Sukses

KPAI Beberkan 5 Alasan Utama Anak Putus Sekolah Selama Pandemi Covid-19

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut terjadi peningkatan jumlah anak putus sekolah selama pandemi Covid-19

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut terjadi peningkatan jumlah anak putus sekolah selama pandemi Covid-19. Ini merupakan hasil pantauan anggota KPAI, Retno Listyarti sejak Januari 2021.

Wilayah pantauan meliputi Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma dan Provinsi DKI Jakarta. Pemantauan di lakukan dengan pengawasan langsung untuk Kota Bandung dan Cimahi, dan wawancara secara online dengan guru dan Kepala Sekolah jaringan guru Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI). Pemantauan dilakukan pada Februari 2021.

Retno mengatakan ada lima alasan yang menyebabkan anak putus sekolah. Yaitu karena menikah, bekerja, menunggak Iuran SPP, kecanduan game online dan meninggal dunia.

Pandemi Covid-19 sudah berlangsung selama setahun. Menurut Retno, seharusnya pemerintah daerah sudah dapat memetakan permasalahan pendidikan di wilayahnya, sehingga tidak ada peserta didik yang putus sekolah.

“Namun faktanya, KPAI justru menemukan data-data lapangan yang menunjukan angka putus sekolah cukup tinggi, terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin,” Retno mengungkapkan.

Adapun berdasarkan hasil pantauan KPAI selama Januari-Februari 2021 saja sudah menunjukkan angka putus sekolah yang memprihatinkan.

Pertama, Siswa putus sekolah karena menikah. Jumlah siswa yang berhenti sekolah karena menikah jumlahnya mencapai 33 peserta didik dari kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima. Rata-rata siswa yang menikah berada di kelas XII, yang beberapa bulan lagi ujian kelulusan sekolah.

Karena masih PJJ, maka mayoritas yang sudah menikah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Wali kelas atau guru Bimbingan Konseling (BK) baru mengetahui setelah dilakukan “home visit” karena tidak pernah lagi ikut PJJ.

Angka 33 di awal tahun 2021 merupakan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2020 dari hasil pengawasan penyiapan sekolah tatap muka diperoleh data angka putus sekolah mencapai 119 kasus, yang wilayahnya meliputi Kabupaten Bima, Sumbawa Barat, Dompu, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, kota Mataram, Kota Bengkulu, Seluma, Wonogiri, Jepara, dan kabupaten Bandung.

Kedua, siswa putus sekolah karena bekerja. Sejumlah siswa SMK dan SMP terpaksa bekerja karena orangtua terdampak secara ekonomi selama pandemi sehingga anak harus membantu ekonomi keluarga.

Ada satu siswa SMPN di Cimahi bekerja sebagai tukang bangunan demi membantu ekonomi keluarganya. Ada 1 siswa di Jakarta yang bekerja di percetakan membantu usaha orangtuanya karena sudah tidak memiliki karyawan sejak pandemi dan sepinya orderan cetakan.

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Menunggak SPP, Gim Online dan Meninggal Dunia

Ketiga, siswa putus sekolah karena menunggak SPP selama berbulan-bulan. Kasus menunggaknya iuran SPP yang mengadu ke KPAI jumlahnya cukup tinggi, terhitung mulai Maret 2020 - Februari 2021 ada 34 kasus. Dari 34 kasus tersebut, tiga diantaranya berasal dari sekolah yang sama. Hampir 90 persen kasus berasal dari sekolah swasta dan 75 persen kasus berada dari jenjang SMA/SMK.

Penunggak sekolah terjadi karena dampak pandemi di mana ekonomi keluarga dari anak-anak tersebut terdampak secara signifikan. Bagi mereka, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit, sehingga bayar SPP yang dikorbankan. Rata-rata yang mengadu sudah tidak membayar SPP 6-11 bulan, faktor ekonomi keluarga yang terpuruk selama pandemi menjadi penyebab utama.

Pihak sekolah swasta yang juga turut terdampak dari penunggakan tersebut, umumnya melayangkan surat tagihan kepada orangtua siswa dan memberikan syarat harus membayar dengan mengangsur. Namun, karena memang tidak ada uang untuk membayar sama sekali, maka banyak orangtua memutuskan mengeluarkan anaknya dari sekolah.

Bahkan ada pengaduan dari Pekanbaru yang ketiga anaknya di sekolah swasta yang sama sudah tidak dapat mengakses pembelajaran daring. Sudah dikeluarkan dari grup WhatsApp kelasnya dan salah satu anak akan ujian kelulusan sebentar lagi. Kasus ini dalam proses penanganan oleh KPAI, pihak sekolah dan Dinas Pendidikan kota Pekanbaru sudah dimintai klarifikasi. Tahapan selanjutnya adalah mediasi demi pemenuhan ha katas pendidikan ketiga anak tersebut.

“Beberapa sekolah memang melakukan penahanan ijasah anak yang lulus tahun 2020 lalu karena belum melunasi pembayaran SPP, ada juga yang tidak dikeluarkan tetapi tidak diberi akses PJJ dan bahkan Try Out (TO) karena sang anak akan ujian kelulusan sebentar lagi, dan yang parah sekolahnya mengeluarkan anak tersebut. Kasus-kasus ini berasal dari berbagai wilayah seperti Jakarta, Bandar Lampung, Makasar, Denpasar, Pekanbaru, kota Tangerang Selatan, Cirebon dll,” pungkas Retno.

Keempat, Kecanduan game online

Saat pengawasan di kota Cimahi, KPAI mendapatkan data bahwa ada 2 anak kelas 7 SMP yang berhenti sekolah karena kecanduan game online, satu diantaranya berhenti sementara (cuti) selama 1 tahun untuk proses pemulihan secara psikologi.

KIsah dari para guru di beberapa daerah juga menunjukkan fakta yang mengejutkan, bahwa anak-anak yang pagi hari tidak muncul di PJJ online ternyata masih tidur karena main game online hingga menjelang subuh.

PJJ secara online yang mensyaratkan alat daring dan kuota internet ternyata berdampak pada anak-anak kecanduan “game online”. Bisa saja hal ini dikarena pengawasan orangtua yang lemah dan dapat juga karena upaya anak mengalihkan kejenuhan selama pandemic yang mengharuskannya berada di rumah saja. Tidak ada pengalihan aktivitas dari menggunakan gadget ke aktivitas lain yang dapat dilakukan bersama-sama anggota keluarga lainnya. Kemungkinan besar, anak-anak yang mengalami kecanduan gam online selama BDR (Belajar Dari rumah) jumlah meningkat selama pandemic. Jika di rata-rata di setiap kabupaten/kota ada minimal 2 kasus saja, maka total di seluruh Indonesia bisa jadi ada seribuan anak atau lebih mengalami kecanduan gae online.

Kelima, Siswa Meninggal Dunia

Hasil pemantauan kasus siswa putus sekolah karena meninggal dunia terjadi di salah satu SMAN di Kabupaten Bima karena terseret arus ketika bencana banjir Januari lalu, dan satu lagi berasal dari salah satu SMK Swasta di Jakarta yang meninggal karena kecelakaan motor. Jadi secara data KPAI, ada 2 siswa yang meninggal pada semester genap tahun ajaran 2020/2021.

 

3 dari 3 halaman

Rekomendasi KPAI

KPAI merekomendasikan negara harus hadir untuk mencegah anak-anak putus sekolah selama pandemi karena masalah ekonomi atau karena ketiadaan alat daring. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus segera melakukan pemetaan peserta didik yang putus sekolah beserta alasannya.

Hasil pemetaan dapat digunakan sebagai intervensi pencegahan oleh Negara. Hak atas pendidikan adalah hak dasar yang wajib di penuhi Negara dalam keadaan apapun.

Faktor yang menyebabkan peserta didik berhenti sekolah karena menikah, bekerja dan menunggak SPP, umumnya di sebabkan oleh faktor kesulitan ekonomi dan faktor kesulitan alat daring.

Oleh karena itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus membantu kelompok rentan ini, yaitu anak-anak dari keluar miskin yang sangat berpotensi kuat untuk putus sekolah.

Selain itu, faktor yang menyebabkan peserta didik berhenti sekolah karena kecanduan gim online, tentu saja sangatlah bergantung pada peran keluarga. Para orangtua harus melakukan pendampingan, edukasi maupun pengawasan kepada anak-anaknya selama BDR.

Orangtua harus menentukan aturan penggunaan gadget terhadap anak-anaknya dengan memberikan alasan yang tepat dan dapat dipahami anak-anaknya.

KPAI juga meminta agar Dinas Pendidikan di berbagai daerah harus melakukan pembinaan dan sanksi tegas kepada sekolah-sekolah yang tidak memberikan akses PJJ daring dan bahkan mengeluarkan peserta didiknya karena menunggak SPP.

Pemerintah Daerah juga wajib membantu sekolah yang anak-anaknya mayoritas dari keluarga tidak mampu, sehingga para gurunya juga tetap mendapatkan gaji meskipun para muridnya mayoritas menunggak SPP.

Anak-anak dari keluarga miskin adalah kelompok yang paling terdampak selama pandemi, termasuk pemenuhan hak atas pendidikannya.