Sukses

Menelusuri Dugaan Tradisi Setor Komisi dalam Proyek Pokir di Blora

Sejumlah rekanan konstruksi di Kabupaten Blora mengaku adanya tradisi setor komisi atau fee proyek jika ingin dapat proyek pokir usulan DPRD.

Liputan6.com, Blora - Seorang pria warga Blora, Jawa Tengah, yang enggan disebut namanya, punya banyak pengalaman dalam urusan proyek pemerintah setempat. Dia tahu betul bahwa di balik kerjaannya itu terdapat banyak permainan yang dilakukan oleh sejumlah pihak pemangku kepentingan.

Tersadar langkah singkatnya untuk menjadi kaya raya dari bidang ini terkendala banyak hambatan, dirinya pun blak-blakan mengenai bisnis yang ditekuninya selama belasan tahun itu.

"Banyak yang minta fee jika ingin nggarap (ngerjakan) proyek. Nilai fee-nya tidak sama," ungkapnya kepada Liputan6.com, Rabu (28/4/2021).

Banyak proyek, kata dia, baik itu yang prosesnya melalui lelang maupun penunjukan langsung, hampir merata ada bentuk setoran komisi proyek. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan, semata-mata sebagai uang pelicin.

"Mulai pokja hingga dewan itu ada fee yang disetorkan ke mereka. Nilainya dari setengah persen sampai 10 persen. Kadang lebih, jika proyek dapatnya sudah ada yang makelari," terang pria yang berprofesi sebagai seorang kontraktor itu.

Dia menyebut, bahwa yang mendapat fee proyek tertinggi adalah dari pihak anggota dewan yang pandai bermain. Sementara yang mendapatkan terendah, yakni setengah hingga 1 persen adalah yang membidangi atau menjadi pokja.

"Contohnya misalkan saya tahun ini dapat proyek nilainya Rp 1 miliar, kui aku nyawisi (itu saya nyiapkan) fee Rp 100 juta. Belum lagi ditambah lain-lainnya. Semua masuk kantong dan tidak masuk kas daerah," ungkap pria berusia 39 tahun itu.

Lebih lanjut, jika ke depan rencana Pemkab Blora jadi menggunakan langkah mencari utangan ratusan miliar untuk mengentaskan persoalan infrastruktur yang rata-rata buruk, sudah barang tentu akan banyak proyek yang jadi bancakan sejumlah pihak.

Mengenai bahasan ini, juga dibenarkan oleh seorang pria berinisial BS. Sama-sama berprofesi sebagai kontraktor, dirinya pun mengakui bahwa hal tersebut sudah menjadi tradisi yang dipandangnya ada di berbagai daerah dan bukan hanya terjadi di Blora. Terpenting kuncinya punya kedekatan khusus, serta koneksi dengan para pemangku kepentingan.

Disinggung apakah dirinya pernah mendapatkan proyek pokir yang harus menyetorkan fee, dirinya pun blak-blakan mengaku pernah mendapatkannya.

"Tapi untuk tahun ini saya belum dapat, fee-nya ya sama 10 persen. Tapi tahun kemarin saya ngasihnya 20 persen," ungkap BS saat ditemani 2 orang rekannya sesama kontraktor, serta seorang praktisi hukum di Blora.

Simak video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Sudah Legal?

Berkaitan dengan bahasan ini, Sekda Blora Komang Gede Irawadi saat dikonfirmasi Liputan6.com mengaku, bahwa dirinya tidak mengetahui adanya tradisi fee proyek yang jadi modus lama ini.

"Kalau tradisi ngasih fee, saya tidak tahu modusnya seperti apa itu," kata Komang.

Dia menambahkan, detailnya mengenai rincian persoalan proyek pokir jika menghendaki datanya secara keseluruhan bisa diakses ke Bappeda Blora. Pasalnya, semua usulan DPRD diinventarisasi oleh pihak dinas tersebut.

Sebelumnya, Ketua DPRD Kabupaten Blora HM Dasum angkat bicara soal proyek yang dibagi-bagi anggotanya dengan cara penunjukan langsung. Menurutnya, siapa pun boleh dapat proyek yang diusulkan melalui pokir.

"Pokir itu untuk sopo wae (siapa saja) boleh, tapi asalkan bermanfaat," ungkapnya.

Dasum tidak menampik jika DPRD punya kebiasaan bagi-bagi proyek. Menurutnya, terkait bahasan proyek apa pun di Kabupaten Blora, sudah diberi rambu-rambu atau peringatan khusus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Ini sudah ada rambu-rambu kok, ada surat dari KPK yang intinya berkaitan dengan proyek harus langsung dan bentuknya bukan berupa bentuk keuangan," kata Dasum, yang juga ketua DPC PDI Perjuangan Blora.