Liputan6.com, Bengkulu - MS (19), pelajar kelas II SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu, harus berurusan dengan hukum usai unggahannya yang bernada penghinaan terhadap Palestina viral di media sosial. Melalui video 8 detik itu, MS mengumpat negara Palestina menggunakan nama binatang di akun TikTok miliknya. Unggahan tersebut mengundang kecaman dari banyak orang Indonesia di tengah eskalasi konflik Israel dan Palestina. Dari pengakuan MS, dirinya hanya iseng mengunggah video tersebut di TikTok.Â
Namun kehebohan kadung terjadi, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Bengkulu Tengah, Adang Parlindungan, tak mau ambil pusing. Hasil rapat internal Dinas Cabdin Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Benteng dengan pihak sekolah memutuskan, pelajar tersebut dikembalikan ke orangtuanya alias dikeluarkan dari sekolah.
"Keputusan ini diambil setelah pihak sekolah mengevaluasi tata tertib sekolah dan pelanggaran MS dan hasilnya yang bersangkutan sudah melampaui ketentuan," kata Adang, Rabu (20/5/2021).
Advertisement
Ia mengatakan keputusan itu merupakan jalan keluar yang sudah disepakati bersama antara pihak sekolah, orangtua MS dan sejumlah pihak terkait yang dimediasi kepolisian dan sejumlah tokoh masyarakat. MS sendiri sudah membuat permintaan maaf yang disampaikan secara terbuka dan disebarluaskan lewat media sosial miliknya.
"Saya minta maaf atas perbuatan saya, baik kepada warga Palestina maupun seluruh warga Indonesia. Saya hanya iseng dan bercandaan saja bukan maksud berbuat apa-apa dan saya juga tidak menyangka bisa seramai ini," ujar MS.
Dari keputusan rapat yang dihadiri oleh Kapolres Benteng, Waka Polres Benteng, Kasat Intel Polres Benteng, Kasat Reskrim Polres Benteng, Kepala Cabdin Pendidikan Wilayah VIII Benteng, kepala sekolah, ketua komite, FKUB, Badan Kesbangpol Benteng, Kemenag Benteng, Komisi I DPRD Benteng tersebut disepakati kasus MS dinyatakan selesai.
Â
Â
Jadi Sorotan
Tindakan sekolah yang memutuskan mengeluarkan MS mendapat sorotan dari aktivis perlindungan perempuan dan anak. Direktur Pusat Pendidikan Perempuan dan Anak (PUPA) Susi Handayani mengatakan, mengeluarkan MS dari sekolah adalah bentuk penghukuman yang seharusnya tidak lagi diberikan kepada anak sesuai dengan UU nomor 35 tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Pertama kita semua mengakui apa yang dilakukan anak itu salah tapi yang diberikan seharusnya sanksi yang berdampak baik bagi anak, bukan hukuman. Karena semangat UU Perlindungan Anak tidak ada lagi hukuman bagi anak," kata Susi.
Bentuk sanksi yang dapat diberikan kepada anak itu menurut Susi antara lain membuat konten pendidikan di media sosial yang ia gunakan dalam durasi tertentu sehingga bentuk sanksi itu mencerahkan bagi dirinya dan pubik.
Ia menilai, kebijakan mengeluarkan anak dari sekolah adalah pola penghukuman karena mengacu pada poin-poin pelanggaran tata tertib sekolah dan hukumannya adalah dikeluarkan dari sekolah dimana seharusnya pola ini tidak diterapkan lagi dalam sistem pendidikan yang memerdekakan.
Selain itu menurut Susi, dalam mediasi dengan berbagai pihak yang digelar beberapa hari lalu, MS seharusnya juga memiliki pendamping karena dalam posisi hanya didampingi orangtua maka posisi MS sangat lemah dan hanya menerima semua keputusan yang ditimpakan padanya.
"Saat anak dihadirkan dalam proses mediasi seharusnya didampingi karena dia dihadirkan sebagai orang yagn bersalah tentu ada tekanan psikologis. Maka semua hal dia terima karena posisinya lemah," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Bengkulu, Kombes Sudarno, mengakui perundungan tidak bisa dikontrol lantaran merupakan sebuah reasi karena adanya aksi. Namun demikian, masyarakat diminta untuk tidak berlebihan apalagi yang bersangkutan sudah meminta maaf.
Sudarno juga meminta bagi masyarakat yang baru mendapatkan informasi tersebut di media sosial cukup menanggapi atau memberikan komentar dengan kata-kata yang bijak, seperti memberikan nasihat atau masukan sehingga tidak memperkeruh suasana. Ia juga memastikan ujaran kebencian yang dilakukan MS (19) tidak berlanjut ke proses hukum.
"Kalau di kepolisian sudah selesai. Kemarin yang bersangkutan sudah ditemui baik dari polres setempat maupun dari polda. Dia sudah dinasihati agar lain kali tidak membuat konten yang meresahkan," ujarnya pula.
Sudarno juga mengimbau anak-anak muda yang aktif menggunakan media sosial untuk membuat konten yang positif, baik itu berupa video, foto maupun tulisan sehingga tidak memunculkan keresahan di tengah masyarakat. Orangtua juga perlu mengawasi setiap aktivitas anaknya termasuk dalam menggunakan gawai, dan tidak mudah melepas anak menggunakan media sosial tanpa pemberian pendidikan sebelumnya.
"Ini menjadi pembelajaran untuk kita semua. Terkhusus kepada orangtua untuk lebih menjaga lagi aktivitas medsos anak-anaknya," ujarnya.Â
Â
Â
Advertisement
Belum Selesai
Meski di pihak kepolisian kasus ini dinyatakan selesai. Namun keputusan rapat internal Dinas Cabdin Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Benteng dengan pihak sekolah tetap mengeluarkan MS.
Terkait hal itu, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah turun tangan. Dirinya meminta pihak sekolah tidak menghilangkan hak mendapatkan pendidikan bagi salah satu siswi SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu yang melakukan ujaran kebencian menghina Palestina.
Rohidin menyayangkan tindakan pihak sekolah yang mengambil keputusan mengeluarkan atau melakukan drop out terhadap siswi tersebut karena video berdurasi 8 detik yang diunggahnya ke media sosial TikTok dianggap melampaui ketentuan sekolah karena menyuarakan hujatan terhadap Palestina.
"Kita tidak bisa serta merta mengultimatum, memberikan punishment. Saya minta untuk tidak menghilangkan kesempatan yang bersangkutan untuk sekolah. Bagaimana caranya anak itu harus tetap sekolah," kata Rohidin, Rabu (20/5/2021).
Gubernur menegaskan MS harus tetap mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah seperti siswi lainnya. Sebab, menurutnya, sekolah adalah tempat yang tepat untuk melakukan pembinaan terhadap anak-anak muda agar menjadi generasi yang cerdas dan memiliki hati nurani.
"Kesempatan anak itu untuk sekolah harus tetap diteruskan. Sekolah itu kan memang tempat melakukan pembinaan terhadap anak generasi muda agar dia menjadi cerdas dan manusia bernurani," ucapnya.
Kendati demikian Rohidin menyesalkan tindakan ujaran kebencian menghina Palestina yang dilakukan siswi tersebut yang dianggapnya tidak mencerminkan semangat toleransi antarumat beragama, bangsa dan negara. Apalagi hal itu dilakukan orang terdidik.
Rohidin meminta para guru di Bengkulu lebih sering melakukan bimbingan konseling dan memberikan pemahaman yang utuh tentang etika bermedia sosial agar peristiwa tersebut tidak kembali terulang.
"Di sisi lain hal seperti ini jangan sampai terulang kembali. Ini sangat disayangkan. Apalagi pelajar, mahasiswa, orang terdidik sampai memberikan komentar yang intoleransi," katanya.
Â