Liputan6.com, Jambi - Hari sudah gulita, Berseh mulai beristirahat di Sudung, pondok tanpa dinding, yang didirikan di antara kebun sawit. Di Sudung itulah Berseh dan keluarga tinggal bersama puluhan Orang Rimba lainnya dari kelompok Sako Ninik Tuo, Makekal Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi.
"Kalau sudah malam banyak nyamuk, katonyo nyamuk malaria," kata Berseh kepada Liputan6.com ketika ditemui di kediamannya, akhir Desember 2020.
Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) dahulu mereka tidak mengenal nyamuk malaria yang membawa infeksi penyakit menular itu. Dalam pengetahuannya Berseh bercerita, demam dengan gejala seperti malaria itu mereka sebut dengan domom kuro.
Advertisement
Berseh mengetahui jenis penyakit malaria baru-baru ini. Lalu Berseh mengenangnya, dan pikiran kalut masih berkelindan di benak Berseh. Kala itu anaknya yang masih kecil tiba-tiba badannya panas dan menggigil.
Baca Juga
Dia bingung penyakit apa yang menyerang anaknya itu. Namun beberapa hari kemudian ketika dirujuk ke Puskesmas terdekat, tak disangka anaknya terserang malaria, sebuah penyakit infeksi menular yang menyebar lewat gigitan nyamuk.
"Pernah anak-anak di sini sakit, kami dak tahu apo itu penyakit malaria, kami tahunyo demam kuro," ujar Berseh.
Tak hanya di kelompok Berseh, sakit secara beruntun anak-anak Orang Rimba pernah menimpa kelompok Orang Rimba di Merangin. Kesedihan itu juga dirasakan Tumenggung Silitai--pimpinan kelompok orang rimba di Simpang Bedaro, Makekal Ulu, Kabupaten Merangin. Sakit beruntun itu menimpa 70 jiwa Orang Rimba yang terjadi pada 2020 lalu.
Sakit beruntun itu menimpa dua orang cucu perempuan dari Tumenggung Silitai. Cucunya itu terpaksa dirujuk ke rumah sakit di Kota Bangko Merangin.
Kedua cucunya yang masih berusia di bawah satu tahun itu harus mendapat perawatan intensif dan transfusi darah akibat demam tinggi yang menimpanya.
"Kata petugas di rumah sakit keno malaria," kata Tumenggung Siliati.
Penyakit infeksi malaria masih menjadi momok dan sulit dihindari oleh kelompok Orang Rimba. Sejak satu dekade terakhir hutan semakin masif beralih fungsi, rombongan Orang Rimba di kelompok Berseh menghadapi banyak masalah kesehatan.
Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi dan Lembaga Bio Molekuler (LBM) Eijkman pada tahun 2015 pernah melakukan studi kesehatan Orang Rimba. Pada studi itu tim mengambil sampel darah Orang Rimba di 3 kabupaten, yakni Sarolangun, Tebo, dan Batanghari.
Hasil studi pada Orang Rimba itu menunjukan 24,26 persen yang terkena malaria. Prevalensi malaria di kelompok Orang Rimba masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan data umum prevalensi malaria di Provinsi Jambi.
Provinsi Jambi hingga saat ini belum eliminasi penyakit malaria. Penyebabnya masih banyak ditemukan kasus keterjangkitan malaria di beberapa daerah kabupaten, yang terdapat populasi Orang Rimba.
Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jambi menyebutkan, terdapat 4 kabupaten yang belum eliminasi malaria. Di antaranya adalah; Batanghari, Tebo, Sarolangun, dan Merangin.
Dari keempat daerah yang belum eliminasi malaria ini pada tahun 2020 ditemukan positif malaria mencapai 65 kasus. Dari kasus positif malaria ini, tersebar di Sarolangun (25 kasus), Batanghari (15 kasus), Tebo (13 kasus), dan Merangin (12 kasus).
Jumlah kasus positif malaria tahun 2020 ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya ditemukan 60 kasus. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, Eva Susanti mengatakan, terdapat berbagai strategi yang akan dilakukan untuk pengendalian guna percepatan eliminasi malaria.
Pengendalian malaria disebutkan Eva, terdiri dari pencegahan, penemuan, dan pengobatan kasus secara cepat dan tepat. Disamping itu juga dilakukan survailans dan survailans migrasi.
"Kita lakukan penyelidikan epidemiologi 1-2-5 dan pengamatan daerah fokus. Kita juga kerjasama dengan Eijkman dalam pemetaan reseptif dan beberapa penelitian tentang malaria di populasi khusus (Orang Rimba)," kata Eva Susanti.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Hutan Hilang Penyakit Datang
Orang rimba merupakan komunitas adat terpencil yang membangun kehidupannya di dalam kawasan hutan. Tapi kini orang rimba hidup tanpa rimba. Hilangnya hutan telah mengubah kehidupannya. Mereka kini sebagian besar hidup di kebun sawitdan karet di pinggir kawasan hutan.
Bahkan hutan penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, yang dulunya menjadi tempat hidup Orang Rimba, telah habis dan beralih fungsi menjadi hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit.
Hasil studi KKI Warsi, luas kawasan hutan di Jambi tersisa 900 ribu hektare atau 17 persen dari total luasan provinsi ini. Kehidupan Orang Rimba yang selama ini bergantung pada hutan semakin terdesak oleh konglomerasi.
Kini alih fungsi hutan yang begitu masif menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman indsutri membuat kelompok orang rimba semakin kesulitan. Lingkungan mereka tercemar, beragam penyakit pun menyerang, salah satunya malaria.
Baru-baru ini Lembaga Bio Molekuler Eijkman meneliti populasi nyamuk di kelompok Orang Rimba di klaster wilayah Makekal Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi. Peneltian nyamuk (anopheles) itu menggunakan metode kelambu yang dipasang dobel.
Proses penangkapan nyamuk itu dilakukan mulai pukul 19.00 WIB. Setiap satu jam sekali, tim peneliti mengecek kelambu yang ditiduri oleh Orang Rimba. Ketika nyamuk masuk dibagian kelambu luar, kemudian ditangkap menggunakan penyedot aspirator.
Beberapa jam kemudian berselang setelah kelambu dipasang, tim peneliti menemukan nyamuk anopheles. Asisten Peneliti LBM Eijkman Dendi Hadi Permana mengatakan, nyamuk jenis ini bisa terbang dengan jangkauan jauh mencapai 2 kilometer.
"Jenisnya sudah ketahuan nyamuk anopheles ini munculnya jam 8 malam ke atas. Nyamuk ini morfologinya cenderung lebih ramping," kata Dendi. Dia lalu menunjukan dua nyamuk anopheles yang berhasil ditangkap.
Secara teoritis kata Dendi, hilangnya kawasan hutan turut mempengaruhi populasi nyamuk. Nyamuk yang tadinya hidup di dalam kawasan hutan dan menggigit hewan, namun ketika hutan hilang, nyamuk akan keluar membawa penyakit dan menggigit manusia.
"Total bulan dari September 2020 lalu dari 300 nyamuk yang ditangkap, di antaranya 10 persen nyamuk anopheles," kata Dendi.
Semakin hilangnya kawasan hutan di Jambi berdampak buruk pada penyebaran penyakin zoonotic malaria. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 menemukan kasus baru Plasmodium knowlesi pada manusia di Jambi.
Penelitian itu dilakukan di Kabupaten Bungo, Jambi, dengan pertimbangan adanya indikasi zoonotic malaria yang ditandai dengan adanya hospes reservoar (monyet ekor panjang atau monyet ekor babi). Lokasi penelitian itu juga bersinggungan dengan hutan.
Dalam sebuah Jurnal Biotek Medisiana Indonesia (2017) menyebutkan bahwa Plasmodium knowlesi secara alamiah hidup pada primate non human jenis Macaca (monyet) yaitu: monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), monyet ekor pendek (M. nemestrina), dan langur (Philobtes melaloposh).
Pada penelitian tersebut, dari 38 monyet positif zoonotic malaria, ternyata didapatkan enam (15,8 persen) terinfeksi P.knowlesi baik secara tunggal (monoinfeksi) ataupun campuran. Lima diantara enam (83,3 persen) monyet yang terinfeksi P.knowlesi adalah monyet ekor panjang.
"Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa selain satu kasus baru P.knowlesi pada manusia, juga ditemukan enam kasus P.knowlesi pada monyet di Jambi. Kasus P.klownesi pertama pada manusia ini, didapat secara lokal (kasus indigenous) dan ini kasus pertama yang dilaporkan dari provinsi tersebut," tulis Ervi dkk dalam sebuah Jurnal Biotek Medisiana Indonesia (2017).
Â
Advertisement
Tanaman Obat Hilang
Dulu saat Orang Rimba terkena malaria atau yang kerap disebut domom kuro, mereka tak perlu risau. Biasanya mereka selalu diobati dengan ramuan dedaunan yang berasal dari dalam hutan. Orang Rimba akan masuk ke hutan untuk mencari daun jerampang, berumbung, dan daun sungke.
Dalam sistem tradisional mereka, dedauan ini bisa mengobati demam panas. Namun kondisi sekarang tanaman obat tersebut sudah sulit didapat.
Selain itu, Orang Rimba juga punya tradisi besale atau upacara untuk menghormati nenek moyang supaya mereka mendapatkan keberkahan dan dijauhkan dari malapetaka. Namun, belakangan ini ritual besale sudah jarang mereka lakukan karena hutan yang semakin hilang.
Pun saat anak-anak mereka sakit, Orang Rimba punya penangkal berupa ramuan obat tradisional yang berasal dari hutan. Namun kini, daun tersebut sudah susah dicari dan tak pernah lagi digunakan untuk mengobati saat anak-anak mereka sakit.
"Dulu yang namonyo di rimbo segalo ado, kalau anak sakit diobati pakai tumbuhan obat, sekarang iko lah dak ado lagi," kata Ngandun, tetua adat Orang Rimba di kelompok Sungai Bulian, Kecamatan Tabir Timur, Kabupaten Merangin, Jambi.
Antropolog dari KKI Warsi Robert Aritonang menjelaksan, dalam kehidupan Orang Rimba banyak ditemukan tradisi yang kaitannya dengan ritual dan ramuan obat. Berdasarkan pendatan yang pernah dilakukan, untuk obat-obatan ada 100 jenis ramuan obat.
Tak hanya ramuan obat tradisional. Orang Rimba dalam menangkal penyakit juga beragam ritual, salah satunya besale. "Mereka (Orang Rimba) kaya akan pengetahuan mereka sendiri dalam pengobatan, termasuk cara menghindar dari wabah penyakit mereka sudah ada caranya," kata Robert dalam kesempatan sebelumnya.
Fasilitator Kesehatan KKI Warsi Maria Kristiana mengatakan, Orang Rimba percaya memiliki keahlian dewa obat. Orang Rimba masih memiliki budaya meramu obat tradisional dedaunan dan akar obat-obat yang berasal dari hutan. Selain itu, dalam kosmologi Orang Rimba, mereka memiliki ritual pengobatan untuk menyembuhkan penyakit berat.
Namun hilangnya hutan semakin mengikis kebudayaan Orang Rimba, baik itu meramu obat dan menjalankan ritual.
"Sumber obat di hutan semakin berkurang, kalaupun ada mereka harus jalan jauh ke lokasi pedalaman," ujar Maria.
Kondisi kerusakan lingkungan turut memengaruhi kesehatan Orang Rimba. Dia mencontohkan soal kondisi sungai yang menjadi sumber air dan ikan di Sungai Terab, kotor dan tercemar limbah perusahaan.
Orang Rimba mengkonsumsi ikan yang hidup di liar di sungai. Namun karena kondisi sungai yang tercemar itu ikan yang dikonsumsi semakin jarang dan berkurang.
Begitu pula dengan konsumsi air minum yang berasal dari sungai. Orang Rimba langsung mengkonsumsi air sungai, tanpa harus dimasak terlebih dahulu.
"Kebanyakan dari mereka air dari sungai langsung diminum tanpa direbus," ujar Maria.
Â
Jejak Orang Rimba Kini Tanpa Rimba
Orang Rimba merupakan suku asli Jambi. Kehidupan mereka secara berkelompok di hulu-hulu sungai. Orang Rimba sampai sekarang masih menganut hidup semi nomadik. Mereka akan berpindah tempat di hutan ketika ada kematian anggota keluarganya atau yang dikenal dengan istilah melangun.
Bagi Orang Rimba, hutan memiliki multi fungsi dalam menunjang kehidupan mereka. Hutan menjadi rumah tempat mereka tinggal, dan menyediakan sumber makanan. Bahkan keberadaan hutan juga menjadi medium untuk menghubungkan dewa.
Seiring hilangnya hutan telah mengubah kehidupan mereka. Menurut Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, sebuah lembaga nirlaba yang fokus terhadap isu orang rimba menyebut, keberadaan Orang Rimba kini semakin terdesak.
Sumber nutrisi yang biasanya mudah didapatkan di hutan sekarang telah berkurang akibat alih fungsi hutan yang tak terbendung itu. Akibatnya, Orang Rimba kesulitan mendapat asupan makanan berupa protein dan karbo hidrat. Hilangnya hutan juga berimplikasi pada angka kesakitan Orang Rimba.
Orang Rimba di Jambi sering juga disebut sebagai Suku Anak Dalam (SAD). Sebutan orang rimba menjadi SAD ini disematkan oleh pemerintah mulai tahun 1970.
Survei terbaru yang dilakukan KKI Warsi menyebutkan, jumlah populasi orang rimba mencapai 6.000 jiwa. Jumlah tersebut tersebar di beberapa kabupaten di wilayah Provinsi Jambi.
Semakin berkurangnya luas kawasan hutan tersebut, juga membuat orang rimba tergusur. Orang Rimba kerap sulit mengakses akses kesehatan dan dibayangi kemiskinan.
Menurut Direktur KKI Warsi Rudi Syaf, dari jumlah populasi orang rimba saat ini sekitar 99 persen hidup dalam kondisi miskin. Selain tinggal di sekitar kawasan hutan, orang rimba juga hidup secara semi nomaden di sepanjang jalan lintas tengah Sumatra, Jambi.
"Mau pakai ukuran atau paramater apapun, orang rimba itu adalah kelompok masyarakat yang paling miskin dan rentan kesehatannya," kata Rudi Syaf dalam kesempatan sebelumnya.
Â
Advertisement