Liputan6.com, Pekanbaru - Asosiasi Seniman Riau (Aseri) mendesak pemerintah daerah setempat agar sepenuh hati memajukan kebudayaan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Sebab, kebudayaan berperan penting dalam pembangunan semua lini provinsi tersebut.
Menurut Ketua Umum Aseri Riau Marhalim Zaini, implementasi pemajuan kebudayaan di Riau masih setengah hati. Pemerintah Provinsi Riau seharusnya bisa lebih serius mengurus regulasi pemajuan kebudayaan.
Advertisement
Baca Juga
"Kami mendorong peraturan daerah tentang pemajuan kebudayaan segera disahkan, sehingga pemerintah dan pekerja seni di Riau bisa menerapkannya di lapangan," kata Marhalim dalam webinar Dialog Implementasi UU Pemajuan Kebudayaan Riau, Senin, 21 Juni 2021.
Marhalim menyebut visi Riau 2025 adalah menjadi pusat kebudayan Melayu. Namun, tertinggal dari Kota Batam, Kepulauan Riau, karena telah mengesahkan peraturan daerah tentang pemajuan kebudayaan Melayu pada 2018.
"Tanda lain belum maksimalnya pemajuan kebudayaan di Riau ialah kurang baiknya pengelolaan Art Center, Zapin Center, Taman Budaya, dan Anjung Seni Idrus Tintin," tegas Marhalim.
Marhalim menyatakan Aseri sebagai wadah lebih dari 200 orang seniman di Riau bertekad terus mendorong peraturan daerah pemajuan kebudayaan serta mengawal penerapan UU Pemajuan Kebudayaan dalam bentuk lainnya.
Di tingkat tapak pun, menurut Pendiri dan Pembina Komunitas Rumah Sunting, Kunni Masrohanti, pemajuan kebudayaan belum terasa, terutama bagi perempuan. Misalnya, musisi perempuan yang merupakan maestra musik tradisional masyarakat adat di Desa Tanjung Beringin, Kampar Kiri Hulu.
"Mereka ada sembilan orang, sudah tua, namun tidak ada pewarisnya. Merekalah perawat dan pelaksana seni budaya Indonesia, namun jauh dari sentuhan pemajuan kebudayaan," katanya.
Simak video pilihan berikut ini:
Dorong Perda
Sementara itu, Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau, Datuk Seri Al Azhar, turut mendorong agar peraturan daerah tentang pemajuan kebudayaan segera disahkan.
"Paradigma bahwa kebudayaan adalah urusan sampingan sudah berlangsung terlalu lama, harus dikikis dari pemikiran. Kalau urusan kebudayaan ditempatkan sebagai hiasan, dekoratif, ornamental, bagaimana mungkin UU Pemajuan Kebudayaan bisa terlaksana?" tuturnya.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau, Ade Hartati Rahmat, berpendapat selain peraturan daerah, perlu didesak pula agar anggaran pemerintah daerah menggunakan perspektif kebudayaan.
"Anggaran berbasis kultur ini perlu diadakan. Kita bangun bersama persepsi ini sehingga ada komitmen yang muncul," ujarnya.
Sayangnya dalam webinar ini, Gubernur Riau Syamsuar berhalangan hadir. Namun, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Riau Yoserizal Zen menyatakan pihaknya sedang berusaha memajukan budaya.
"Kami sudah mengajak kabupaten dan kota untuk implementasi UU Pemajuan Kebudayaan. Sedangkan peraturan daerahnya sudah dikomunikasikan kepada DPRD. Soal anggaran yang tidak merata, ini karena belum semua kabupaten dan kota ikut dalam rapat koordinasi," kata Yoserizal.
Sementara itu, bercermin dari sengkarut di Riau, Noviati Maulida sebagai seniman di Aceh merasa masalah yang dihadapinya tak jauh berbeda dengan Riau. Berbagai forum tentang pemajuan kebudayaan sudah digelar, biasanya yang hadir adalah perwakilan dari kantor dinas.
"Tapi saat mereka pulang, informasinya tidak sampai ke daerahnya. Seolah hanya menghabiskan anggaran SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas), datang lalu tidur di hotel, foto, tanpa hasil di daerahnya," kata Pendiri Rangkang Sastra di Bireuen tersebut.
Novita menyebut dinas baru sibuk saat ada keperluan mengolah data. Barulah beberapa teman seniman dipanggil untuk membantu mengisi, tapi kelanjutan dan prosesnya tidak jelas.
Di sisi lain, Ketua Pengurus Koalisi Seni, Kusen Alipah Hadi, menuturkan kebudayaan, termasuk kesenian, memang sering dipahami sebagai salah kaprah administrasi belaka.
"Administrasi seharusnya bagian dari tata kelola kesenian. Tapi kadang oleh birokrat justru dianggap pekerjaan utama," katanya.
Advertisement
Majukan Budaya
Adanya tantangan dalam pelaksanaan pemajuan kebudayaan di daerah diakui oleh Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sembari mendesak regulasi terkait pemajuan kebudayaan disahkan di daerah, tak kalah pentingnya adalah terus berupaya memajukan kebudayaan.
"Agenda kita bukan menunggu, agenda kita adalah pemajuan kebudayaan,” ujarnya.
Dia menyatakan, UU Pemajuan Kebudayaan ini bukan UU Ditjen Kebudayaan, tapi berlaku untuk semua instansi dan masyarakat. Ditjen Kebudayaan sangat terbuka menerima saran dan masukan.
Menutup diskusi, Datuk Seri Al-Azhar mengutip sajak Sutardji Calzoum Bachri, "Kita dari pedih yang sama. Diskusi ini melihat ke dalam kepedihan, karena itu mari kita maju terus."
Sebagai informasi, UU Pemajuan Kebudayaan memberikan sepuluh tugas penting bagi pemerintah daerah. Pemerintah daerah wajib menjamin kebebasan berekspresi, menjamin pelindungan atas ekspresi budaya, melaksanakan pemajuan kebudayaan, memelihara kebhinekaan, dan mengelola informasi bidang kebudayaan.
Pemerintah daerah pun harus menyediakan sarana dan prasarana kebudayaan, menyediakan sumber pendanaan untuk pemajuan kebudayaan, membentuk mekanisme pelibatan masyarakat dalam pemajuan kebudayaan, mendorong peran aktif dan inisiatif masyarakat dalam pemajuan kebudayaan, serta menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan.