Liputan6.com, Pekanbaru - Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung tengah mengusut dugaan intervensi terhadap proyek di unit layanan pengadaan (ULP) Provinsi Riau. Diduga ada oknum jaksa yang pernah bertugas di Kejati Riau menyalahgunakan wewenang dan meminta pejabat ULP untuk memenangkan perusahaan titipan.
Dugaan oknum jaksa nakal ini terjadi di empat ULP kabupaten dan satu lagi di ULP Pemerintah Provinsi Riau. Oknum jaksa diduga meminta succes fee antara 5 sampai 10 persen kepada perusahaan yang dimenangkan ULP.
Advertisement
Baca Juga
Adanya pengusutan ini menguap ke permukaan berdasarkan surat pemanggilan terhadap pejabat ULP di Kabupaten Siak. Pejabat di sana sudah diperiksa pada Jumat pekan lalu, kemudian menyusul empat ULP lainnya dalam pekan ini.
Berdasarkan surat panggilan yang dilihat wartawan, lima ULP itu selain Kabupaten Siak adalah ULP Kabupaten Bengkalis, ULP Kota Dumai, ULP Kabupaten Indragiri Hilir, dan ULP Pemerintah Provinsi Riau.
Panggilan untuk diklarifikasi itu berdasarkan surat yang dikeluarkan Jaksa Agung Muda Pengawasan. Surat itu adalah PRINT-43/H/Hjw/03/2021 tanggal 19 Maret 2021.
Surat tersebut menyebut ada laporan terhadap oknum jaksa berinisial HA yang saat ini bertugas di Nusa Tenggara Barat. HA ini sebelumnya bertugas di Pidana Khusus Kejati Riau.
Kepala Pusat Penerangan dan Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dikonfirmasi dari Pekanbaru belum bersedia memberi keterangan. Dikonfirmasi sejak Jumat pekan lalu oleh wartawan di Pekanbaru, dia tidak mengangkat teleponnya.
Pesan melalui WhatsApp juga sudah terkirim pada Jumat pekan lalu. Mantan Wakil Kejati Papua itu juga belum memberikan balasan meski sudah dikonfirmasi lagi pada Selasa siang, 13 April 2021.
Sementara itu, Asisten Intelijen Kejati Riau Raharjo Budi dikonfirmasi mengaku tidak mengetahui adanya pemanggilan terhadap tersebut.
"Kalaupun ada pemanggilan itu kami tidak berhak mengomentari, itu ranah Kejagung," tegas Raharjo.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Jaksa Pemeras
Adanya pengusutan ini menambah deretan jaksa nakal yang pernah bertugas di Riau. Pasalnya belum lama ini, Kejati Riau tercoreng karena adanya oknum jaksa memeras kepala sekolah di Kabupaten Indragiri Hulu.
Tak tanggung-tanggung, kasus itu bahkan melibatkan Kepala Kejari Indragiri Hulu kala itu, Hayin Suhikto. Nama ini sudah divonis 5 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Kasus ini juga melibatkan Kepala Seksi Pidana Khusus Kejati Indragiri Hulu saat itu, Ostar Alpansari dan Rionald Febri Rinaldo mantan Kasubsi Barang Rampasan di Kejari tersebut. Keduanya divonis 4 tahun penjara dan denda Rp300 juta atau subsider 3 bulan kurungan badan.
Ketiga terdakwa memeras kepala sekolah memakai tameng dana bantuan operasional sekolah (BOS). Terdakwa menerima laporan penyelewengan BOS tapi kemudian menguangkannya, bukan menegakkan hukum.
Hampir Rp1,5 miliar yang terkumpul oleh para terdakwa dalam pemerasan ini. Jumlah itu belum termasuk sepasang IPhone berharga puluhan juta rupiah dan fasilitas lainnya.
Advertisement
Surat Edaran Kejati
Di sisi lain, Kepala Kejati Riau Jaja Subakja menerbitkan surat edaran yang disebar kepada seluruh pemerintah daerah di Riau. Dalam surat bersifat segera itu, Kepala Kejati mengingatkan pejabat di daerah tidak melayani oknum jaksa minta proyek dan uang.
Surat Nomor R-97/L.4/03/2021 ditandatangani pada tanggal 29 Maret 2021. Surat ini dalam rangka mewujudkan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) Kejati Riau.
Asisten Intelijen Kejati Riau Raharjo Budi menyatakan, Kepala Kejati Riau tidak mentolerir adanya oknum jaksa yang meminta uang maupun proyek. Jika ada menemukan, kepala daerah ataupun masyarakat diminta melapor.
"Segera laporkan ke Kejati Riau akan tindaklanjuti dan diproses di Bagian Pengawasan, tentunya dengan menyertakan bukti-bukti akurat," tegas Raharjo.
Raharjo menyebut surat ini sebagai pencegahan tindakan menyimpang yang dapat merusak citra Korps Adhyaksa. Dengan adanya surat ini tidak ada lagi oknum jaksa mengatasnamakan kejaksaan meminta uang.
"Antispasi, siapa tahu ada yang menjual-jual nama, seperti yang terjadi di beberapa daerah lain. Lebih baik kita mencegah, agar tidak terjadi hal tak diinginkan, seperti yang terdahulu," tegas Raharjo.