Sukses

1976, Guncangan Gempa Purwokerto Terasa hingga Pekalongan dan Semarang

Wilayah Kabupaten Banyumas dan sekitarnya (Banyumas Raya), termasuk daerah yang rawan terjadi gempa bumi

Liputan6.com, Purwokerto - Aktivitas kegempaan di Jawa Tengah meningkat dalam lima tahun terakhir, periode tahun 2008 sampai 2020. Kepala Stasiun Geofisika Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie memaparkan, pada tahun 2015 tercatat 99 gempa di Jawa Tengah.

Padahal, lima tahun terakhir sebelumnya, jumlah gempa yang terjadi juga relatif sedikit antara puluhan hingga seratusan lebih kejadian. Tetapi mulai tahun 2016, grafik jumlah gempa di Jawa Tengah meningkat tajam menjadi 663 di tahun 2016, 553 di tahun 2017, 660 di tahun 2018, 624 di tahun 2019 dan 523 kejadian di tahun 2020.

“Terdapat loncatan aktivitas kegempaan, khususnya lima tahun terakhir,” katanya dalam Webinar 'Menguak Jejak Gempa Megathrust dan Sesar Aktif di Banyumas Raya' yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Purwokerto, Selasa (20/4/2021).

Ajie mengatakan, terdapat 295 sesar aktif di seluruh Indonesia. Yang perlu diwaspadai, 7 sesar aktif di antaranya berada di Jawa Tengah, yakni Baribis Kendheng, Ajibarang, Merapi Merbabu, Muria, Pati/Lasem, Ungaran 1 dan 2. Adapun potensi magnitude kegempaan yang dapat dihasilkan M 6.6.

Wilayah Kabupaten Banyumas dan sekitarnya (Banyumas Raya), termasuk daerah yang rawan terjadi gempa bumi.

Menilik sejarah, wilayah Banyumas dan sekitarnya juga pernah diguncang gempa dengan dampak cukup besar. Misalnya gempa pada 13 Agustus 1863 yang menyebabkan pabrik gula rusak berat, kemudian 27 Maret 1871 mengakibatkan bangunan pemerintah dan rumah rusak.

Lalu pada 14 Februari 1976, episenter di Purwokerto, M 5,6, yang dirasakan di Ajibarang, Kedungbanteng, Tegal, Brebes, Pekalongan, Magelang, dan Semarang.

Selain itu gempa yang terjadi pada 20 Januari 2014 episenter di Kebumen berkekuatan M 6,5 yang merusak 125 rumah di Banyumas.

Mengingat potensi kejadian gempa bumi yang cenderung meningkat, pihaknya merekomendasikan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) agar upaya mitigasi perlu segera ditingkatkan.

BMKG pun sudah melakukan berbagai upaya peningkatan mitigasi bencana gempa bumi. BMKG rajin menggelar Sekolah Lapang Geofisika untuk mewujudkan masyarakat siaga bencana, termasuk ancaman gempa bumi dan tsunami.

Pihaknya juga mengembangkan alat penyerbarluasan informasi melalui frekuensi radio sebagai bagian upaya mitigasi bencana. Ini cukup bermanfaat bagi masyarakat di daerah rawan yang terkendala sinyal atau jaringan internet.

“Sehingga masyarakat yang susah sinyal, bisa menggunakan frekuensi radio dan menerima pesan dalam bentuk suara,” ucap Ajie, dikutip dari keterangan tertulis AJI Kota Purwokerto.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Peran Vital Media Massa Menangkal Hoaks

Media massa punya peran vital dalam menangkal mis-disinformasi terkait isu bencana alam. Hoaks atau berita bohong kerap menyertai di setiap kejadian bencana alam. Tak ayal, informasi menyesatkan itu menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat.

Kepanikan yang berlebih ini terkadang lebih berbahaya dari bencana itu sendiri. Isu akan terjadinya tsunami di tengah masyarakat Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (16/4/2021) lalu misalnya. Informasi hoaks itu akhirnya memakan korban. Dua warga dilaporkan tewas saat panik hingga terjatuh saat mau menyelamatkan diri.

Melalui platform media sosial, arus informasi akan cepat dan mudah menyebar, tidak terkecuali berita hoaks. Sementara sebagian masyarakat gagal menyikapi setiap informasi yang diterimanya melalui medsos.

Sepesat apapun perkembangan media sosial, media massa arus utama mestinya menjadi rujukan masyarakat untuk memeroleh informasi yang lebih bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Sayangnya, masyarakat dengan budaya literasi yang lemah cenderung mengabaikan sisi akurasi yang dikedepankan pers. Tak ayal, meski cukup banyak media penyedia informasi yang kredibel, masyarakat masih juga banyak yang termakan berita hoaks.

Kehadiran medsos, memang menjadi tantangan tersendiri bagi pers. Pers diakui lebih terlambat dari media sosial dalam menyajikan informasi yang cepat ke masyarakat. Saat banyak informasi yang berseliweran di media sosial, termasuk berita bohong, pers masih sibuk melakukan konfirmasi atau proses peliputan sebelum berita itu disebarluaskan ke masyarakat.

Ini memang menjadi karakteristik dan kelebihan pers di sisi lain karena selalu menjunjung disiplin verifikasi dalam penyampaian berita ke masyarakat.

“Ada prasyarat sebelum berita dikonsumsi masyarakat. Ini jadi tantangan ketika harus beradu cepat dengan medsos,”kata jurnalis Liputan6.com sekaligus Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Purwokerto Muhamad Ridlo Susanto

Sayangnya, karena dituntut baradu cepat dengan medsos, banyak media yang sedikit mengabaikan sisi kedalaman berita. Prinsipnya, berita harus cepat tayang agar bisa lebih cepat sampai ke masyarakat. Ini di satu sisi bisa menjadi titik lemah media arus utama karena berita yang disajikan tergesa dan dangkal. Yang disajikan adalah berita permukaan dan spektakuler, bukan berita mendalam yang menjadi kekuatan media arus utama. Jika demikian, pers hanya setingkat lebih baik dari medsos.

“Berita yang dibuat dengan prinsip cepat tayang di satu sisi bisa mengimbangi kecepatan medsos. Tapi di sisi lain, media arus utama hanya satu tingkat lebih baik dari medsos,”katanya

Media massa arus utama tetap harus memainkan peran untuk menangkal mis-disinformasi atau berita hoaks kebencanaan. Pers saat ini bukan lagi sekadar penyaji berita, namun juga mengonter mis-disinformasi yang berkembang di media sosial.

Untuk itu, menurut dia, perusahaan media perlu memperbanyak melakukan Cek Fakta atau memperluas jaringan Periksa Fakta. Ia juga menilai, pers saat ini harus memperlebar platform penyebaran informasi bukan hanya di website atau koran, namun juga terjun ke platform media sosial. Pasalnya, masyarakat atau pembaca yang menjadi sasaran media arus utama saat ini lebih banyak berkerumun di media sosial.