Liputan6.com, Aceh - Sejarah Aceh banyak dihiasi oleh epos yang menceritakan kepahlawanan perempuan. Kisah-kisah yang menceritakan bagaimana seorang perempuan dari Serambi Makkah berada di garis depan medan palagan berseliweran di mana-mana.
HC Zentgraaf, sejarawan asal Belanda yang menulis buku berjudul Atjeh memperkenalkan istilah grandes dames (wanita-wanita besar). Istilah tersebut merupakan sebuah istilah yang muncul di tengah-tengah para petinggi militer Belanda sebagai rasa takjub mereka terhadap para pejuang perempuan dari Tanah Rencong.
Dari sekian banyak perempuan yang namanya disebut dalam senarai perempuan hebat dari Aceh, satu nama yang tidak banyak disorot ialah Datu Beru. Datu Beru dikenal sebagai pakar hukum dan merupakan seorang perwakilan Kerajaan Linge dalam parlemen Kutaraja.
Advertisement
Sri Astuti A. Samad dalam Peran Perempuan dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Aceh (Kajian terhadap Kontribusi Wanita dalam Tinjauan Sejarah), melegitimasi kisah mengenai Datu Beru kendati hanya sepintas lalu. Diceritakan bahwa Datu Beru ikut terlibat aktif dalam persidangan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Raja Linge.
Raja Linge saat itu terbukti membunuh salah satu dari dua orang adik tirinya. Namun, berkat Datu Beru, hukuman Raja Linge yang sebelumnya berupa hukuman mati ditukar pengadilan dengan hukuman membayar diat 100 ekor kerbau.
Penulis dan pegiat sejarah Gayo, Yusra Habib Abdul Gani, dalam tulisannya berjudul Datu Beru, Datu Siapa?, menulis bahwa Datu Beru berhasil menawarkan sebuah aplikasi hukum yang mengetengahkan perpaduan antara unsur adat Gayo dengan hukum Islam melalui sebuah proses ijtihad yang diterima oleh hakim kerajaan di dalam kasus tersebut.
Persidangan terhadap Raja Linge itu sendiri telah menyita sorotan para raja di daerah-daerah. Di dalam fakta-fakta persidangan tersebut telah terbongkar bahwa Raja Linge merupakan otak di balik pembunuhan berencana untuk menyingkirkan salah seorang dari dua saudara tirinya dari kursi kerajaan.
Hakim agung kerajaan pun menjatuhkan kisas atau hukuman mati kepada raja lalim tersebut. Di sinilah Datu Beru hadir dengan pandangan-pandangan hukum yang saat itu berhasil mengubah keputusan hakim.
Datu Beru keberatan dengan sanksi yang akan diberikan kepada Raja Linge. Ia berkeras agar vonis tidak dijatuhkan terlebih dahulu sebelum saudara dan ibu tiri Raja Linge menyampaikan pendapatnya.
Jika berpedoman kepada ayat 178 surat Al-Baqarah, seorang pembunuh memang diwajibkan untuk dikisas sebagai balasan yang setimpal atas perbuatannya. Namun, hukuman tersebut bisa batal apabila keluarga korban berkenan memaafkan dengan syarat yang terhukum harus membayar diat.
Menurut Yusra Habib Abdul Gani, Datu Beru telah melobi saudara dan ibu tiri Raja Linge di celah-celah proses persidangan. Dia meminta saudara tiri Raja Linge yang merupakan saudara kandung dari korban pembunuhan itu mempertimbangkan kembali vonis terhadap sang raja karena bagaimanapun, ia dan raja tersebut memiliki ikatan saudara sambil menekankan kembali ayat dalam surat Al-Baqarah yang telah dikutipnya.
Singkat cerita, Raja Linge tidak jadi dihukum mati. Pengadilan hanya mengharuskannya untuk membayar diat serta diberi sanksi adat. Sejak saat itu, wilayah kekuasaan Raja Linge dipersempit, sedangkan baju kebesarannya ditanggalkan dan ia pun pulang sebagai raja yang hina dan tercela.