Liputan6.com, Aceh - Nasib warga yang menghuni Asrama Dewan Revolusi di Gampong Bandar Baru, Kecamatan Kuta Alam, Lampriet, Banda Aceh, kini berada berada di bawah bayang-bayang aneksasi. Surat peringatan agar segera mengosongkan tempat itu telah dilayangkan untuk kedua kalinya oleh pihak Kodam Iskandar Muda (IM).
Setelah melayangkan surat peringatan (SP) pertama pada 9 April 2021 lalu, SP kedua menyusul pada 20 April 2021 dengan tenggat waktu 14 hari sebelum SP selanjutnya keluar. Di dalam surat itu, salah satu dasar klaim penyegelan berupa Permen Pertahanan RI Nomor 13 tahun 2018, termasuk pertimbangan Komando dan Staf Kodam IM.Â
Tanah tersebut diklaim masuk ke dalam aset TNI AD berdasarkan sertifikat hak pakai nomor 01.01.01.02.4.02004 yang notabene tergolong baru, ketimbang riwayat kepemilikan tanah para penghuni tempat itu. Kendati belum ditemukan dokumen yang merujuk kepada keabsahan status kepemilikan, sejarah mencatat bahwa tempat itu adalah hadiah, tepatnya, buah dari perdamaian pascapergolakan DI/TII.
Advertisement
Baca Juga
Tempat itu diperuntukan kepada sejumlah pejuang DI/TII yang telah menyerah atau kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Ia tidak pernah berstatus asrama TNI/AD, kendati, dahulu para pejuang DI/TII dijadikan tentara organik oleh negara sebagai sikap kemanggulan tubuh NKRI yang di tahun-tahun itu sedang mengembangkan kekuatan militernya.
Sosiolog Affan Ramli memandang hasrat TNI/AD, yang hendak menganeksasi tempat itu, sebagai sikap yang akan mencoreng torehan sejarah perdamaian di bumi yang masih belum seratus persen bangkit dari buramnya masa lalu. Harusnya, moral negara dalam urusan perdamaian ini diletakkan di atas segala kepentingan-kepentingan lain, apalagi, dalih membangun asrama TNI/AD di tanah yang kini ditempati oleh sembilan kepala keluarga dari keturunan dan kerabat pejuang DI/TII itu sangat remeh dibanding moral perdamaian itu sendiri.
"Keamanan kepemilikan aset hasil konsesi wajib dilindungi oleh negara bukan dirampok atau dirampas kembali gegara aset dari konsesi perdamaian lalai diurus sertifikatnya oleh pihak Aceh (penghuni, red). Mestinya, negara berkewajiban memfasilitasi perlindungan aset itu sebagai hak milik eks kombatan atau dewan revolusi DI/TII," ujar Affan, kepada Liputan6.com, Senin (3/5/2021).
Alih-alih menganeksasi tempat itu untuk kepentingan asrama militer, akan lebih bijak seandainya negara melalui TNI/AD membantu penghuni Asrama Dewan Revolusi untuk mengurus sertifikat kepemilikan mereka. Ini untuk menjaga spirit perdamaian di saat Aceh sedang bangkit dari sisa-sisa masa kelam gerakan separasi.Â
"Jika pun tidak membantu, minimal membiarkan mereka tetap tinggal di sana, bukan menggusur keluarga mereka. Jika alasannya TNI perlu rumah tambahan untuk prajurit, bukankah institusi TNI yang sangat perkasa mudah membangun sembilan rumah tambahan untuk prajuritnya di tempat lain? Kenapa harus menciderai kepercayaan rakyat Aceh?" pungkasnya.