Liputan6.com, Kendari - Aktivitas pertambangan nikel di Desa Waturambaha, Kecamatan Lasolo Kepulauan berada di lokasi rencana pengembangan kawasan industri dan pembangunan smelter Proyek Strategis Nasional (PTS). Baru beraktivitas sejak awal 2021, perusahaan tambang udah menuai sorotan hingga demonstrasi dari sejumlah pemerhati lingkungan di Konawe Utara.
Pantauan di lokasi, ada sejumlah truk berukuran besar hilir mudik mengangkut tanah mengandung nikel. Alat berat sejenis ekskavator juga sudah beroperasi.
Tidak hanya itu, ada aktitivitas pengangkutan tanah mengandung nikel dari lokasi perbukitan menuju pelabuhan khusus. Di dalam geomap ESDM, ada sejumlah IUP di wilayah ini.
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, dalam draft rencana pengembangan industri kawasan pertambangan nasional Konawe Utara, terdapat enam Izin Usaha Pertambangan (IUP) di sekitar lokasi. Lokasi IUP keenam perusahaan ini, rencananya akan dipakai membangun smelter.Â
Plt Kadis Kehutanan Provinsi Sultra, Ir Sahid menyatakan, pihaknya sudah mengetahui soal izin penggunaan hutan. Namun, dia mengatakan belum mengecek secara langsung ke lokasi.
Sahid mengatakan, mereka memiliki izin penggunaan kawasan hutan. Izinnya, baru keluar sekitar 1-2 bulan sebelumnya.
"Ada IPPKHitu, tapi sejauh ini saya belum tahu mereka punya IUP atau tidak untuk operasi pertambangan," ujar Sahid, dikonfirmasi Jumat (18/6/2021).
Kabupaten Konawe Utara, diketahui merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan IUP paling banyak. Kondisi ini, membawa keuntungan ekonomi bagi sejumlah perusahaan dan warga. Namun, dampaknya, terjadi eksploitasi hutan besar-besaran di wilayah ini yang berpotensi mengakibatkan bencana ekologi.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Kritik Pemerhati Lingkungan
Salah seorang pemerhati lingkungan, Andi Syamsuddin Iskandar menyoroti penambangan di Konawe Utara. Dia menegaskan, wajar masyarakat mempertanyakan aktivitas perusahaan apakah izin resmi atau tidak.
"Kalau mereka memiliki izin resmi seperti di Undang-undang nomor 3 tahun 2020, perubahan terhadap undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batu bara, maka mestinya ada keterbukaan biar jelas," jelas Andi Syamsuddin Iskandar.
Menurutnya, ketika sudah berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, setidaknya perusahaan terbuka memublikasikan dokumen-dokumen soal aktifitas di Konawe Utara dan wilayah dimaksud, sehingga masyarakat dan pemerintah daerah, bisa melihat jelas apakah ada izinnya atau tidak.
"Ini menjadi keharusan setiap perusahaan dalam mempublikasikan informasi dan data, agar menghindari fitnah dan justifikasi terhadap perusahaan," ujar advokat bidang pertambangan ini.
Dia menegaskan, perusahaan mesti mengedepankan administrasi bersih sebelum masuk mengolah hutan dan lingkungan. Katanya, mesti ada Analisis Dampak Lingkungan (amdal) yang jelas. Karena Amdal menentukan perusahaan bisa mendapatkan izin lingkungan atau tidak.
"Izin lingkungan ini untuk mendapatkan IUP produksi hingga aktifitas penjualan," jelas Andi Syamsuddin.
Dia memaparkan, IUP produksi, sudah meliputi IUP penjualan. Sesuai undang-undang nomor 3 tahun 2020, perubahan terhadap undang-undang nomor 4 tahun 2009 yang mengatur soal minerba, sudah menyatakan bahwa, IUP produksi sudah meliputi soal izin penjualan.
"Sehingga, ketika orang meributkan penambangan ilegal, perusahaan harusnya memublikasikan soal perizinan sehingga tidak dianggap ilegal," ujarnya.
Dia menyarankan, pemerintah daerah mesti tanggap cepat. Sehingga, tindakan-tindakan cepat tanggap, bukan saat dampak kerusakan lingkungan sudah terjadi dan dirasakan masyarakat.
Advertisement
Masalah Bagi Nelayan
Aktivitas nelayan di lokasi perairan Desa Waturambaha Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara, sekilas tampak biasa. Beberapa terlihat hilir mudik, menjaga di karamba dan memancing di teluk. Ternyata, mereka memiliki banyak cerita di sekitar perairan yang dikelilingi perusahaan pertambangan itu. Di sana, ada sejumlah perusahaan pertambangan nikel yang suda beroperasi.
"Kita ndak tahu mau mengadu kemana ini, tapi lumpur sekarang banyak di teluk," ujar Mustafa (40), nelayan setempat.
Dia merupakan nelayan lokal yang bekerja di rumpon atau tambak terapung. Sudah bekerja selama 3 tahun sejak 2019 di perairan Desa Waturambaha dan sekitar Pulau Labengki, dia diberi kepercayan menjaga rumpon ikan di teluk.
"Kalau musim hujan, airnya di sini coklat, keruh. Ikan ada, tapi sedikit," ujar Mustafa, Jumat (11/6/2021).
Kondisi air keruh, menurut Mustafa, menyebabkan ikan yang masuk di dalam jaring rumpon miliknya berkurang hingga 80 persen. Penyebabnya, banyak ikan memilih hidup di luar teluk dengan kondisi air yang masih bagus.
Mustafa mengungkapkan, terumbu karang tercemar dan tertutup lumpur. Katanya, lumpur dibawa air dari perbukitan yang sudah gundul karena pertambangan.
"Sekarang, dalam dua bulan kami hanya bisa mengumpulkan paling banyak 10 gabus ikan. Tahun-tahun sebelumnya, bahkan lebih banyak dari 10 gabus besar selama 2 bulan," ujarnya.
Kondisi ini menyebabkan, sejak beberapa bulan lalu, dia hanya menerima gaji sekitar Rp 2 juta setiap dua bulan. Jumlahnya berkurang karena sebelumnya, Mustafa bisa menerima Rp5-6 juta setiap dua bulan.
Dia juga memastikan, belum pernah bertemu pihak pekerja atau manajer tambang di wilayah itu. Sehingga, dia menjamin, dirinya tidak pernah menerima bantuan berupa sembako dan uang tunai.
"Pernah ditawari, diajak juga teman untuk kerja di tambang. Tapi saya tak mau, jiwa saya sudah di sini (nelayan)," kata Mustafa.
Â