Sukses

Haru Biru Kisah Santri Papua di Kota Para Wali Demak

Puluhan santri asal Papua, menimba ilmu di Pesantren di Demak, Jawa Tengah

Liputan6.com, Kudus - Suara yang diucapkan dengan hati akan menyentuh hati. Ada rindu tak terbilang dalam lantunan ayat-ayat suci itu.

Ungkapan tersebut mungkin mewakili perasaan orang-orang yang mendengar lantunan ayat suci Al Quran dari mulut seorang santri, Riberry Siras alias Mukhlis (17) anak Suku Asmat Papua yang saat ini tengah menimba ilmu di Pondok Pesantren La Tansa, Cangkring, Kecamatan Karanganyar, Demak Jawa Tengah.

Ia dan beberapa santri menyempatkan diri untuk mengaji sesaat setelah berbuka di sebuah warung di pinggir jalan.

Para pejalan kaki maupun jemaah yang baru turun dari masjid tak urung menengok ke arah sekumpulan pemuda yang melantunkan ayat suci dengan khidmat.

Mukhlis dan puluhan santri asal Indonesia Timur tersebut diajak oleh sebuah komunitas sosial untuk berbuka bersama dan belanja kebutuhan Idul Fitri di Kota Kretek, Jumat (30/4/2021).

Mukhlis tak pernah bermimpi menjalani masa remaja dengan menjadi mualaf bahkan santri. Bersama 11 pemuda se-suku, ia berlayar menuju tanah Jawa untuk menjemput impian menjadi sosok yang lebih baik dalam tuntunan agama.

"Saya baru satu tahun di pondok sini. Mulai syahadatnya di Bekasi enam tahun lalu," ucap Mukhlis.

Dengan terbata-bata menahan haru, ia mengatakan perjalanannya menjadi seorang santri tak mudah. Mulai belajar agama Islam dari nol hingga rasa kangen kepada tanah kelahiran hingga lingkungan yang sangat jauh berbeda dari tempatnya dibesarkan.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Mamak Tak Kuat Dengar Suara

Semula, ia bersyukur karena merasa masih ada 11 pemuda sekampung yang tinggal di pondok selama di Bekasi. Tetapi ketika para calon santri asal Suku Asmat tersebut meninggalkannya sendirian, Mukhlis pun tak kuasa membendung air mata.

Berbulan-bulan ia terus meratap, merasa bingung berada di perantauan tanpa orang yang di kenalnya.

"Tapi itu nangis-nangisnya pas saya masih kecil. Sekarang saya sudah besar," kata Mukhlis sambil tersipu malu.

Kini, Mukhlis sudah merasa damai dalam kehidupan religius di pondok pesantren yang sangat sederhana di sebuah desa di Kota Wali. Sekitar 31 santri asal Papua nyantri di situ. Mereka menimba ilmu agama dengan penuh suka cita.

Mukhlis hanya menyayangkan, ketika mendapat kesempatan keluar dari pondok ia dan rekan-rekan santri Papua selalu menjadi pusat perhatian.

"Rasanya jadi nggak pede. Merasa berbeda. Makanya saya suka menunduk saja," dia menuturkan.

Sebelum berada di Ponpes La Tansa, ia dan rekan-rekan asal Papua tak jarang menjadi korban pembulian. Beruntunglah, sekarang ia dan santri lain tak lagi mendapat perlakuan negatif semacam itu lagi.

Matanya kembali berkaca-kaca ketika bercerita tentang keluarganya. Ia sudah lama tak berjumpa dengan mereka. Telepon yang diterima hanya dari ayahnya setahun yang lalu.

"Mamak tak sanggup dengar suara saya kalau ditelepon. Saya kangen sama mamak. Ketemunya dulu saat saya masih kecil," Suaranya makin menghilang ditelan sedu sedan.