Liputan6.com, Banjarnegara - Raungan sirine ambulans pengantar jenazah Covid-19 semakin sering terdengar belakangan hari. Begitupun kabar lelayu makin banyak bersautan, tak putus-putus.
Tak semua di antara mereka yang berpulang adalah anonim. Di antara mereka ada nama-nama anggota keluarga, tetangga, sahabat, atau mungkin teman sejawat.
Deretan kematian yang meningkat seiring lonjakkan kasus Covid-19 tak hanya membawa duka untuk keluarga, tetapi juga nestapa untuk yang lainnya. Satu di antaranya petugas pemulasaran jenazah pasien Covid-19.
Advertisement
Baca Juga
Ada kisah yang menggambarkan jatuh bangun petugas pemulasaran jenazah pasien Covid-19. Kisah ini datang dari Gunadi, anggota Tim Detasemen Tutup Bumi 19 alias Dentum 19, tim pemulasaran jenazah pasien di Rumah Sakit Islam (RSI) Banjarnegara.
Dentum 19 terbentuk sejak awal 2020 ketika status pandemi ditetapkan. Tim Dentum 19 terdiri atas petugas yang biasa menangani jenazah sebelum pandemi muncul.
Mereka mendapat pembekalan khusus tata cara pemulasaraan jenazah Covid-19 sesuai protokol kesehatan yang disesuaikan dengan aturan pemerintah, khususnya Kementerian Agama Republik Indonesia.
Gunadi dan rekan seprofesinya bertugas menyeterilkan, mengafani, memasukkan ke dalam peti jenazah, membawa ke makam, memakamkan hingga mendoakan jenazah Covid-19. Tugas ini jelas membawa risiko, baik untuk diri sendiri maupun untuk anggota keluarga di rumah.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Simak Video Pilihan di Bawah Ini:
Pernah Jatuh ke Liang Lahat
Dan benar, ada beberapa rekannya yang terpapar virus korona. Hal ini memengaruhi mental rekannya yang lain. Dari yang semula 15 orang, anggota tim kini menyusut menjadi tiga orang. Tim ini masih bertahan dengan bantuan satuan pengamanan dan petugas kebersihan rumah sakit.
"Beberapa anggota lama yang kena Covid-19 menjadi mudah lelah, banyak istirahat, padahal jenazah meninggal karena Covid-19 ini semakin banyak jumlahnya, pemakamannya pun tak kenal waktu," kata Gunadi yang ditemui usai memulasarkan dan memakamkan jenazah, Senin (12/7/2021).
Gunadi punya pengalaman yang tak bisa ia lupakan hingga hari ini. Ia pernah jatuh ke liang lahat saat memakamkan jenazah.
"Saya pernah saat proses pemakaman kondisi malam hari, gelap minim penerangan dan agak lelah, jatuh ke liang makam yang disiapkan. Teman yang lain juga beberapa seperti itu," tuturnya.
Minimnya penerangan di jalan menuju, dan di dalam makam membuat mereka sering tersandung batu atau batu nisan. Meskipun memakai sepatu boot setinggi lutut sebagai pelindung, namun sepulang pemakaman ia mendapat luka di kaki.
"Gak sadar tahu-tahu perih, kaki berdarah-darah sampai kantor. Kondisi makam gelap, tangan memegang peti jenazah, otomatis kita tidak bisa jalan cepat. Kadang kaki sering tersandung karena makam di Banjarnegara tidak tertata rapi," ucapnya.
Advertisement
27 Jam Bekerja
Meskipun kaki berdarah dan keringat selalu membasahi hazmat, semangatnya tak surut. Ia sadar yang mereka lakukan bukan sekadar pekerjaan, namun pengambdian untuk membantu sesama. Ia menyadari meskipun memaikan peran sebagai garda terakhir penanganan Covid-19, namun semangat pengabdiannya tidak pernah kendor.
Tantangan berikutnya ialah ketika menghadapi keluarga almarhum. Setiap kali ada jenazah, keluarga menghendaki prioritas pelayanan. Mereka enggan berlama-lama mengantre.
Di sisi lain, mereka harus menaati prosedur yang mengharuskan mereka menangani jenazah sesuai antrean. Sebab, jumlah mereka terbatas dan jenazah terus berdatangan
"Kami kerepotan, karena setelah selesai di rumah sakit kita harus mengantar dan juga menguburkan jenazah. Jadi kami tidak ada prioritas, namun harus sesuai urutan dan antrean," kata Eko Pranoto, anggota tim pemulasaran jenazah lainnya.
Mereka menilai hal ini wajar karena dalam sehari mereka bisa memulasarkan hingga delapan jenazah. Dengan jarak tempuh ke lokasi makam yang berbeda-beda tak jarang keluarga harus mengantre berjam-jam atau bahkan lebih lama.
Sebagai contoh, tim pernah memakamkan warga di Kalibening, ujung utara Banjarnegara atau Susukan di ujung barat Banjarnegara. Tak jarang mereka bekerja hingga subuh sehingga merasakan lelah yang luar biasa.
"Saya pernah menghitung 27 jam saya bekerja, sangat kami nikmati prosesnya, tanpa mengeluh sedikitpun," katanya.