menyebut, negara dan filmmaker mengalami kerugian yang luar biasa dari tindakan pembajakan film.

Liputan6.com, Jambi - Visinema Pictures berhasil menyeret pelaku pembajakan film Keluarga Cemara karya Visinema Group ke pengadilan. Pelaku pembajakan yang merupakan warga Jambi, Aditya Fernando Phasyah (AFP) itu, kini telah menjalani sidang kedua yang digelar di Pengadilan Negeri Jambi.

Dalam sidang kedua dengan agenda mendengarkan keterangan saksi, Kamis (4/2/2021), CEO dan Founder Visinema, Angga Dwimas Sasongko, rela terbang ke Jambi untuk memberikan kesaksiannya. Sidang kasus pembajakan film ini, menurut dia, menjadi langkah awal dan gerakan bersama untuk melawan pembajakan karya film.

"Prosesnya (menyeret pelaku ke pengadilan) lumayan panjang, mudah-mudahan apa yang saya lakukan hari ini di Jambi menjadi langkah awal dan gerakan bersama melawan pembajakan film," kata Angga Dwimas Sasongko di Pengadilan Negeri Jambi.

Pembajakan film ini kata Dwimas Sasongko, yang juga produser sekaligus sutradara film, adalah sebuah kejahatan yang tidak bisa ditoleransi dan harus dilawan. Lewat pembajakan itu, selain Visinema dirugikan secara materi dan non meteri, negara juga kehilangan pendapatan dari pajak lisensi.

"Pajak yang harusnya saya bayarkan jadi hilang, untuk satu film Keluarga Cemara yang dibajak itu ditaksir kerugiannya antara 100-150 juta, bayangkan kalau ini sudah 1.000 film yang dibajak pelaku, jadi dikali saja berarti pajak yang hilang bisa sampai 100 miliar," kata dia.

"Negara dan filmmaker mengalami kerugian luar biasa," ujar Angga Dwimas Sasongko lagi.

Dalam kasus pembajakan film yang menjerat warga Jambi, Aditya Fernando Phasyah memiliki platform atau website untuk mendistribusikan ribuan film secara ilegal. Menurut Dwimas Sasongko, butuh proses yang panjang untuk menyeret pelaku ke pengadilan.

Sidang kasus pembajakan film, kata Dwimas Sasongko, mewakili seluruh kreator dan filmmaker di Indonesia, yang hasil karyanya telah dibajak. Visinema berkomitmen untuk terus untuk memerangi tindak kejahatan film yang masih marak terjadi pada era digital ini.

"Kita semua (publik) perlu tahu, kasus pembajakan ini rumit secara hukum karena delik aduan. Jadi kita harus melaporkan, dan kebetulan yang kita laporkan pembajakan film Keluarga Cemara," ujar Dwimas.

Selain Angga Dwimas Sasongko selaku CEO dan Founder Visinema yang menjadi saksi, ada pula Head of Operation Visinema, Raga Atsmara yang turut memberikan kesaksiannya dalam sidang tersebut.

Simak Video Pilihan Berikut:

2 dari 3 halaman

Diperlukan 'Political Will' dari Pemerintah

Pembajakan karya film di Indonesia, menurut dia, sudah amat parah. Apalagi saat ini orang lebih banyak menikmati film bajakan lewat situs ilegal.

Sehingga untuk memberantas pembajakan film di Indonesia menurutnya, perlu political will dari pemerintah. Apalagi saat ini modus operandi pelaku bukan sekadar membajak konten film, tetapi juga pelaku mendapatkan keuntungan dari iklan.

"Pemerintah harus punya political will untuk memberantas pembajakan, saat ini masih delik aduan, kalau misalnya ini jadi delik biasa, penegak hukum bisa langsung memburu, dan ini bisa cegah sejak awal," ujarnya.

Selain itu, saat ini, untuk menyeret pelaku pembajakan ke meja hijau diperlukan proses yang panjang. Tidak hanya satu film saja yang dibajak, tetapi pelaku juga membajak ribuan film dan didistribusikan lewat platform ilegal.

"Dengan kejahatan seperti ini negara kehilangan pendapatan, filmmaker rugi. Selama 15 tahun saya berkecimpung di film, dari pertama, saya sudah mengalami pembajakan," ujar Angga Dwimas Sasongko.

Angga pun turut mengimbau semua kalangan agar terus mendukung dan menghargai semua karya cipta anak bangsa. Yaitu dengan cara mengakses segala kekayaan intelektual secara sah dan legal pada platform online yang telah memiliki izin terhadap penayangan seperti musik, video, film dan lainnya.

Angga berharap persidangan pembajakan film yang digelar di Jambi ini prosesnya berjalan adil, sehingga dapat memberikan preseden penegakan hukum pada pembajakan karya cipta yang selama ini masih dipadang sebelah mata.

"Saatnya karya cipta Indonesia dihargai di negaranya sendiri," ujar Angga Dwimas Sasongko.

3 dari 3 halaman

Satu Pelaku Pembajakan Film Masih Buron

Sebelumnya, terdakwa Aditya Fernando Phasyah dilaporkan oleh pihak PT Visinema Pictures pada April 2020 atas dugaan pidana pembajakan film Keluarga Cemara yang diproduksi Visinema.

Terdakwa, lalu ditangkap penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri pada Selasa (29/9/2020) di kawasan The Hok, Kecamatan Jambi Selatan, Kota Jambi. Sementara rekannya, RBP yang turut dalam pembajakan itu masih menjadi buronan hingga saat ini.

Karya Visinema Pictures yang dicuri, diunggah, serta ditayangkan secara ilegal di platform website DUNIAFILM21 adalah film Keluarga Cemara. Film yang meraih 1,7 juta penonton bioskop pada awal 2019 itu diputar secara utuh atau ditayangkan secara online dengan cuma-cuma bagi pengunjung website tersebut.

Tak hanya berhenti sampai di situ, dalam penelusuran kasus pembajakan ini, AFP telah melakukan pembajakan sekitar 3.000 judul film lokal dan impor sejak tahun 2018. Hal ini terdakwa lakukan untuk mencari keuntungan dari iklan yang didaftarkan, mengingat judul film-film tersebut cukup terkenal.

Penuntut Umum Kejati Jambi, Hariyono, sebelumnya mendakwa Aditya Fernando Phasyah melakukan perbuatan melawan hukum. Terdakwa disebut memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak.

Terdakwa juga disebut mengunggah film bajakan melalui website http://95.217.177.179/, atau DUNIAFILM21. Terdakwa mengunggah ribuan film-film di platform tersebut. Salah satunya film produksi Visinema, yakni Keluarga Cemara.

Dalam dakwaan penuntut umum disebutkan, hal itu dilakukan terdakwa dengan tujuan mengambil keuntungan dari iklan yang didaftarkan pada platform tersebut. Nama besar film Keluarga Cemara mampu menarik banyak pengunjung situs. Hal itu diharapkan mampu menarik iklan-iklan.

Dalam dakwaan itu disebutkan kalau tarif iklan yang didaftarkan berkisar dari Rp 1.500.000 hingga Rp 3.500.000/iklan untuk durasi 30 hari. Terdakwa mendapat keuntungan dari iklan tersebut yang kemudian dibagi rata dengan rekannya RBP, yang saat ini masih buron.

Saat dilakukan penangkapan, polisi mengamankan sejumlah barang bukti, diantaranya adalah buku tabungan yang digunakan terdakwa untuk bertransaksi. Kemudian, kartu ATM, flashdisk, laptop, perangkat komputer dan handphone.

Terdakwa Aditya Fernando Phasyah didakwa dengan pasal 32 ayat 2 jo pasal 48 ayat 2 UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.

Kemudian, terdakwa juga dikenakan Pasal 113 ayat (3) jo Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,dan/atau huruf g Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Â