Sukses

Puncak Sosok, Bukit Penuh Ilalang yang Disulap Jadi Destinasi Wisata Hits di Bantul

Siapa yang sangka, dari hanya bukit penuh ilalang, Puncak Sosok kini menjadi destinasi wisata hits dengan beragam spot selfie.

 

Liputan6.com, Bantul - Siapa yang sangka, awalnya hanya area penuh ilalang, sebuah bukit di Padukuhan Jambon, Kapanewonan Bawuran, Kapanewonan Pleret Bantul, kini berubah menjadi destinasi wisata hits di kalangan anak muda Yogyakarta. Puncak Sosok, begitu orang-orang menyebutnya, sebuah destinasi wisata alam di Bantul, tempat syahdu untuk melihat pemandangan matahari terbenam.

Tampilan baru Puncak Sosok yang menawan tidak lepas dari usaha kerja para anggota Karang Taruna Padukuhan Jambon. Di bawah tangan dingin kepemimpinan Rudi Haryanto (35), anggota karang taruna bersama warga sadar wisata Padukuhan Jambon mendobrak berbagai keterbatasan yang menghalangi mereka.

Rudi mengatakan, pada 2016 kelompoknya sengaja mendirikan warung dan spot selfie di Puncak Sosok. Dari spot selfie itulah, Puncak Sosok makin dikenal di media sosial. Hingga akhirnya komunitas pesepeda mulai berdatangan. Semakin banyak wisatawan yang berkunjung membuat Rudi dan kelompoknya putar otak untuk mengembangkan destinasi wisata Puncak Sosok. Apalagi tanah di kawasan itu berstatus Oro oro atau Sultan Ground yang tidak ada pemanfaatannya. Tanah tersebut sebenarnya adalah tanah kas desa Bawuran yang tidak difungsikan.

Melalui beberapa kali perdebatan, akhirnya mereka sepakat mengembangkan Puncak Sosok menjadi sebuah destinasi wisata. Awalnya mereka pesimis apakah niatan tersebut dapat terwujud mengingat kondisi geografis dari Puncak Sosok yang cukup jauh dan belum ada akses jalan menuju ke puncak tersebut.

"Terlebih Puncak Sosok itu berada di balik TPST (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu) Piyungan. Di samping itu, air juga susah didapatkan," tambahnya.

Meski ada yang mencibir, Rudi dan kawan kawan nekat melakukan pembersihan lahan Puncak Sosok. Setiap minggu mereka melakukan kerja bakti bersih-bersih di kawasan Puncak Sosok. Mereka juga membuat jalan setapak agar wisatawan mudah menjangkau Puncak Sosok.

Di awal merintis Puncak Sosok, fasilitas pertama kali yang dibuat adalah membangun trek sepeda Down Hill. Karena dari pengamatan mereka selama ini, pengunjung yang datang ke Puncak Gebang adalah para pencinta sepeda. Di mana para pencinta sepeda ini mencoba trek naik ke perbukitan dan berakhir di Puncak Gebang untuk berburu foto. Pembangunan asilitas lainnya pun menyusul, antara lain warung, toilet, dan penambahan spot selfie.

"Lima bulan itu sepi, karena pengunjungnya sedikit," kata Rudi.

Baru kemudian di bulan keenam ada penambahan satu warung lagi yang berdiri. Kemudian dalam setahun bertambah menjadi 5 warung karena pengunjung juga semakin banyak. Dan di tahun kedua, para pengelola mampu mendirikan 21 warung yang dimanfaatkan oleh warga sekitar.

Semakin hari jumlah pengunjungnya semakin banyak, bahkan ketika akhir pekan jumlah pengunjungnya membludak. Pembagian tugaspun dilakukan dengan cara adil dan tidak ada kesenjangan. Warga di Padukuhan Jambon hampir semuanya terlibat dalam pengelolaan Puncak Sosok.

"Ada pemilik warung, pelayan warung, petugas kebersihan, penjaga parkir, penjaga tempat selfi dan beberapa pos yang lain," paparnya.

Sebelum pandemi, lanjutnya, Puncak Sosok memang ngehits karena dikunjungi ribuan orang setiap hari. Di saat sepi saja, pengelola bisa dapat Rp700 ribu bersih dari pengelolaan parkir, Rp300 dari toilet, dan Rp400 ribu dari penyewaan tikar, sementara bagi hasil warung nyaris sama dengan parkir. Kemudian dengan pertunjukkan musik mampu menghasilkan Rp300 ribu. Tentu pendapatan itu melonjak saat akhir pekan.

"Padahal parkir, toilet dan juga tiket masuk kami tidak memasang tarif," tambahnya.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Bertahan dari Hantaman Pandemi

Rudi mengatakan, biaya operasional yang paling menguras kantong adalah pembelian air, mengingat lokasi Puncak Sosok yang sulit air bersih. Dalam sehari, kata Rudi, pengelola membeli minimal dua tangki air ukuran 5.000 liter dengan harga Rp 150 ribu. Dalam sebulan paling tidak pengelola mengeluarkan Rp5-6 juta untuk pengadaan air saja.

Saat pandemi Covid-19 dan kebutuhan air meningkat karena kewajiban mencuci tangan, otomatis pengeluaran untuk air menjadi bertambah, mencapai Rp10 juta per bulan.

"Rekor pernah harus membeli air hingga Rp1 juta karena pengunjungnya ramai," tuturnya.

Namun beban berat yang ditanggung bersama warga Puncak Sosok itu membuatnya menjadi terasa ringan. Bahkan warga kini sudah merasakan manfaat keberadaan destinasi wisata Puncak Sosok. Dan yang paling penting, sudah tidak ada lagi pengangguran di Padukuhan Jambon.