Sukses

Santri Terjegal Jadi Perangkat Desa, Bupati Blora Arief Rohman Telepon Gus Yasin

Akhmad Agus Imam Sobirin terjegal jadi perangkat desa di Blora lantaran pendidikan nyantri di Ponpes Mbah Moen dianggap nonformal.

Liputan6.com, Blora - Terjegalnya seorang santri bernama Akhmad Agus Imam Sobirin (41) saat ingin menjadi Perangkat Desa Turirejo, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, mengundang perhatian banyak kalangan. Berbagai cara ditempuh agar benang kusut permasalahan ini ketemu titik terang.

Hal itu pula yang dilakukan Bupati Blora Arief Rohman, dengan mengundang sejumlah pihak, antara lain dari dinas PMD, Inspektorat, Bagian Hukum Pemkab, Camat Jepon, Kemenag, DPRD Kabupaten Blora, serta awak Liputan6.com untuk diajak musyawarah. Sayangnya, dari pihak Agus tidak terlihat hadir dalam undangan ini.

Usut punya usut, setelah dikonfirmasi ternyata pihak Agus tidak hadir lantaran tidak ada undangan resmi, serta yang bersangkutan sedang berkoordinasi dengan Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin (Gus Yasin) di Semarang.

"Kita sebenarnya diundang, tapi tidak melalui surat resmi dari Pemkab Blora. Lha tadi di waktu yang sama, kita sedang koordinasi dan minta masukannya Gus Yasin tentang permasalahan yang menimpa Agus," ungkap kuasa hukumnya Agus, Bambang Riyanto saat dihubungi Liputan6.com, Senin (3/5/2021).

Dalam pembahasan tersebut, pihak Pemkab Blora mengakui ada kelalaian yang terjadi beberapa bulan lalu dalam sistem perekrutan perangkat desa, sehingga menyebabkan Agus yang lulusan santri terjegal lantaran ijazahnya dianggap nonformal. Padahal Agus lolos seleksi administrasi, bahkan nilainya tertinggi dibanding 26 peserta lainnya.

Simak video pilihan berikut ini:

2 dari 4 halaman

Komunikasi dengan Wagub Jateng

Dalam kesempatan itu, Bupati Blora Arief Rohman langsung berkomunikasi dengan Gus Yasin via ponsel, dan didengar semua pihak yang datang. 

Arief sapaan Bupati Blora mengatakan, mestinya Agus mendaftar menjadi perangkat desa menggunakan ijazah formal, yaitu ikut paket B sama paket C (sekolah formal kesetaraan), bukan dengan ijazah dari pondok pesantren. 

"Biar itu sesuai. Artinya ketika itu dibatalkan, lha ini yang akhirnya menimbulkan tanda kutip multi tafsir," bebernya kepada Gus Yasin.

Arief mengatakan telah melakukan musyawarah dengan berbagai pihak, antara lain bagian hukum pemkab Blora, Kemenag Kabupaten Blora, dan DPRD Kabupaten Blora.

Menurutnya, jika dalam permasalahan Agus penafsirannya terjadi multi tafsir, maka jika digugat di PTUN dan dinyatakan ijazahnya absah diakui, pihaknya siap membatalkan hasil pelantikan Perangkat Desa Turirejo, Kecamatan Jepon.

"Kita nanti dari Bupati bisa membatalkan SK tersebut. Tapi ini kalau serta merta kita batalkan, nggak ada dasar hukumnya. Malah kita akan digugat lagi terhadap yang diputuskan ini," kata Arief didampingi Wakil Bupati Blora, Tri Yuli Setyowati.

Selanjutnya, Gus Yasin mengaku baru saja bertemu dengan pihak Agus dan memberikan beberapa saran kepadanya.

"Kalau sampeyan (kamu) ingin menggugat ke PTUN, dasar hukumnya apa? Saya bilang begitu. Dasar hukumnya surat keterangan dari Kemenag yang menerangkan bahwa dia pernah sekolah di sekolah tersebut," bebernya.

"Terus saya tanya lagi, sekolah itu keterangannya bisa berlaku nggak? Untuk dasar hukumnya mboten saget (tidak bisa). Kalau keterangan saja misal saya dimintai keterangan bahwa si A pernah mondok di sini, sekolah di sini, bahwa ini sekolah formal ini bisa," kata Gus Yasin.

3 dari 4 halaman

Legalisasi Ijazah

Gus Yasin, putra almarhum KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen ini mendapat pengakuan dari pihak Agus bahwa tempat bersekolahnya di pondok pesantren daerah Nganjuk, Jawa Timur, telah terdaftar di Kemenag setempat. Kemudian yang bersangkutan diberi saran oleh Gus Yasin untuk melegalisir ijazahnya.

Arief yang juga seorang jebolan pondok pesantren, lalu membeberkan, pihak Kemenag Kabupaten Blora telah melakukan konfirmasi dengan pihak Kemenag Provinsi Jawa Timur.

"Karena dasarnya itu nggak kuat, makanya provinsi Jawa Timur menyatakan bahwa itu nonformal," beber putra pengasuh Pondok Pesantren Annur Blora ini.

Gus Yasin lalu menyampaikan, bahwa pihak Agus juga saat bertemu dengannya ditanya kenapa pada saat daftar menjadi perangkat desa malah tidak memakai ijazah Pondok Pesantren yang dari Sarang, Rembang. Mengingat Agus sendiri setelah dari Nganjuk, nyantri juga di Sarang, Rembang.

"Padahal kiyambak e (dia) itu gadah ijazah (Lembaga Pendidikan) Muhadloroh Pondok Pesantren Al Anwar Sarang," kata Gus Yasin.

"Lha kalau pakai itu malah saget (bisa)," timpal Arief ketika di ruang rapat Wakil Bupati Blora.

4 dari 4 halaman

Tinjau Perbup Blora

Arief menyampaikan, adanya permasalahan ini akan dijadikan bahan evaluasi ke depan. Terkait Perbup Blora akan ditinjau oleh pihaknya untuk memperjelas tentang maksud pendidikan nonformal.

"Saya kan nggak ingin juga tafsirannya bahwa kita tidak pro. Sebagai santri memberikan kesempatanlah. Tapi kan kita koridornya harus tetap pada aturan kemenag," kata Arief, yang juga mengaku sungkan dengan Gus Yasin tentang adanya berita seorang santrinya Mbah Moen ramai di jagat maya.

Menurutnya, ke depan Kemenag akan dilibatkan dalam tim penyelenggara rekrutmen perangkat desa, yang ditingkat kecamatan untuk memverifikasi soal ijazah. 

Alasannya, kata dia, mengingat banyaknya desa di Kabupaten Blora, baru sekitar 5 persen saja yang telah menjalankan rekrutmen perangkat desa.

"Adanya kejadian ini untuk pembelajaran kami juga," tutur Arief kepada Gus Yasin.

Lebih lanjut diakhir percakapan ini, Gus Yasin menyampaikan berulang, terkait keprihatinannya terhadap pihak Agus dengan diberikan saran untuk bisa membuktikan bahwasannya sekolahnya sebelum di Sarang, Rembang, yakni pada saat di Nganjuk, Jawa Timur, sudah diakui Kemenag yaitu dengan meminta legalisir ijazah.