Bandung - Meskipun sebenarnya orang Tionghoa di Asia Tenggara sudah menetap sejak lama, namun struktur masyarakat mereka baru berkembang setelah kedatangan kolonialis Belanda.
Orang Tionghoa yang hijrah ke Asia Tenggara, terbagi dalam beberapa kelompok. Terkhusus di Indonesia, setidaknya ada dua kelompok besar.
Advertisement
Baca Juga
"Konteksnya, siapa sih atau orang Tionghoa seperti apa yang datang ke Nusantara? Para imigran Tionghoa yang datang ke Nusantara itu, mulai abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, berasal dari suku bangsa Hokkian. Mereka berasal Provinsi Fukien bagian selatan, dan daerah tersebut dalam catatan sejarah dianggap sebagai daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang Tionghoa di seberang lautan," buka Tanti Restiasih Skober saat dihubungi ayobandung.com pada Jumat (5/2/2021).
Sejarawan Universitas Padjadjaran, yang membahas sejarah orang Tionghoa di Bandung (1930-1960) dalam tesisnya, kemudian memaparkan bahwa orang Hokkian banyak yang tinggal di Indonesia bagian timur, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan Pantai Barat Sumatera.
Sedangkan kelompok imigran Tionghoa lain, itu orang-orang Hakka. Walaupun mereka suku bangsa Cina yang paling banyak merantau ke seberang lautan, mereka bukan suku bangsa maritim. Dan orang Hakka ini merantau karena terpaksa atas kebutuhan mata pencaharian hidup.
"Jadi, bukan orang yang kaya, atau orang-orang Cina yang mapan. Itu sangat logis, karena kalau mereka mapan di daerahnya tidak mungkin mereka menyeberang lautan dan mereka bukan bangsa maritim seperti nenek moyang kita."
Orang-orang Hakka ini yang kemudian menjadi komunitas Tionghoa paling banyak di Jawa Barat.
Â
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Tragedi Pembantaian Etnis Tionghoa di Batavia
Akan tetapi, nasib mereka tidak berlangsung baik. Pada tahun 1740, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Jakarta. Pogrom yang umum dikenal sebagai Geger Pacinan ini dikabarkan menelan korban jiwa sekitar 5.000—10.000 manusia.
"Berkaitan dengan peristiwa tahun 1740, ketika ada peristiwa pembatanian orang Tionghoa. Setelah tahun itu, setelah keadaan tentram kembali, ada dikeluarkan peraturan yang mengharuskan orang Tionghoa tinggal di kampung tertentu. Dan kita biasanya sebut dengan Pecinan. Kemudian nanti juga ada opsir-opsir, misalnya ada mayor letnan, yang memimpin Pecinan tersebut," tutur Tanti.
Setelah dari sana, masyarakat etnis Tionghoa di Jawa Barat semakin terpusatkan di suatu daerah tertentu. Mereka bergumul di satu tempat. Bukan berarti mereka ingin selalu berdekatan, tetapi memang begitu kolonialis Belanda menetapkan.
Lebih spesifik di Bandung. Berdasarkan data dan sumber arsip, sejak 1810, Pe-Cina-an (Perkampungan Cina) sudah ada di Priangan. Disebutkan bahwa Pecinan ada di Cianjur, Bandung, Parakanmuncang, Sumedang, Limbangan, dan Galuh.
"Di Bandung, itu mereka mulanya mereka tinggal di Banceuy. Kemudian karena jumlahnya bertambah, disediakanlah tempat di bagian barat yang kita kenal Pasar Baru, itu Pecinan Baru," Lanjutnya.
Lagi-lagi, pemerintah kolonial menetapkan peraturan yang membatasi gerak-gerik komunitas Tionghoa. Dan mungkin memang begitu nasib mereka. Tak peduli ke mana pun pergi, pembatasan senantiasa membayangi mereka.
Â
Advertisement
Pecinan di Bandung
Pecinan di Bandung, yang terkontruksi berada di dekat pasar, terkenal kotor dan hanya menyisakan sedikit ruang bersih. Restoran Tionghoa juga awalnya tidak terkenal bersih.
Sebab kondisi tersebut, Tanti menjelaskan, pemerintah Hindia Belanda kemudian membuat kebijakan yang kaku. Contohnya, dengan aturan untuk membersihkan restoran-restoran Cina.
Lebih jauh, secara aktivitas ekonomi, mereka pun sebetulnya tidak terlalu leluasa di luar Pecinan. Berdasarkan Ketetapan Gubernur Jernderal 6 Juli 1820 no.23 dituliskan bahwa, "Orang-orang Cina, yang belum mendapatkan izin resmi dalam daerah hukum Karesidenan Priangan, harus menghentikan usahanya. Selain itu, jumlah gerobak yang digunakan untuk berdagang dibatasi."
Pihak-pihak yang menderita dari pembatasan itu pun sebenarnya bukan hanya orang-orang Cina, bahkan orang-orang Arab sekalipun merasakan akibatnya. Artinya, kalaupun ada previlege dari pemerintah kolonial terhadap warga negara asing, hal itu tidak terlihat di Bandung pada masa lampau.
Tetapi, previlege sama sekali tidak sebanding dengan segala pembatasan yang diterima orang Tionghoa. Dengan pembentukan anti-rentenir, misalnya, orang Eropa mencoba menekan saudagar Tionghoa yang bukan hanya berdagang, tetapi juga mendapatkan untung dari meminjamkan uang.
Pun dari sebuah tulisan di Sin Bin, sebagai contoh lainnya, yang terbit di Bandung pada 15 Juli 1925. Ketidakharmonisan antara orang Tionghoa dan orang Eropa jelas-jelas terlihat.
Selain itu, "Tentu ada juga pembatasan-pembatasa ruang gerak. Dengan diciptakannya Pecinan saja menandakan sudah adanya pembatasan ruang gerak," pungkas Tanti.
Dapatkan berita menarik Ayobandung.com lainnya, di sini: