Liputan6.com, Manggarai Timur - Kerajinan anyam merupakan salah satu dari kebudayaan yang dimiliki manusia sejak zaman dahulu untuk memenuhi kebutuhan sandang dan perlengkapan pendukung sehari-hari.
Kerajinan anyam bambu masih digeluti sebagian besar masyarakat. Salah satunya di NTT.
Advertisement
Baca Juga
Golo Ara, desa Compang Wesang, Kecamatan Lamba Leda selatan, kabupaten Manggarai Timur (Matim), Nusa Tenggara Timur (NTT ) merupakan kampung perajin anyaman Nyiru.
Hampir sebagian masyarakat kampung Golo Ara, bekerja sebagai perajin nyiru. Bagi warga Golo Ara, menganyam nyiru merupakan warisan dan kebudayaan lokal yang patut dilestarikan.
Kepala Dusun Golo Ara, Aleksius Kadur, kepada Liputan6.com, Jumat (11/6/2021), menerangkan masyarakat Dusun Golo Ara didominasi oleh perajin nyiru.
“Ada 235 jiwa dari 70 kepala Keluarga (KK) yang mendiami kampung Golo Ara. Masyarakat kampung lebih menekuni pekerjaan menganyam Nyiru untuk menyambung hidup. Dari 70 kepala keluarga, mungkin hanya tiga atau empat KK saja yang PNS,” kata dia.
Florida Umat (42), salah seorang perajin , mengaku telah menekuni pekerjaan menganyam nyiru sejak sepuluh tahun lalu.
Ia mengatakan dalam waktu dua minggu, mulai dari menyiapkan bahan hingga menganyam, dia bisa hasilkan 20 nyiru, yang siap dipasarkan.
“Kami tidak punya pekerjaan lain selain menganyam kerajinan tangan seperti nyiru, keranjang dari bambu, dan tikar. Nyiru merupakan satu-satunya komoditas yang ada di kampung kami. Tanpa Nyiru, kami tidak bisa hidup,” ungkap Florida.
Florida menuturkan, penghasilan dari menjual nyiru, bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Anyam nyiru, ini merupakan tradisi yang telah diwariskan dari nenek moyang.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Anyam Nyiru Berbasis Gotong Royong
Saat ini, warga Dusun Golo Ara mendirikan kelompok masyarakat anyam Nyiru berbasis gotong royong.
Dalam setiap tahun, hasil jualan Nyiru mampu membangun satu unit rumah anggota kelompok yang membutuhkan. Selain itu, dengan nyiru juga bisa penuhi kebutuhan dana biaya sekolah, dan urusan adat.
“Kami secara gotong royong mengatasi persoalan kehidupan sosial kami. Kami kompak, dan semua itu berkat dari menganyam nyiru,” ungkap Florida.
Hal yang sama juga disampaikan Fabianus Barut(42), bahwa terbentuknya kelompok anyaman ini, telah memberikan dampak positif untuk semua pengrajin.
“Kami juga membeli bambu, tali pengikat dan peralatan untuk membuat nyiru. Peralatan yang di gunakan seperti pisau, gergaji, tang, parang dan penjepit,” sebutnya.
Menurutnya untuk kebutuhan alat dan bahan, semua anggota kelompok berkerja secara gotong royong.
“Kelompok perajin ini dibentuk berdasarkan kesadaran untuk bisa berkerja sama- sama. Hasil dari setiap jualannya, untuk setahun kami harus serahkan ke kelompok sebesar Rp750 ribu”, ujarnya.
Menurutnya, uang yang diserahkan ke kelompok digunakan untuk kepentingan anggota kelompok juga.
Advertisement
Kendala Modal dan Pasaran
Hal yang sering menjadi kendala dalam proses pengerjaan, kata Fabianus adalah ketersediaan modal dan pasaran.
“Sebenarnya kami membutuhkan bantuan permodalan untuk bisa produksi secara besar besaran. Kami juga terkendala dengan pemasaran. Pemerintah belum perhatikan kelompok ini,” ucapnya.
Proses penjualannya masih digunakan pola lama. Menjual dengan cara berjalan kaki dari kampung ke kampung.
“Terkadang hasil anyaman, dijual keliling oleh anak-anak kami, sepulang sekolah," dia menjelaskan.
Dia menginformasikan, jika pembeli mengunjungi langsung perajin, Satu nyiru dijual dengan harga Rp20 ribu. Sedangkan untuk yang jual keliling dengan harga Rp30 ribu.
Dia berpesan, untuk semua masyarakat yang membutuhkan nyiru. Bisa berkunjung ke Kampung Golo Ara.