Sukses

Sukarno, Mega Tsunami dan Pendulum Matinya Bioskop di Aceh

Aceh merupakan salah satu provinsi yang tidak memiliki bioskop, namun, provinsi ini sebenarnya memiliki sejarah yang cukup menarik. Liputan6.com mengutip sepintas mengenainya, simak uraiannya:

Liputan6.com, Aceh - Gedung-gedung bioskop di Indonesia saat ini kembali hidup setelah sempat tutup pada awal-awal pandemi. Kendati tidak seperti dulu, bisnis sinema di nusantara terus berusaha menggerakkan animo masyarakat yang kini lebih memilih menonton film via layanan streaming karena bisa diakses dari mana saja.

Ngomong-ngomong soal bioskop, Aceh adalah salah satu provinsi yang bisnis bioskopnya sudah tidak lagi menggeliat lagi sejak belasan tahun silam. Syariat Islam menjadi alasan di balik tutupnya bioskop di provinsi berjuluk Serambi Makkah tersebut.

Matinya bisnis bioskop di daerah tersebut ditandai dengan tragedi tsunami yang belakangan diikuti dengan penandatanganan nota kesepahaman damai antara GAM-RI. Namun, jauh sebelum itu, sebenarnya perbioskopan di Aceh hidup dengan dinamis dan memiliki sejarahnya sendiri.

Sukarno bahkan pernah memanfaatkan bioskop sebagai sebagai tempat untuk menyuarakan manifesto politiknya. Tercatat bahwa Sukarno berorasi di hadapan ratusan orang sebanyak dua kali di gedung bioskop Garuda Theatre pada medio Juni 1948.

Pidatonya bisa diliihat di Kronik Revolusi Indonesia (Pramoedya Ananta Toer dkk; Jilid IV; 1948; halaman 763–769]-DAS dan buku Perkundjungan Presiden Soekarno ke Atjeh.’ Buku yang terakhir diterbitkan oleh panitia penyambutan Presiden Sukarno di Aceh tahun 1948.

"Aku bercita-cita pergaulan hidup modern, tetapi bukan modern kapitalisme, tetapi yang modern kolektivis, gotong-royong, satu sama lain sama-sama mengadakan, mendirikan, membina, membangun, satu pergaulan hidup yang makmur, kekal dan abadi," demikian salah satu paragraf pidato Sukarno.

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Daftar Bioskop 'Baehula' di Aceh

Tjasmadi (2008), dalam jurnal berjudul Perkembangan Bioskop di Kota Banda Aceh (2016), terbitan FKIP Unsyiah, ditulis oleh Riza dkk., menyebutkan beberapa bioskop di Aceh yang berkembang antara 1900—1936. Seperti, Deli Bioscoop di Kota Banda Aceh, Bioscoop di Bireuen dan Langsa, Tiong Wha Bioscoop di Lhokseumawe, Sabang Bioscoop di Sabang, dan Gemeente Bioscoop di Sigli.

Khusus Banda Aceh, bioskop sudah hadir sejak 1930-an. Berkat inisiatif bisnis seorang pengusaha Tionghoa dan Benggali, kota tersebut memiliki dua bioskop bernama Deli dan Rex Bioskop, masing-masing di kawasan Peunayong dan jalan Muhammad Jam, yang waktu itu dikenal oleh masyarakat dengan sebutan kumidi atau komidi gambar.

Bioskop di Banda Aceh bahkan sudah ada sebelum listrik masuk ke kota tersebut. Caranya diakali dengan memanfaatkan lampu pijar yang ditembakkan ke layar sambil memutar rol secara manual dengan tangan.

Film yang diputar pun masih tidak berwarna dan bersuara saat itu. Untuk mengakali kebisuan, maka ditempatkan sejumlah pemain alat musik di barisan depan kursi penonton.

Hingga 2004, sentral provinsi Aceh itu memiliki sembilan gedung bioskop. Bisnis hilir perfilman itu dikuasai oleh pengusaha Tionghoa dan beberapa pengusaha Aceh, yang sempat berkembang pesat pada dekade 1970 sampai 1990-an.

Di tahun-tahun itu, bisnis bioskop di Banda Aceh menjamur. Beberapa bioskop tersebut seperti Gajah Theater, bioskop Elang, Sinar Indah Bioskop, Bioskop Jelita, dan bioskop Pas 21.