Sukses

Ribuan Penganut Kejawen Cilacap Tak Bisa Mengikuti Ritual Punggahan Jelang Ramadan

Pandemi Covid-19 menyebabkan ritual punggahan hanya diikuti oleh kalangan terbatas

Liputan6.com, Cilacap - Punggahan atau disebut juga unggah-unggahan sudah menjadi tradisi penganut Kejawen, pelestari adat maupun penghayat kepercayaan menjelang bulan puasa atau Ramadan, di Banyumas, Cilacap dan sekitarnya.

Salah satu tradisi punggahan yang paling terkenal adalah punggahan di Panembahan Banokeling, Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Tiap tahun, belasan ribu anak putu (sebutan untuk keturunan Kiai Banokeling-red) mengikuti ritual ini.

Usia tradisi punggahan diyakini nyaris setua penyebaran agama Islam di wilayah ini. Kiai Banokeling sendiri, oleh beberapa sejarawan, diyakini adalah seorang tokoh penyebara agama Islam, yang masih memegang teguh adat dan tradisi Jawa.

Akan tetapi, pandemi Covid-19 mengubah segalanya. Acara yang melibatkan banyak orang dilarang. Akibatnya, ribuan anak putu yang beradal dari Kabupaten Cilacap dan daerah lainnya, tak bisa mengikuti melakukan ritual ini.

Tetua Adat Tradisi Anak Putu Kalikudi, Kunthang Sunardi mengatakan ATAP hanya mengirimkan enam orang perwakilan untuk mengikuti prosesi punggahan. Yakni tiga orang dari rumah ibadah Pasemuan Lor dan tiga orang dari Pasemuan Kidul. Mereka terdiri dari empat utusan kiai dan dua utusan pawestri.

“Sebenarnya kalau acaranya normal ya hari Rabu sudah Dandan. Kamis Wage sudah mulai berangkat punggahan. Jumat di sana, biasa seperti itu, ritual besar-besaran di Jatilawang. Nanti Sabtunya pulang,” katanya, Selasa (6/4/2021).

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Tak Ada Ritual Lampah

Menurut Kunthang, Pandemi Covid-19 menyebabkan ritual punggahan hanya diikuti oleh kalangan terbatas. Selain itu, sejumlah prosesi ritual punggahan juga ditiadakan.

Salah satu prosesi yang dihilangkan adalah ritual lampah atau jalan kaki dari pasemuan masing-masing anak putu.

“Karena ada utusan dari Penambahan Baokeling Jatilawang, disuruh hanya diwakili dua kiai dan satu pawestri. Kemudian lagannya (ube rampe) juga dibawa ke sana, karena dengan tiga orang, dinaikkan dengan mobil. Kemudian, ritual jalan kaki ditiadakan karena dikhawatirkan riskan,” dia menjelaskan.

Adapun ritual punggahan di Panembahan Banokeling, tetap dilakukan secara normal, meski dengan jumlah peserta yang sangat terbatas.

Dalam kondisi normal seribuan lebih penghayat kepercayaan dan penganut kejawen asal Cilacap melakukan prosesi lampah dan mengikuti ritual punggahan di Panembahan Banokeling.

Mereka berasal dari kelompok di Kalikudi, Adidara, Daun Lumbung, Wlahan Wetan, Pekuncen Kroya, dan sejumlah wilayah lain. Namun, tahun ini tiap pasemuan atau kelompok penghayat hanya mengirimkan tiga wakil untuk masing-masing pasemuan. Diperkirakan, wakil peserta punggahan Cilacap tahun ini tak sampai 20 orang.