Sukses

Pengamat UGM Sebut KTT ASEAN Mampu Bantu Akhiri Krisis Myanmar

Pengamat UGM menyebut Jakarta Informal Meeting harus menjadi perhatian para pemimpin negara untuk menyelesaikan masalah seperti di Myanmar.

Liputan6.com, Yogyakarta - Langkah Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN diapresiasi Muhadi Sugiono, seorang Pengamat Hubungan Internasional UGM dalam menyelesaikan krisis di Myanmar. Aktivis perdamaian dunia dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM ini mengatakan efektivitas hasil KTT ini harus terus melahirkan keputusan bersama dalam tindakan-tindakan konkret.

"Mendudukkan para pihak yang terlibat dalam konflik di Myanmar merupakan sebuah keharusan jika ASEAN ingin benar-benar melakukan peran dalam penyelesaian konflik,” kata Muhadi Sugiono, Selasa 27 April 2021. 

Muhadi menyebut Jakarta Informal Meeting harus menjadi perhatian para pemimpin negara untuk menyelesaikan masalah seperti di Myanmar. Terutama adanya KTT Asean membawa dampak hubungan ASEAN dengan negara-negara anggotanya. 

"Melalui Jakarta Informal Meeting yang berlangsung dari tahun 1988 hingga 1990,  Indonesia menghadirkan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk berbicara satu sama-lain. Dalam kasus Myanmar, tidak bisa tidak itu harus dilakukan," paparnya.

Muhadi mengatakan selama ini, melalui prinsip non-interference, ASEAN dan negara-negara anggota selalu berusaha menghindari memberikan respon atau bahkan pernyataan terhadap apa yang terjadi di negara-negara anggota yang dianggap sebagai urusan dalam negeri.

"Nah, berbeda dengan praktik-praktik sebelumnya, KTT ASEAN tentang krisis di Myanmar, bisa dilihat sebagai sebuah terobosan. Apalagi jika dilihat dari apa yang dihasilkan, yang antara lain menuntut dihentikannya kekerasan di Myanmar," katanya.

Hanya saja, efektif dan tidaknya KTT ASEAN untuk menghentikan krisis di Myanmar tentu tidak bisa dengan mudah dijawab. Sebab, apa yang dihasilkan oleh KTT menurut pandangannya sebenarnya mencerminkan common denominator yang relatif rendah. 

"Di KTT ASEAN tentang krisis Myanmar ini, indikasi bahwa keputusan ASEAN mencerminkan common denominator yang sangat rendah terlihat misalnya dengan ketidakhadiran PM Thailand, Prayuth Chan-ocha, dan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, serta kehadiran pemimpin junta militer," ungkapnya.

Bahkan, keberadaan pemerintah militer di Thailand yang menggulingkan pemerintahan demokratis menjadi salah satu ganjalan bagi ASEAN untuk mengambil suara atau keputusan yang sangat keras terhadap Myanmar. 

"Jika ASEAN memberikan sikap tegas kepada Myanmar, tetapi tidak kepada Thailand, maka reputasi ASEAN akan hancur, karena ASEAN menerapkan standar ganda. Ini pekerjaan rumah besar bagi ASEAN," katanya.

Simak video pilihan berikut ini: