Liputan6.com, Bone - Rumah Adat Kerajaan Bone atau Saoraja atau Bola Soba yang berada di Jalan Latenritatta, Kecamatan Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan dilalap si jago merah pada Sabtu (20/3/2021) sekitar pukul 04.00 Wita. Butuh waktu sedikitnya 2 jam lamanya untuk memastikan seluruh api yang menyebar dengan cepat di rumah panggung itu padam dengan sempurna.
"Sebenarnya api berhasil kita kuasai dalam waktu 30 menit, tapi kan ada proses pendinginan yaitu untuk memastikan seluruh bara tak ada lagi yang menyala," kata Kabid Pencegahan Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bone, Akbar kepada Liputan6.com, Sabtu (20/3/2021) pagi.
Advertisement
Baca Juga
Akbar menjelaskan sedikitnya enam unit mobil pemadam kebakaran diterjunkan untuk memadamkan api yang melalap Bola Soba. Selain itu 70 personel Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bone juga dikerahkan untuk berjibaku memadamkan api.
"6 unit mobil Damkar, 70 personel," sebutnya.
Hampir seluruh bagian rumah adat Kerajaan Bone itu habis dilalap si jago merah. Akbar menyebutkan yang tersisa dengan utuh pasca kebakaran hanyalah bagian tiang rumah saja serta sisi depan yang kayunya berasal daru kayu tempo dulu.
"Tiangnya masih untuh karena kayunya kan kayu tempo dulu jadi kuat," dia berucap.
Penyebab kebakaran pun hingga kini belum diketahui pasti."Kalau soal penyebab biar nanti polisi yang selidiki," Akbar memungkasi.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Sejarah Bola Soba
Disadur dari laman Dinas Kebudayaan Kabupaten Bone, Saoraja atau Bola Soba dalam bahasa Indonesia berarti Rumah Besar atau Rumah Persahabatan yang merupakan salah satu peninggalan sejarah kerajaan Bone dimasa lalu. Bangunan rumah panggung yang sarat dengan nilai-nilai sejarah ini masih berdiri kukuh terletak Jalan Latenritatta, Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Sepintas, tak ada yang istimewa dengan bangunan yang berdiri di atas lahan seluas hampir setengah hektare tersebut. Dari luar, tampak hanya sekadar bangunan rumah panggung tradisional ala masyarakat bugis Bone. Hanya ada papan nama di depan bangunan serta gapura yang mempertegas identitas bangunan tersebut.
Memasuki bagian dalam bangunan, tak ada benda-benda monumental yang bisa menjelaskan secara hirarki dan historis bangunan tersebut. Hanya beberapa perlengkapan properti kesenian, seperti kostum tari dan gong. Ya, saban hari bangunan Saoraja atau Bolasoba ini menjadi tempat pelatihan sanggar-sanggar seni yang ada di kota Bumi Arung Palakka. Selain itu, di bagian lain ruangan terdapat Langkana atau singgasana raja, bangkai meriam tua, gambar La Tenritatta Arung Palakka Raja Bone ke-15, silsilah dan susunan raja-raja Bone, serta beberapa benda-benda tertentu seperti guci dan dupa yang sengaja disimpan pengunjung sebagai bentuk melepas nazar atau dalam bahasa Bugis mappaleppe’ tinja’.
Saoraja dibangun pada masa pemerintahan Raja Bone ke-31, La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Bandung (1895-1905) . Awalnya, diperuntukkan sebagai kediaman raja pada waktu itu sehingga disebut Saoraja. Selanjutnya, ditempati oleh putra La Pawawoi Karaeng Sigeri yang bernama Baso Pagilingi Abdul Hamid yang kemudian diangkat menjadi Petta Ponggawae (Panglima Perang) Kerajaan Bone oleh raja dengan persetujuan Ade’ Pitue.
Saat ditempati oleh Petta Ponggawae, maka bubungan rumah atau timpa’ laja diubah menjadi empat singkap atau susun setelah sebelumnya lima singkap. Sebab, dalam tata kehidupan masyarakat Bugis, lima singkap timpa’ laja dalam bangunan rumah diperuntukkan bagi Rumah Raja dan timpa’ laja dengan empat singkap untuk putra raja.
Seiring dengan ekspansi Belanda yang bermaksud menguasai Nusantara, termasuk Kerajaan Bone pada masa itu, maka Saoraja Petta Ponggawae ini pun jatuh ke tangan Belanda dan dijadikan sebagai markas tentara. Tahun 1912, difungsikan sebagai penginapan dan untuk menjamu tamu Belanda. Dari sinilah awal penamaan Bolasoba yang berarti rumah persahabatan atau dalam bahasa Bugis Sao Madduppa to Pole.
Selanjutnya, Bola Soba’ juga pernah difungsikan sebagai istana sementara Raja Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-32 La Mappanyukki Sultan Ibrahim MatinroE ri Gowa, 1931-1946,, menjadi markas Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), menjadi asrama TNI pada tahun 1957 hingga kemudian dijadikan sebagai bangunan peninggalan purbakala sampai saat ini.
Saoraja telah mengalami tiga kali pemindahan lokasi. Lokasi aslinya, terletak di Jalan Petta Ponggawae Watampone yang saat ini menjadi lokasi rumah jabatan bupati Bone di Jalan Petta Ponggawae. Selanjutnya, dipindahkan ke Jalan Veteran Watampone dan terakhir di Jalan Latenritatta Watampone sejak tahun 1978, yang peresmiannya dilakukan pada 14 April 1982 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1978-1983) saat itu, Prof Dr. Daoed Joesoef.
Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Saoraja didesain untuk mendekati bangunan aslinya. Namun demikian, beberapa bagian juga mengalami perubahan, baik perbedaan bahan maupun ukurannya. Secara umum, Saoraja yang memiliki panjang 39,45 meter ini terdiri dari empat bagian utama, yakni lego-lego (teras) sepanjang 5,60 meter, rumah induk (21 meter), lari-larian/selasar penghubung rumah induk dengan bagian belakang (8,55 meter) serta bagian belakang yang diperuntukkan sebagai ruang dapur (4,30 meter).
Selanjutnya, pada bagian dinding dan tamping, dilengkapi dengan ukiran pola daun dan kembang sebagai ciri khas kesenian Islam dengan perpaduan model swastika yaitu sebuah simbol religius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks.
Sejauh ini, Saoraja Bone yang juga menjadi objek wisata sejarah ini banyak dikunjungi oleh wisatawan, tak hanya dari dalam negeri, bahkan wisatawan macanegara . Beberapa di antaranya merupakan warga Bone yang merantau dan mengunjungi Saoraja atau Bola Soba untuk melepas nazar dan meninggalkan benda-benda tertentu sebagai bagian dari pelepasan nazar. Bahkan, beberapa di antara mereka kerap mengaku masih keturunan Raja Bone ke-32 La Mappanyukki.
Advertisement