Liputan6.com, Jakarta - Tsunami dengan ketinggian 40 meter menerjang, 2 pulau langsung binasa. Itu terjadi akibat efek erupsi Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883.
Tsunami, salah satunya bisa dipicu letusan gunung. Baru-baru ini, temuan lebih dahsyat dilaporkan para peneliti dari Lamont-Doherty Earth Observatory, Columbia University, Amerika Serikat.
Di Kepulauan Cape Verde (Tanjung Verde) Afrika Barat, sekelompok peneliti menemukan sebuah jejak mengerikan yang tak pernah terbayangkan: mega-tsunami.
Advertisement
Jejak itu menunjukkan bahwa sekitar 73 ribu tahun lalu Gunung Fogo runtuh dalam hitungan detik. Hal itu memicu tsunami setinggi 800 kaki atau 243 meter menyapu Pulau Santiago yang berjarak 48 kilometer.
Baca Juga
Ketinggian terjangan tsunami itu jika terjadi di Paris, bisa menerjang bagian atas Menera Eiffel yang punya tinggi 324 meter. Bahkan, bisa dipastikan Patung Liberty yang hanya setinggi 93 meter bisa langsung tenggelam bila itu terjadi di New York.
Saat ini, Gunung Fogo menjulang setinggi 2.829 meter di atas permukaan air laut. Sementara, Pulau Santiago, yang dulu menjadi wilayah terdampak paling parah, kini dihuni 250 ribu manusia. Tak terbayang apa jadinya jika hal yang sama terjadi saat ini.
Kejadian itu terpaut lama dengan saat ini, namun kajian dalam jurnal tersebut menjadi alarm bagi kita bahwa gunung merapi yang runtuh bisa sebabkan malapetaka besar. Bahkan, lebih besar dari apa yang pernah dibayangkan.
"Yang kami maksudkan adalah, peristiwa kolapsnya gunung berapi bisa terjadi sangat cepat dan katastropik. Yang bisa memicu tsunami raksasa," kata Ricardo Ramalho dari Lamont-Doherty Earth Observatory, Columbia University, Amerika Serikat.
Untungnya, "itu tak sering terjadi." Apa pun, kata dia, manusia modern harus mempertimbangkan potensi bahayanya.
Â
Saksikan Video Menarik Berikut Ini
Batu yang Salah Tempat
Di Pulau Santiago yang berjarak 55 kilometer dari Fogo, Ricardo Ramalho dan timnya menemukan jejak terjangan gelombang berupa sejumlah bongkahan batu raksasa (giant boulder). Ada yang sebesar truk van, lainnya berbobot mencapai 770 ton.
Batu itu tak mirip dengan struktur geologi di sekitarnya. Namun, cocok dengan batuan dasar laut di sekitar garis pantai. Padahal mereka berada di lokasi setinggi 650 kaki atau 198 meter dari permukaan laut. Bagaimana bisa terbawa ke atas?
Satu-satunya penjelasan realistis soal fenomena itu adalah: gelombang raksasa merobek batuan itu dari garis pantai dan mengangkatnya.
Berdasarkan ukuran dan berat batuan, para ilmuwan mencoba mengalkulasikan energi yang dibutuhkan untuk membawa batuan tersebut dari dasar laut dan memprediksi ketinggian gelombang.
Ramalho dan ahli geokimia Gisela Winckler lalu mengukur isotop dari elemen helium yang tertanam dekat permukaan batuan raksasa -- isotop tersebut berubah tergantung pada berapa lama batu tergeletak di tempat terbuka, terpapar sinar kosmik.
Hasil analisis merujuk pada waktu sekitar 73 ribu tahun lalu. Lebih awal dari perkiraan tim peneliti dari Prancis.
Ahli tsunami, Bill McGuire, profesor emeritus di University College London yang tidak terlibat dalam penelitian berpendapat, studi terbaru memberikan bukti kuat pembentukan mega-tsunami dan mengonfirmasi bahwa ketika gunung api runtuh seketika, bencana seperti itu bisa terjadi.
Berdasarkan pemahamannya, McGuire mengatakan bahwa mega tsunami seperti itu mungkin terjadi sekali setiap 10 ribu tahun. "Menunjukkan adanya potensi bahaya nyata dan serius yang dimiliki cekungan laut yang menjadi rumah gunung berapi aktif," kata dia.
Meski terdengar mengerikan, Ricardo Ramalho buru-buru menggarisbawahi, hasil temuan mereka bukanlah 'pertanda' bahwa kejadian serupa akan terjadi dalam waktu dekat di sekitar Gunung Fogo atau di lokasi lainnya.
Â
Advertisement
Timbulkan Perdebatan
Kesimpulan para peneliti terkait tsunami raksasa itu memunculkan kembali perdebatan, apakah gunung berapi mampu memicu mega-tsunami.
Mereka sepakat, bahwa gunung berapi yang kolaps bisa menyebabkan bahaya besar. Itu terbukti di Jepang dan Alaska dalam beberapa ratus tahun lalu. Di antaranya bahkan memicu tsunami mematikan.
Sementara, sejumlah ilmuwan meragukan sebuah gunung besar bisa mendadak kolaps. Mereka berpendapat, gunung longsor dalam beberapa tahapan -- yang memicu serangkaian tsunami kecil.
Beberapa penelitian lain sebelumnya menyebut, sejumlah peristiwa kolapsnya gunung berapi pada masa prasejarah yang mengakibatkan megatsunami. Misalnya, di kepulauan Hawaii, Gunung Etna di Italia, dan Pulau La Reunion di Samudra Hindia. Namun, para kritikus mengatakan, contoh-contoh tersebut terlalu sedikit dan bukti terlalu tipis.
Â
Jejak Tsunami Raksasa
Meski menyebabkan kehancuran dan merenggut nyawa banyak manusia, tsunami di Aceh 2004 yang menewaskan sekitar 230 ribu orang dan gelombang gergasi yang menerjang Jepang pada 2011 tak masuk kategori 'mega-tsunami'. Sebab, ketinggian gelombang 'hanya' sekitar 30 meter. Penyebabnya pun gempa bawah laut, bukan vulkanik.
Sejumlah peneliti mengaku menemukan jejak tsunami setinggi 50 meter yang dipicu aktivitas Gunung Etna di Italia -- yang 6 mil persegi batuannya runtuh -- sekitar 8.000 tahun lalu.
Sementara, megatsunami Teluk Lituya terjadi pada 9 Juli 1958. Kala itu, gempa bumi berkekuatan 8,3 skala Richter memicu tanah longsor yang menyebabkan 30 juta meter kubik batu dan es dari tebing tinggi, menjatuhkan ke perairan.
Setelah itu gelombang setinggi 524 meter terbentuk. Jutaan pohon tumbang dan tersapu oleh bah. Itu adalah gelombang tertinggi yang pernah dikenal manusia. Bencana itu menewaskan 5 orang. Wilayah terdampak terpencil dari area yang ramai dihuni manusia.
Pada 2011, para ilmuwan Prancis juga menelaah tentang kolapsnya gunung Fogo, menyebut bahwa peristiwa tersebut terjadi 124 ribu hingga 65 ribu tahun lalu. Namun studi itu juga menyebut, itu tak hanya sekali terjadi. Peneliti Prancis memperkirakan, gelombang yang dipicu 'hanya' sekitar 45 kaki atau 13 meter.
Di sisi lain, studi terbaru memperkirakan, tsunami 800 kaki atau 243 meter akibat Gunung Fogo yang kolaps disebabkan batuan seluas 160 kilometer kubik yang dijatuhkan sekaligus.
Advertisement