Liputan6.com, Pekanbaru - Mantan Kepala Kejari Indragiri Hulu Hayin Suhikto divonis 5 tahun penjara di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru. Majelis hakim menyatakan jaksa itu terbukti memeras puluhan kepala sekolah menengah pertama di kabupaten tersebut.
Vonis kasus jaksa peras kepala sekolah ini lebih tinggi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung Eliksander Siagian. Sebelumnya, Hayin dituntut 3 tahun penjara oleh JPU.
Advertisement
Baca Juga
Ketua Majelis Hakim Saut Maruli Tua Pasaribu menyatakan Hayin terbukti melanggar Pasal 23 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Menyatakan terdakwa Hayin Suhikto terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Menghukum terdakwa dengan pidana 5 tahun penjara, dipotong masa tahanan," ujar Saut, Selasa petang, 16 Maret 2021.
Selain penjara, majelis hakim juga mewajibkan Hayin membayar denda sebesar Rp200 juta. Denda itu dapat diganti dengan hukuman kurungan badan selama 3 bulan.
Selain Hayin, majelis hakim juga menghukum terdakwa lainnya, Ostar Alpansari. Mantan Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Indragiri Hulu itu bersama Rionald Febri Rinaldo mantan Kasubsi Barang Rampasan di Kejari tersebut divonis 4 tahun penjara dan denda Rp300 juta atau subsider 3 bulan kurungan badan.
Hukuman terhadap Ostar dan Rionald juga lebih tinggi dari tuntutan JPU. Sebelumnya, kedua terdakwa dituntut 2 tahun penjara dan membayar denda masing-masing Rp50 juta atau diganti kurungan badan selama 1 bulan.
Majelis hakim juga memerintahkan barang bukti Rp1,5 miliar hasil pemerasan terdakwa dikembalikan kepada guru melalui Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP di Kabupaten Indragiri Hulu, Eka Satria.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Berawal dari BOS
Sebelumnya, JPU mendakwa ketiganya menerima Rp1,5 miliar dari 61 kepala sekolah. Uang itu berkaitan dengan pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun 2016 hingga 2018 yang diusut para terdakwa ketika masih menjabat.
Pengusutan itu tak berjalan karena para terdakwa meminta uang agar kasus tidak dilanjutkan. Tindakan para terdakwa bertentangan dengan Pasal 5 angka 4 dan 6 Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Selanjutnya, Pasal 10 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 23 huruf d, e dan f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Berikutnya, Pasal 4 angka 1 dan 8 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Pasal 4 huruf d, Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-067/A/JA/07/2007 tanggal 12 Juli 2007 perihal Kode Etik Perilaku Jaksa, Peraturan Jaksa Agung Nomor 006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI.
Terdakwa juga melanggar Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-039/A/JA/10/2010 tanggal 29 Oktober 2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus.
Perbuatan terdakwa juga bertentangan dengan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor : B-845/F/Fjp/05/2018 tanggal 04 Mei 2018 perihal Petunjuk Teknis Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus yang Berkualitas.
Advertisement