Liputan6.com, Yogyakarta- Mata adalah jendela jiwa. Syam Terrajana, pelukis yang menggelar pameran lukisan tunggal di RuangDalam Art House Yogyakarta meyakini itu. Saking percayanya, Syam Terrajana sampai tidak berani melukis mata.
Tidak ada satu pun sorot mata yang memancar dari lima belas lukisan yang dipajang di galeri. Sosok-sosok di dalam lukisan itu matanya bolong, pandangannya kosong. Tidak ada emosi yang bisa digali dari raut wajah sosok-sosok dalam lukisannya.
“Takut dengan sorot mata jadi saya pilih untuk tidak membuat kesan lewat mata,” ujarnya di sela-sela pameran lukisanyang berlangsung pada Maret 2021.
Advertisement
Namun, tidak lantas kebiasaan Syam Terrajana ini mengurangi nilai dan pesan yang tersirat di dalam karya-karyanya. Justru lukisan dengan mata yang bolong membuka ruang tafsir yang begitu beragam.
Baca Juga
Lukisan berjudul Adegan No 6, misalnya, yang menggambarkan sosok perempuan dengan mata bolong berhadapan sedang menidurkan bayinya. Lalu, ada seorang laki-laki bertelanjang dada dan bercelana pendek mengamati dari sudut ruangan.
Jika dicermati, sekalipun matanya lubang dan tidak memiliki sorot, si perempuan menjadi representasi perempuan Belanda di masa kolonial.
Mengapa? Warna biru tua yang berada di sekitar area mata perempuan bisa menjadi identifikasi perempuan itu bermata biru. Mata biru biasanya dimiliki oleh orang-orang dari ras Arya. Demikian pula si bayi yang bagian mata dan bibirnya berwarna hijau.
Sementara, laki-laki bertelanjang dada itu pas jika menandakan pribumi. Sudah menjadi kebiasaan laki-laki pribumi, apalagi dari golongan rakyat jelata, untuk tidak berpenampilan necis pada masa kolonial.
Meskipun demikian, setiap pengunjung yang datang dan melihat lukisan ini bebas menafsirkan kondisi yang sedang terjadi di dalam lukisan. Apakah tokoh di dalam lukisan itu saling mencintai, mereka saling membenci, atau sebenarnya kedua sosok itu justru tidak ada hubungannya sama sekali?
Ini sangat masuk akal karena pameran lukisan tunggal bertajuk Pada Ruang yang Bercerita menjadi cara Syam Terrajana merespons sejarah. Sudah tidak terhitung literatur berbau sejarah yang dilahapnya sejak masih kecil.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Merespons Budaya Papua
Cara Syam Terrajana merespons sejarah tidak hanya berhenti pada masa kolonial. Syam Terrajana yang merupakan jurnalis di sebuah media massa Papua ini pun juga mengangkat fenomena mop dalam lukisannya.
Mop menjadi cara cerdas bergurau ala Papua dengan guyonan satire, getir, sekaligus menggelitik. Candaan ini tidak bertujuan menyinggung orang lain, melainkan menertawakan kondisi diri sendiri.
“Menurut saya bercanda seperti ini cerdas, di tengah kehidupan mereka yang penuh keterbatasan, tetapi masih bisa tertawa, bahkan menertawakan dirinya sendiri,” kata Syam Terrajana.
Dalam karyanya ia menampilkan lukisan sosok perempuan yang sedang berdiri dengan pemilihan warna-warna yang fancy, dan tidak lupa ada simbol kardus mi instan di dalam lukisan itu. Mi instan bisa menjadi barang mewah di pedalaman Papua. Syam Terrajana benar-benar ingin menggambarkan suasana Papua melalui lukisan yang diberi judul Mop No. 1 ini.
Walaupun seluruh lukisannya bermata bolong dan tatapannya kosong, Syam Terrajana ternyata punya cara menggambarkan emosi sosok-sosok di dalam lukisannya. Setiap lukisan yang dipamerkan memiliki benang merah, yakni sebuah coretan warna yang seolah tidak sinkron dengan lukisan yang ditampilkan.
Goresan warna yang mencolok di bagian-bagian tertentu sosok dalam lukisannya itu justru menguatkan pesan dan emosi yang ingin disampaikan sosok-sosok itu. Ada kekuatan lewat distorsi warna yang dimunculkan. Lagi-lagi, pengunjung bebas menafsirkan emosi apa yang ingin disampaikan itu.
Menurut kurator Sujud Dartanto, Syam Terrajana adalah seniman yang membicarakan sejarah. Ia sedang menggali sejarah dan budaya Indonesia melalui pameran tunggalnya kali ini.
Bakat besar Syam Terrajana tidak hanya dilihat dari seni rupa, melainkan caranya menciptakan narasi yang puitis dan indah.
“Karya-karya Syam Terrajana ini kental sekali dengan identitas ketimuran, seperti yang diketahui dia besar dan tumbuh di Gorontalo,” ucapnya.
Advertisement