Sukses

Viral, Warga Nonmuslim di Aceh Ditegur agar Pakai Penutup Kepala, Bagaimana Aturan Sebenarnya?

Kebanyakan menganggap pemberlakuan penutup kepala bagi perempuan secara umum merupakan bentuk iktikad baik warga nonmuslim dalam menghormati kearifan lokal di Aceh.

Liputan6.com, Aceh - Oknum petugas lembaga pengawasan pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh menegur serta menasihati warga nonmuslim agar memakai penutup kepala alias jilbab. Ini tertangkap dalam kejadian yang menimpa sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang sedang bertamasya serta memancing di lokasi wisata Lhokseudu, Kabupaten Aceh Besar, Minggu (4/4/2021).

Dalam video yang dikirim kepada Liputan6.com, tampak sejumlah petugas yang mengenakan seragam Wilayatul Hisbah (WH) menghampiri keluarga yang sedang meriung di bawah gazebo sebuah kafe. Salah seorang pria berbaju warna khaki maju ke depan dan mulai melontarkan pertanyaan.

"Mau tanya, bapak muslim, enggak?" aju lelaki itu.

Lelaki itu menjawab bahwa dirinya bukan seorang muslim. Di dalam video juga tampak seorang anak perempuan dan suara seorang perempuan yang menandakan bahwa lelaki itu datang bersama istri dan anaknya.

Petugas mulai menjelaskan bahwa di Aceh berlaku syariat lantas meminta istri lelaki tersebut agar menghargai kearifan lokal yang berlaku di provinsi tersebut. Diberi pernyataan seperti itu, lelaki itu sempat menjawab bahwa dirinya juga dapat disebut sebagai orang Aceh karena ia dan keluarga telah lama menetap di provinsi tersebut, tetapi, soal kewajiban berhijab atau menutup kepala ia agak ragu.

Keluarga ini tinggal di kawasan Peunayong, Banda Aceh, sebuah daerah yang sejarahnya bertaut sampai beberapa abad yang lalu. Dikenal sebagai Pecinan Aceh, kawasan ini sempat dijuluki Chinezen Kamp oleh Belanda.

Berdasarkan penjelasan petugas tersebut, penutup kepala adalah kewajiban bagi perempuan tanpa kecuali, sekalipun yang dikenakan bukan jilbab alias kerudung. Ketika dijelaskan bahwa hal tersebut tidak berlaku bagi perempuan nonmuslim, petugas itu lagi-lagi berdalih yang sedang diterapkan adalah kearifan lokal.

"Bukan pakai jilbab, kain sarung depan gini saja," imbuh petugas tersebut dalam debat kecil mereka.

Simak video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Qanun Terkait Jilbab

Kejadian ini diceritakan secara singkat oleh VV, istri lelaki tersebut. Ia mencatat bahwa kedatangan para petugas itu terjadi pada pukul 11.55 WIB.

"Setahu saya, ketentuan di Aceh, ketentuan berjilbab hanya diwajibkan bagi saudara-saudara kami yang Islam atau muslimah, sementara yang nonmuslim diimbau untuk menghargai saudara-saudara kami yang muslim dengan berpakaian yang sopan dengan tidak mempertontonkan aurat," tulis VV.

Sebelum beranjak, petugas itu sempat mengatakan bahwa tidak mengenakan jilbab bagi perempuan nonmuslim melanggar qanun. Pendapat seperti itu masih perlu dipertanyakan karena hingga saat ini, belum ada klausul di dalam qanun yang mewajibkan perempuan nonmuslim di Aceh berhijab ketika berada di luar.

Aturan lokal yang mengatur tentang cara berbusana di Aceh saat ini masih mengacu pada Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariah Islam di bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Hal ini juga dibenarkan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Elidar, tetapi, dia tidak berkenan memberi komentar tentang peristiwa yang terjadi di Lhokseudu dengan dalih hal tersebut bukan tugas pokok organisasinya (tupoksi).

"Di dalam qanun tidak diatur, kalau kita paksakan mereka pakai hijab, makin ribut lagi, seperti di Padang. Mereka punya hak sendiri, dia tidak diatur di dalam qanun, qanun hanya mengatur orang muslim," singkat Elidar, melalui telepon.

Aturan yang dimaksud terdapat pada Bab V tentang Penyelenggaraan Syi'ar Islam, pasal 13. Bunyinya, setiap orang Islam wajib berbusana islami. Kewenangan WH dalam mengawasi pelaksanaan qanun ini dijelaskan dalam Bab VI tentang Pengawasan, Penyidikan, dan Penuntutan, pasal 14. Tujuan pengawasan agar Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam, terlaksana.

Petugas WH memiliki wewenang menegur atau menasihati pelanggar qanun. Contohnya, muslimah yang berbusana islami, terutama, saat berada di luar. Klausul ini, sekali lagi, hanya berlaku untuk umat Islam perempuan alias tidak berlaku umum.

 

3 dari 3 halaman

Jangan Salah Kaprah

Liputan6.com belum mengklarifikasi kejadian ini kepada pihak berwenang. Namun, kasus-kasus yang serupa menuai pro dan kontra, kebanyakan menganggap pemberlakuan penutup kepala bagi perempuan secara umum merupakan bentuk iktikad baik warga nonmuslim dalam menghormati kearifan lokal di Aceh, sebaliknya, ada menilai hal tersebut intoleransi.

Sementara, Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul, menolak pendapat bahwa anjuran menghargai kearifan lokal di Serambi Makah berarti berbusana persis seperti warga muslim. Menghargai berarti cukup menunjukan iktikad baik dengan cara tidak berpakaian yang bisa mempertontonkan bagian-bagian sensitif alias berpakaian sopan.

"Selama koridor itu bisa dijaga, maka tidak ada hak petugas memaksa seperti itu," jawab dia, ditanya via sambungan telepon seluler, Senin (5/4/2021).

Toleransi di Aceh saat ini diklaim Syahrul sedang membaik. Ini mesti dijaga, sementara, sikap salah kaprah yang akan menjebak Aceh kembali ke dalam stigma intoleran seperti yang dilakukan petugas WH tersebut bisa menjadi boomerang, terutama bagi anak-anak Aceh yang sedang mengenyam pendidikan di luar.

"Bagaimana ketika anak Aceh yang dalam posisi minoritas di luar dipaksa mengenakan pakaian yang tidak islami?" ajunya.Â