Sukses

Sebar Klaim Sarat Pencitraan, Pemerintah Aceh Kena Sentil

KontraS menuding Pemerintah Aceh sebarkan informasi yang tidak sesuai fakta dalam pamlet pencapaian selama 4 tahun terakhir.

Liputan6.com, Aceh - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menilai Pemerintah Aceh telah menyebarkan informasi yang tidak sesuai fakta, terkait klaim pencapaian selama 4 tahun mengenai reparasi mendesak terhadap 245 orang korban pelanggaran HAM masa konflik. Koordinator lembaga itu menuntut adanya penjelasan dari otoritas terkait klaim tersebut.

Klaim tersebut muncul di antara informasi pencapaian Pemerintah Aceh bertajuk 'Aceh Hebat' periode 2017—2021 di bawah kepemimpinan Nova Iriansyah di salah satu situs pelat merah. Reparasi mendesak terhadap 245 orang korban konflik itu masuk dalam kategori pencapaian 'perdamaian.'

Termasuk di antara pencapaian tersebut pemberian lahan seluas 3.557 hektare kepada 1.779 orang, hibah tanah seluas 14.625 meter persegi, beasiswa diploma kepada 2.414 orang, serta rehabilitasi sosial dan pemberdayaan ekonomi kepada 1.157 orang. Penerima rata-rata merupakan korban konflik.

Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, mengatakan bahwa sampai saat ini realisasi reparasi mendesak tersebut masih sebatas Keputusan Gubernur No. 330/1209/2020 tentang Penetapan Penerima Reparasi Mendesak Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM. Menurutnya, pemerintah belum menjalankan keputusan tersebut sejak Nova menandatangani surat keputusannya pada Mei 2020 lalu.

"Setahuku, dalam tahun 2021, tidak ada alokasi anggaran terhadap 254 korban itu. Kemungkinan besar, tidak akan realisasi keputusan gubernur terhadap 245 korban itu. Itu klaimnya apa, sebatas kebijakan atau realisasi?" ketus Hendra kepada Liputan6.com, Rabu (7/7/2021).

Hendra menambahkan, kata 'pencapaian' dalam informasi tersebut mengisyaratkan realisasi, sementara faktanya berkata lain. Hal semacam ini bisa menimbulkan kekeliruan publik dalam menyerap informasi.

"Ini juga bisa memunculkan gesekan sesama korban, kenapa hanya 245 orang saja yang dapat, kenapa kami tidak dapat. Selain itu, karena di flyer disebut 'reparasi mendesak', seharusnya, pada saat keputusan gubernur itu keluar pada 2020, dia harus direalisasikan pada 2020," pungkas Hendra.

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Siapa Salah?

Pihak yang mengajukan data sebagai rekomendasi pemberian bantuan terhadap para penyintas konflik adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dari total 5000 korban yang lembaga itu rekomendasi, Pemerintah Aceh baru menetapkan tindak lanjut terhada 245 korban melalui SK gubernur berbalut 'reparasi mendesak' sedangkan selebihnya masuk kategori reparasi komprehensif.

Reparasi mendesak terdiri dari lima hal, yaitu: medis; psikologis; modal usaha; jaminan hidup; dan status kependudukan yang prioritasnya adalah mereka para penyintas kriteria berumur lanjut. Untuk reparasi komprehensif, KKR Aceh akan segera memberikan rekomendasinya kepada presiden, gubernur, dan DPR Aceh di akhir masa kerja periode 2016—2021.

Menjawab Liputan6.com, salah satu Komisioner KKR Aceh, Masthur Yahya, mengatakan bahwa setahu pihaknya belum ada realisasi reparasi mendesak terhadap 245 korban tersebut. Saat ini, pelaksanaannya masih tahap penyusunan format pemenuhan berbagai kebutuhan seperti yang ada di dalam ketentuan SK gubernur tersebut.

"Terkait dengan bahasa capaian Pemerintah Aceh, saya pikir itu yang lebih tahu adalah Pemerintah Aceh sendiri. Mungkin maksudnya bagaimana, kan? atau mungkin dimaksudkan anggaran sudah ataupun sedang diproses sehingga pemerintah merasa berhak mengatakan itu sebagai capaian, tentu itu yang lebih paham dan memiliki otoritas untuk memaknai itu tentu pemeritnah, tapi selaku KKR yang merekomendasikan itu, memang setahu kami belum ada realisasi," kata Masthur melalui sambungan telepon, Rabu malam.

Sementara, Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, melempar masalah ini kepada Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dan KKR Aceh dengan mengatakan bahwa dana reparasi mendesak tersebut sudah tersedia di BRA atas rekomendasi KKR Aceh. Atas perintah gubernur, dirinya akan berkoordinasi serta menggelar rapat dengan kedua lembaga untuk meminta penjelasan terkait realisasinya.

"Perkembangan lanjutan akan kami sampaikan setelah rapat tersebut," demikian pesan tertulis dari Muhammad MTA, melalui WhatsApp, Rabu malam.