Liputan6.com, Jakarta - Seorang gadis mengenakan gaun hitam lusuh lengkap dengan turban di kepalanya datang ke Almondsbury, sebuah desa yang berjarak tak jauh dari Bristol, Tenggara Inggris. Kejadian itu berlangsung pada 3 April 1917.
Gadis itu tampak bingung, seperti telah menempuh perjalanan jauh, wajahnya pun dipenuhi rasa lelah. Mengutip dari situs Mentalfloss, gadis itu tak membawa banyak barang. Hanya sebuah bundelan kain linen yang ia kepit, berisi sabun dan sejumlah peralatan mandi lain.
Paras gadis itu lumayan menarik. Meski menarik, gadis itu bertutur bahasa eksotis yang tak dipahami seorang pun di tempat itu.
Advertisement
Dengan sigap, warga membawa gadis itu ke tempat penampungan orang miskin. Maklum, penampilannya yang lusuh, ia disangka pengemis oleh warga. Sayangnya, pengurus penampungan tak mengizinkannya masuk.
Saat itu, tengah terjadi Perang Napoleon, gadis itu pun sempat dikira mata-mata asing. Ia pun dibawa ke hakim setempat, Samuel Worrall yang tinggal di Knole House, sebuah kediaman yang mirip istana.
Di rumah sang hakim, ada seorang pelayanan berasal dari Yunani yang punya pengetahuan terkait bahasa di Mediterania.
Baca Juga
Dengan susah payah, pelayanan itu berusaha memahami perkataan gadis itu, tetapi terus gagal. Worrall curiga, namun istrinya merasa empati -- lebih cenderung terpesona daripada khawatir dengan kemunculan tiba-tiba perempuan itu di desa mereka.
Worrall pun meminta agar perempuan itu diinapkan di sebuah hotel. Di sana, perempuan itu bertingkah aneh, ia menolak makan dan hanya mau minum teh.
Perempuan itu berdoa dengan cara tak biasa, dengan mengangkat satu tangan menutupi matanya dan menyebut kata-kata yang kedengarannya seperti 'Allah-Talla'.
Ia tampak mengenali gambar buah yang tergantung di dinding -- bahkan menyebutnya dengan 'nanas' dalam Bahasa Indonesia atau Melayu bukan 'pineapple' -- hal ini membuat para staf dan penduduk lokal mengira ia pernah bepergian jauh ke wilayah tropis.
Saat dibawa masuk kamar, ia menatap tempat tidur dengan bingung -- sebelum akhirnya memilih meringkuk dan tidur di lantai.
Setelah beberapa malam, Worrall membawa perempuan tersebut kembali ke Knole House. Di sana, gadis misterius itu memberikan petunjuk, dengan menunjuk dirinya dan mengucap 'Caraboo' berkali-kali.
Tingkah perempuan misterius itu membuat sang hakim angkat tangan. Ia memutuskan untuk menahannya dengan tuduhan menggelandang.
Caraboo menghabiskan waktu beberapa hari di rumah sakit gelandangan St Peter di Bristol. Istri Worrall kemudian bertindak dan memindahkannya ke kantor sang suami.
Sejak itu, berita mengenai perempuan misterius itu santer menyebar ke telinga warga dan membuat penasaran banyak orang. Orang pun berduyun-duyun mendatangi sang gelandangan itu. Ada pula warga yang sengaja membawa penutur bahasa berbeda dengan niat agar misteri itu terkuak.
10 hari berlalu sejak kedatangan gadis itu, namun tak satupun perkataan yang keluar dari mulut gadis itu terungkap. Hingga akhirnya seseorang mengaku bisa memahami ucapannya.
Â
Saksikan Video Menarik Berikut Ini
Putri Jawa Diculik Bajak Laut
Manuel Eynesso, seorang pelaut asal Portugis yang saat itu kebetulan berada di Bristol mendatangi kantor Worrall untuk menemui sang gadis.
Eynesso punya pengelaman menjelajah hingga ke Hindia Belanda. Ia mengaku bisa mengerti apa yang diucap Caraboo. Itu adalah campuran bahasa daerah di Sumatera. Ia pun mulai menerjemahkan perkataan Caraboo.
Alih-alih sebagai pengemis, Eynesso menyebut gadis itu merupakan putri dari pulau ‘Javasu’ di Samudera Hindia yang diculik para bajak laut. Gadis itu kabur saat rombongan kapal penculik mengarungi Kanal Bristol.
Javasu yang ia sebut diduga adalah Pulau Jawa yang kala itu menjadi bagian dari Hindia Belanda.
Caraboo, menurut sang pelaut, mengaku berkeliling selama enam pekan hingga akhirnya menginjakkan kaki di Almondsbury.
Kisahnya itu menggegerkan. Nyonya Worrall mendapatkan apa yang ingin didengarnya: Caraboo adalah seorang putri dan adalah sebuah kehormatan bisa menjamunya di Knole House.
Knole House dalam 10 hari ke depan dipenuhi pesta perjamuan sebagai penghormatan kepada perempuan yang disangka gelandangan yang ternyata adalah putri dari kerajaan asing.
Seorang pria bernama Dr Wilkinson bahkan menuliskan laporan gilang gemilang terkait sang putri. "Tak ada yang bisa memancing kecurigaan aparat terkait Caraboo," kata dia. Namun, apa yang dikatakannya terpatahkan.
Â
Advertisement
Ternyata Putri Tukang Sepatu
Kisah Putri Caraboo ramai di media massa. Deskripsi tentang perempuan muda itu dimuat beberapa pekan kemudian di Bristol Journal dan sampai ke sebuah rumah kos-kosan yang dikelola Nyonya Neale.
Nyonya Neale segera mengenali sosok perempuan muda itu. Bukan sebagai putri Jawa yang diculik, melainkan mantan tamunya yang bernama Mary Baker -- putri seorang tukang sepatu dari Desa Witheridge.
Putri Caraboo, menurut dia, adalah kabar palsu alias hoaks belaka. Kesaksian Nyonya Neale menyebar dari mulut ke mulut, melintasi batas desa, dan sampai ke Nyonya Worrall.
Ia yang awalnya tak percaya dengan kesaksian Neale, akhirnya membawa Putri 'Caraboo' ke Bristol. Alasannya, gadis itu akan dibawa ke seorang seniman yang akan mengabadikan potretnya dalam lukisan.
Nyatanya itu dusta belaka. Nyonya Worrall menggunakan kesempatan itu untuk bertemu langsung dengan Neale.
Setelah berbincang berdua, Nyonya Worrall yakin benar Putri Caraboo memang penipu ulung. Saat penipuannya terbongkar, Caraboo atau Mary Baker mengakui semuanya dengan berlinang air mata.
Identitas gadis misterius itu akhirnya terkuak. Ia bukan berasal dari negeri antah-berantah. Inggris adalah tanah kelahirannya. Mary Baker lahir di wilayah pedesaan di Devon pada 1791. Ia bertengkar hebat dengan orangtuanya di usia muda, lalu kabur dari rumah.
Ia yang luntang-lantung di jalanan pernah menjajal berbagai profesi, termasuk pelayan, di wilayah Inggris selatan -- sebelum akhirnya menjadi pengemis di sekitar Bristol pada awal tahun 1810-an.
Selama meminta-minta, ia akhirnya tahu bahwa menyamar sebagai orang asing memungkinkannya untuk memperoleh lebih banyak belas kasihan -- juga uang-- dari masyarakat.
Karakter 'Putri Caraboo', juga bahasanya yang ngawur awalnya ia ciptakan untuk menghibur anak-anak di rumah kontrakan Nyonya Neale. Sementara, tempat bernama 'Javasu' yang sempat dikira Jawa nyatanya tak pernah ada.
Setelah penipuan Mary Baker terkuak, media kembali menggila. Artikel-artikel tentang Putri Caraboo kembali bermunculan.
Namun, alih-alih menyerang gadis itu, mayoritas jurnalis menyajikan artikel tentang kemenangan kelas bawah atas aristokrasi atau bangsawan.
Baker justru dianggap pahlawan -- gadis tak berpendidikan, tertindas, melalui kecakapan, juga nyali, berhasil menyusup dan menipu kalangan paling elite dalam masyarakat. Ia dianggap telah mengekspose kelemahan dan kesombongan kaum ningrat.
Bahkan, Nyonya Worrall yang awalnya kesal, akhirnya menghargai keberhasilan Mary Baker menipunya. Empati kembali terbit di hatinya. Ia memutuskan untuk terus membantu Mary Baker, mengentaskan kesulitan hidup gadis muda itu.
Ia mengumpulkan dana untuk memindahkan Baker ke Philadelphia pada tahun 1817 untuk membuat sebuah awal baru.
Selama di Amerika, Mary Baker berhasil meraup uang dan ketenaran -- meski singkat -- lewat pertunjukan panggung di New York, lewat karakter Putri Caraboo.
Sempat ke sejumlahn negara Eropa, beberapa tahun kemudian, ia kembali ke Inggris dan menggelar pertunjukan yang sama di London. Kala itu, demam Caraboo sudah mereda, penampilannya kala itu kurang sukses.
Catatan sensus menunjukkan, pada tahun 1820-an akhir, Mary Baker berstatus janda dan namanya menjadi Mary Burgess.
Ia kembali menetap di dekat Bristol, dan mencari nafkah dengan menjual lintah ke sebuah klinik lokal, hingga akhirnya meninggal karena serangan jantung pada tahun 1864.
Meski identitas aslinya terbongkar, misteri lain belum terjawab: lantas bagaimana dengan 'pelaut Portugis' yang menerjemahkan kisahnya?
Tak jelas bagaimana kelasi itu bisa mengerti bahasa asal-asalan 'Putri Caraboo' atau, jangan-jangan, ia juga penipu.